Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbedaan yang membuat dekat
Seminggu berlalu sejak percakapan mereka yang menentukan itu. Joko dan Vina mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama. Mereka tidak lagi hanya sekadar bertemu karena tugas atau debat ilmiah, tetapi juga untuk menikmati kebersamaan yang sederhana, seperti makan siang bareng atau sekadar ngobrol tentang hal-hal yang tak ada kaitannya dengan fisika dan filsafat.
Namun, meskipun ada kenyamanan yang tumbuh di antara mereka, perasaan Joko tetap tidak sepenuhnya tenang. Setiap kali mereka berdua bercanda atau tertawa bersama, ada sedikit rasa khawatir yang menyelinap masuk—apakah ini benar-benar cinta? Atau cuma rasa nyaman yang tumbuh karena kebersamaan mereka? Mungkin perasaan ini hanya terbangun dari rutinitas mereka yang semakin dekat, bukan karena sesuatu yang mendalam.
Suatu sore, mereka duduk di kafe kampus setelah kuliah. Vina memesan cappuccino, sedangkan Joko memilih segelas teh manis. Meskipun mereka duduk bersebelahan, ada sedikit jarak di antara mereka—bukan karena mereka tidak nyaman, tetapi karena Joko merasa tidak yakin dengan perasaannya.
“Joko,” Vina memulai, suaranya yang ceria terdengar agak serius, “Lo masih mikir tentang apa yang kita omongin kemarin?”
Joko sedikit terkejut mendengarnya, tapi dia tidak bisa mengelak. “Iya, gue mikir-mikir. Gue cuma ngerasa... lo tahu kan, gue nggak pandai soal ini. Gue lebih banyak ngomongin filsafat, logika, teori-teori. Tapi kalau soal perasaan... gue nggak bisa pakai rumus.”
Vina tersenyum, tampak memahami. “Gue ngerti kok, Jok. Lo nggak perlu pakai rumus buat perasaan. Cinta itu... nggak butuh logika. Lo cuma perlu merasa.”
Joko menggeleng, masih ragu. “Tapi gue nggak tahu apa yang harus gue rasain, Vin. Gue merasa nyaman sama lo, tapi apa itu cukup buat nyebut ini cinta?”
Vina menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Mungkin itu bagian yang gue suka dari lo, Jok. Lo nggak mencoba memaksakan apapun. Lo nggak berpura-pura tahu semuanya. Lo cuma... mencoba.”
Joko terdiam. Apa yang Vina katakan membuat hatinya sedikit lebih ringan. Mungkin, seperti yang dia bilang, kadang-kadang perasaan tidak perlu dimaknai dengan rumus atau logika. Perasaan hanya perlu untuk dijalani, tanpa paksaan.
“Gue pernah baca di buku filsafat,” Joko melanjutkan, “bahwa cinta itu bisa jadi pilihan, bukan cuma perasaan yang datang dengan sendirinya. Mungkin cinta itu bukan hal yang tiba-tiba muncul, tapi sesuatu yang kita pilih setiap hari.”
Vina tertawa kecil. “Kalo gitu, kita udah pilih, dong, Jok. Kita pilih buat ngelanjutin hubungan ini.”
Joko menatap Vina, merasa sedikit heran dengan cara pandang Vina yang jauh lebih sederhana daripada teori-teori filsafat yang selalu ia pakai. “Lo ngerti banget ya, Vin? Gue kadang mikir, gue bakal ketemu orang yang punya pola pikir yang lebih rumit dari gue, tapi lo malah sebaliknya.”
Vina tersenyum lebar, “Iya, kan? Mungkin kita berdua sama-sama punya cara pandang yang beda, tapi justru itu yang bikin kita saling melengkapi. Lo dengan segala teori filsafat lo, gue dengan fisika yang kadang nggak masuk akal, kita jadi saling ngerti dan terus coba untuk... beradaptasi.”
Joko mulai merasa lebih lega. Mungkin memang benar, perbedaan mereka bukanlah penghalang, tetapi justru menjadi alasan untuk mereka saling mendekat. Mungkin, tidak semua perasaan harus dijelaskan dengan logika atau teori yang rumit. Kadang, yang diperlukan hanyalah keberanian untuk menerima ketidaktahuan itu dan menjalani setiap detiknya bersama-sama.
“Vin,” Joko berkata pelan, “terima kasih, ya. Lo udah bikin gue ngerti kalau kadang perasaan itu nggak perlu dipikirin terlalu rumit. Mungkin ini memang cuma soal kita yang... saling ngertiin, tanpa harus selalu mencari jawaban.”
Vina tersenyum. “Gue nggak tahu soal cinta, Jok. Gue cuma tahu satu hal—kadang lo cuma butuh seseorang yang bisa lo percayai buat ngelewatin setiap hari.”
Joko menatap Vina dengan penuh rasa terima kasih. “Makasih, Vin. Gue mulai ngerasa kalau gue nggak sendirian lagi.”
Mereka diam sejenak, hanya menikmati kebersamaan yang terasa hangat, tanpa perlu menjelaskan atau memaksakan definisi tentang perasaan mereka. Kadang, cinta memang lebih sederhana daripada yang kita kira—cukup dengan menerima ketidaktahuan dan berani untuk melangkah bersama.
Setelah beberapa lama, mereka bangkit dan berjalan menuju kampus, masih dengan percakapan ringan yang mengalir begitu saja. Tidak ada lagi pertanyaan besar yang mengganjal di kepala Joko. Untuk pertama kalinya, dia merasa perasaan ini—perasaan yang tumbuh di antara fisika dan filsafat—seperti aliran yang harus mereka jalani bersama, tanpa perlu ada yang mengatur jalannya.
Dan mungkin, itu sudah cukup.
Esok hari, Joko dan Vina kembali bertemu di perpustakaan kampus, seperti biasa. Mereka memutuskan untuk belajar bareng sebelum ujian akhir semester. Joko dengan buku-buku filsafatnya, Vina dengan tumpukan buku fisika yang terlihat sangat berat.
Saat Vina menumpahkan secangkir kopi yang baru saja dia buat, Joko cuma menggeleng sambil tertawa kecil. “Vin, lo nggak bisa diem ya?”
Vina tersenyum, tampak sedikit canggung. “Gue nggak sengaja, Jok! Tangan gue goyang, jadi kebanyakan.”
Joko hanya mengangguk sambil membereskan buku-buku mereka yang sempat tercampur kopi. Vina melihat Joko yang tampak lebih santai dibandingkan dirinya. Kadang, dia merasa Joko seperti sosok yang tidak terlalu terbebani dengan apa pun, terutama dengan hal-hal yang dia anggap rumit.
“Gue selalu nggak ngerti sih, Jok,” Vina berkata sambil mengelap meja, “kenapa lo selalu bisa tenang dan nggak stres dengan semua teori filsafat itu. Gue kalau ngeliat rumus-rumus fisika yang bertele-tele gini, rasanya kayak mau pusing.”
Joko tertawa, mengangkat bahu. “Mungkin kita sama, Vin. Lo pikir filsafat itu nggak ribet? Gue kadang merasa kayak otak gue kebakar karena mikirin hal-hal yang nggak ada habisnya. Jadi, mungkin kita cuma beda dunia aja. Lo di dunia rumus-rumus yang kaku, gue di dunia pemikiran yang... lebih bebas.”
Vina menatapnya dengan senyum tipis. “Kalo gitu, lo nggak pernah kebingungan sama hal-hal yang nggak bisa dijawab, gitu? Misalnya, soal... perasaan?”
Joko terdiam sejenak. “Perasaan?” Dia mengulang, tampaknya merenung. “Gue rasa, semua hal yang nggak bisa dijawab itu tetap bisa dipahami, Vin. Mungkin nggak ada jawabannya, tapi kita bisa coba pahami dengan... cara kita sendiri.”
Vina mendekat, menatapnya serius. “Tapi kadang, perasaan itu malah bikin kita bingung, kan? Gue kadang mikir, apa yang gue rasain beneran cinta atau cuma perasaan nyaman karena udah sering bareng? Lo nggak pernah merasa begitu?”
Joko terdiam. Sejak percakapan mereka sebelumnya, dia memang sudah mulai merasa berbeda, tapi dia masih belum yakin. “Mungkin... mungkin itu yang bikin perasaan jadi sulit dipahami, Vin. Kita nggak tahu mana yang bener-bener cinta, mana yang cuma kebiasaan. Tapi, kadang-kadang kita harus nekat, tanpa banyak mikir.”
Vina terkekeh, meski di matanya ada sedikit kegelisahan. “Gue nggak tahu, Jok. Tapi, gue rasa, lo itu jauh lebih ngerti soal perasaan daripada yang lo kira. Lo cuma nggak mau ngakuin aja.”
Joko hanya mengangkat bahu, sedikit bingung dengan perasaannya. “Ya, mungkin gue lebih ngerti soal filsafat, tapi soal hati... Gue masih bingung.”
Vina menatapnya lama, seperti mencoba membaca apa yang ada di dalam kepala Joko. “Kadang-kadang, lo cuma butuh melepaskan kendali, Jok. Kalau lo terus-terusan ngejelasin segala sesuatu pakai teori, lo nggak bakal bisa ngerti apa yang sebenernya ada di hati lo.”
Joko memandangi Vina, merasakan sesuatu yang berbeda. “Mungkin lo bener, Vin. Mungkin gue emang nggak harus mikirin segalanya pakai logika.”
Keduanya terdiam untuk beberapa detik, menikmati keheningan itu. Meski masih ada keraguan dalam hati Joko, ada sesuatu yang lebih kuat yang menghubungkan mereka. Entah itu perasaan yang tumbuh perlahan atau sekadar kenyamanan yang semakin intens.
“Apa lo yakin nggak ada yang lebih aneh dari hubungan kita ini?” Joko bertanya, sedikit bercanda.
Vina tertawa, mengangguk. “Yakin, Jok. Hubungan kita ini unik banget. Cuma kita yang bisa ngerti.”
Joko memandangnya dengan serius. “Gue nggak tahu apa yang terjadi nanti. Tapi, satu yang pasti... Gue senang kita masih ngobrol kayak gini.”
Vina tersenyum, tapi ada tatapan yang lebih dalam dalam matanya. “Gue juga, Jok. Gue juga.”