"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutan Tanpa Suara
Ki Jayeng Larang membawa Rangga dan Larasati ke dalam hutan yang dikenal sebagai Leuweung Sunyi. Hutan ini penuh dengan jebakan alami dan mistis, serta suasana yang mencekam karena hilangnya semua suara di dalamnya. Ketegangan meningkat ketika mereka menyadari bahwa mereka sedang diikuti oleh musuh.
---
Langkah kaki mereka menghasilkan suara kecil saat menapak di tanah berlumut. Udara pagi di Leuweung Sunyi terasa lebih dingin dibandingkan tempat lain di lereng Gunung Kendan. Pohon-pohon tua menjulang tinggi, cabang-cabangnya yang rapat menciptakan bayangan gelap meskipun matahari telah cukup tinggi. Tidak ada suara burung atau serangga, hanya keheningan yang terasa menekan.
Rangga menoleh ke Ki Jayeng Larang yang berjalan di depannya. “Ki, kenapa hutan ini sunyi sekali? Seperti... tidak ada kehidupan.”
Ki Jayeng berhenti sejenak, menoleh ke belakang dengan ekspresi tenang namun waspada. “Ini adalah Leuweung Sunyi. Hutan ini memiliki kekuatan mistis. Suara tidak dapat bertahan lama di sini, seolah-olah ditelan oleh sesuatu yang tak terlihat.”
Larasati, yang berjalan di belakang Rangga, menelan ludah. “Kenapa kita harus melewati hutan ini? Tidak bisakah kita mengambil jalan lain?”
“Tidak ada jalan lain yang aman,” jawab Ki Jayeng tanpa menoleh. “Leuweung Sunyi mungkin menakutkan, tetapi lebih baik menghadapi keheningan daripada pasukan aliran hitam yang masih mengincar kita.”
Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi suasana semakin mencekam. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah sesuatu mengawasi mereka dari balik pepohonan. Rangga mulai merasa gelisah. Ia memegang tongkat kayu yang ia bawa sebagai pengganti senjata, matanya terus mengamati sekeliling.
“Rangga,” bisik Larasati pelan, “apa kau merasa... ada yang mengikuti kita?”
Rangga berhenti, mendengarkan dengan saksama. Namun, seperti yang dikatakan Ki Jayeng, tidak ada suara apapun. Keheningan itu justru membuatnya semakin yakin bahwa mereka tidak sendirian. Ia menoleh ke gurunya. “Ki, bagaimana jika mereka sudah ada di sini?”
Ki Jayeng mengangguk pelan. “Aku tahu. Dari tadi aku merasakannya.” Ia mengetuk tongkatnya ke tanah, mengarahkan pandangannya ke sekitar mereka. “Tetap waspada. Mereka mungkin menunggu kita lengah.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih hati-hati. Setiap bayangan dari pepohonan terasa seperti ancaman, setiap angin yang berhembus terasa seperti bisikan yang membawa peringatan. Larasati terus memegang lengan Rangga, seolah mencari perlindungan.
Namun, tiba-tiba, sebuah suara krek terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. Rangga langsung berbalik, mengarahkan tongkatnya ke arah suara itu. Namun, tidak ada apapun di sana selain semak-semak yang bergoyang perlahan.
“Rangga, jangan gegabah,” kata Ki Jayeng dengan nada rendah. “Kadang, musuh di Leuweung Sunyi bukan manusia.”
“Apa maksudmu, Ki?” tanya Rangga, matanya tetap waspada.
“Hutan ini tidak hanya menyerap suara, tapi juga energi,” jawab Ki Jayeng sambil melanjutkan langkahnya. “Jika hatimu tidak tenang, hutan ini bisa mempermainkanmu. Bayangan, suara, bahkan rasa takutmu sendiri bisa menjadi musuh.”
Larasati menggenggam lengan Rangga lebih erat. “Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk melewati tempat ini?”
“Kalian akan cukup kuat,” jawab Ki Jayeng tegas. “Karena kalian tidak sendiri.”
Kata-kata itu memberi Rangga dorongan kecil untuk terus berjalan, tetapi rasa gelisahnya tidak hilang. Ia tahu ada sesuatu yang nyata di sekitar mereka, sesuatu yang tidak hanya ada di dalam pikirannya.
Mereka terus berjalan hingga mencapai sebuah dataran kecil di tengah hutan. Ki Jayeng berhenti dan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka juga berhenti. “Kita akan istirahat di sini sebentar,” katanya.
Rangga dan Larasati duduk di atas akar pohon besar, mencoba mengatur napas mereka. Tetapi bahkan saat beristirahat, Rangga tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi.
“Ki,” katanya pelan, “apa mungkin aliran hitam juga tahu tentang hutan ini?”
Ki Jayeng mengangguk. “Mereka tahu. Tapi mereka tidak akan masuk dengan mudah. Bahkan orang sekejam mereka tahu bahwa Leuweung Sunyi bisa menjadi perangkap.”
Belum sempat Rangga menanggapi, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari balik pepohonan. Kali ini lebih jelas, seperti langkah kaki yang mendekat. Rangga berdiri dengan cepat, memegang tongkatnya dengan erat.
“Laras, di belakangku,” katanya pelan, matanya terpaku ke arah suara itu.
Dari balik bayangan, muncul tiga orang berpakaian hitam dengan wajah tertutup. Mereka membawa senjata tajam, dan tatapan mereka penuh kebencian.
“Jadi, kalian akhirnya muncul,” kata Rangga dengan nada rendah.
Salah satu pria itu tertawa kecil. “Kau memang cerdas, anak muda. Tapi sayangnya, kecerdasan tidak akan menyelamatkanmu di sini.”
Ki Jayeng melangkah maju, berdiri di depan Rangga. “Kalau kalian ingin ilmu Tapak Angin Kendan, kalian harus melewatiku dulu.”
Pria itu menyeringai. “Dengan senang hati.”
Pertempuran pun dimulai. Ki Jayeng, meskipun sudah tua, bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Tongkatnya menjadi senjata yang mematikan, menghantam musuh dengan presisi yang mengagumkan. Sementara itu, Rangga berusaha melawan dua pria lainnya dengan tongkat kayunya.
Trang! Tongkat Rangga beradu dengan pedang lawannya. Meskipun ia masih belum terlatih sepenuhnya, ia menggunakan semua yang ia pelajari selama ini untuk bertahan.
Larasati, yang berdiri di belakang, melihat dengan cemas. “Rangga, hati-hati!” teriaknya ketika salah satu pria mencoba menyerang dari samping.
Rangga berbalik dengan cepat, menangkis serangan itu. Namun, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke tanah. Pria itu mengayunkan pedangnya lagi, tetapi sebelum bilah itu mencapai Rangga, sebuah angin kencang tiba-tiba berhembus, membuat pria itu terpental ke belakang.
Rangga melihat ke arah Ki Jayeng, yang berdiri dengan tongkatnya terangkat. “Bangkit, Rangga. Jangan biarkan mereka mengalahkanmu.”
Rangga mengangguk, lalu berdiri dengan tekad baru. Ia kembali melawan dengan seluruh kekuatannya, kali ini menggunakan irama angin yang telah ia pelajari untuk mengarahkan gerakannya. Dengan satu pukulan keras, ia berhasil melumpuhkan salah satu pria.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan, dua pria yang tersisa melarikan diri ke dalam kegelapan hutan. Rangga ingin mengejar, tetapi Ki Jayeng mengangkat tangannya.
“Jangan. Mereka akan mendapatkan apa yang pantas dari hutan ini,” katanya.
Rangga mengangguk, lalu kembali ke Larasati yang masih berdiri di dekat pohon. “Kau tidak terluka, kan?” tanyanya.
Larasati menggeleng, meskipun wajahnya masih tampak tegang. “Aku baik-baik saja. Tapi, Rangga... kau harus lebih berhati-hati.”
“Aku tahu,” jawab Rangga sambil tersenyum kecil. “Tapi setidaknya kita selamat.”
Ki Jayeng mendekat, menatap keduanya dengan serius. “Ini baru permulaan. Musuh kita tidak akan berhenti begitu saja. Kita harus terus bergerak.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih cepat, meninggalkan dataran itu dan masuk lebih dalam ke dalam hutan. Meski bahaya masih mengintai, Rangga merasa bahwa ia telah mengambil langkah pertama menuju menjadi seorang penjaga sejati.
---
Rangga berhasil melawan musuh di Leuweung Sunyi, tetapi ia menyadari bahwa perjalanan ini masih jauh dari selesai. Dengan bimbingan Ki Jayeng dan dukungan Larasati, ia terus maju meski bahaya mengintai di setiap langkah.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya