Cayenne, seorang wanita mandiri yang hidup hanya demi keluarganya mendapatkan tawaran yang mengejutkan dari bosnya.
"Aku ingin kamu menemaniku tidur!"
Stefan, seorang bos dingin yang mengidap insomnia dan hanya bisa tidur nyenyak di dekat Cayenne.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 pembicaraan di atap
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, mereka akhirnya tiba di rumah sakit.
"Terima kasih sudah mengantar kami," ucap Cayenne berterima kasih dengan senyuman.
"Sampai jumpa juga."
Luiz dan Kyle keluar mobil, memandang Arthur yang mencari tempat parkir, sebelum menemani kakak mereka bertemu ibu mereka.
Bau disinfektan segera menyerang hidung Cayenne, membuatnya menutup hidung. Bau rumah sakit yang ia benci menjadi alasan jarangnya ia berkunjung ke ibunya, selain karena jadwal kerja yang padat.
"Selamat pagi, Bu," sapa Luiz dan Kyle serempak lalu memeluk ibu mereka.
"Selamat pagi, Bu," Cayenne menyapa dengan senyum lembut. "Bagaimana perasaanmu?"
"Sejauh ini baik saja. Bagaimana pekerjaan dan studimu, Luiz?"
"Pekerjaanku lancar, tidak terlalu berat," jawab Cayenne.
"Studinya baik. Minggu depan aku akan dapat penghargaan. Karena Ibu tidak bisa hadir, Kyle dan kakak akan menemani aku," Luiz menambahkan.
Mereka lalu duduk dan berbincang banyak hal dengan ibu mereka. Akhir pekan jadi satu-satunya waktu untuk bertemu. Untuk Cayenne dan adik-adiknya, waktu bercakap memang jarang karena tekanan pekerjaan.
Tapi posisi Cayenne sebagai kakak tak pernah pudar. Dia selalu menjadi sosok yang menginspirasi dan mendukung mereka.
Percakapan berputar mulai dari cerita sekolah, acara Natal, hingga karyawisata. Semua disampaikan kepada ibu, yang telah lama tinggal di rumah sakit. Waktu mereka bersama terbatas.
"Cayenne," panggil ibu, menyadari kebisuan putrinya.
Biasanya Cayenne memang lebih pendiam, namun kini lebih senyap dari biasanya.
"Yen, kita pernah membahas ini, tapi bisakah kali ini kau bawa Ibu pulang?"
"Mengapa, Bu?" tanya Cayenne, kebingungan.
"Aku tak betah lagi di sini, tubuhku menolak pengobatan ini. Aku hanya punya sedikit waktu tersisa, dan ingin menghabiskannya bersama kalian bertiga. Bukankah lebih baik? Daripada uang kau habiskan untukku, lebih baik ditabung."
Air mata mulai mengalir di pipi Cayenne, seolah mencekik tenggorokannya. "Bu, kenapa ibu ingin mempercepat akhir hidup saat kita berjuang agar bertahan? Bagaimana kami setelah kepergianmu? Bu, kumohon mengerti perasaanku. Aku mau Ibu tetap ada, tinggal dengan kami hingga kami tua nanti."
"Yen, tak ada harapan bagiku! Sadarlah! Aku menuju akhir, dan semua usaha ini sia-sia! Untuk apa kau terus alokasikan uangmu?!"
Cayenne menatap ibunya dalam tangis. "Bu, jika Ibu..."
"Jadi begitu? Lebih baik aku meninggal tanpa melibatkan kalian?"
"Tidak, bukan itu maksudku," Cayenne menggenggam tangan ibunya dengan penuh kelembutan. "Tolong berjuanglah bersamaku. Kami masih membutuhkanmu. Jangan pikirkan soal uang, aku sudah menabung. Cukup untuk kita dan pengobatan ibu. Fokuskan saja pada kesembuhan ibu."
Luiz dan Kyle tertegun mendengar kebeningan kakaknya. Suara yang biasa lembut dan malu-malu kini naik penuh emosi terhadap ibu mereka. Itu pertama kalinya.
"Aku pergi sebentar," ucap Cayenne, menghapus air matanya dan bangkit keluar. Dia membutuhkan waktu sendiri di atap untuk meredakan hati yang gelisah.
Telepon berdering, menampilkan nama Stefan. Segera ia jawab, berpikir ada sesuatu yang mendesak.
"Halo, Stefan?"
"Ayen, kamu sudah tiba?"
"Ya. Ada apa? Kamu perlu sesuatu?"
"Mengapa kamu berpikir begitu?"
"Aku hanya tidak tahu alasan lain untukmu menelepon selain butuh bantuan."
Stefan tertawa kecil. "Yah, ada sedikit masalah."
"Apa?"
Berpindah tangan sambil menandatangani dokumen, Stefan menjelaskan. "Aku di Sweet Love, sebuah kafe dengan beragam kue dan pastry. Aku penasaran apakah ada sesuatu yang kamu inginkan dari sini."
Cayenne merasa bingung dengan pertanyaan bertubi-tubi dari Stefan yang tampaknya khawatir padanya.
"Apa yang ingin aku makan? Kamu yakin? Kamu baik-baik saja? Ada demam? Apakah aku perlu membawa obat untukmu?" tanyanya dengan heran, mengira Stefan sedang bicara ngelantur.
Stefan menanggapi, memastikan tidak ada yang salah dengan kesehatannya, yang justru membuat manajer wanitanya ingin tertawa.
Di hadapannya, bosnya menunjukkan kepedulian kepada pacarnya, tetapi malah disangka kena demam. Jelaslah bahwa bos yang biasanya dingin ini sedang mencoba bersikap romantis dengan seseorang.
Namun, ironisnya, Cayenne sebenarnya bukan pacarnya.
Melihat namanya tertera di layar ponselnya, Cayenne sadar pasti ini nomor bosnya, walau percakapan itu terasa seperti dengan orang lain.
"Aku... uh... Aku tidak pilih-pilih. Apapun yang kamu pilih aku suka saja."
"Apakah kamu tidak suka makanan manis?"
"Bukan begitu, justru aku suka sekali. Harga yang jadi halangannya, jadi jarang beli."
"Oke deh. Aku belikan nanti. Jaga diri baik-baik, ingat cuaca makin dingin, tidak baik kalau kamu sampai sakit."
"Ya, aku ingat."
"Dan lagi, kabari aku sejam sebelum kamu pulang dari rumah sakit. Aku butuh waktu selesaikan aktvitas sebelum bisa jemput kamu."
"Kamu bisa minta sopir taksi jemput. Aku tidak masalah kok. Tidak perlu datang langsung."
"Kita kan mau belanja barang kebutuhan bersama."
"Oke." jawab Cayenne baru ingat dengan rencana itu.
"Baiklah. Sampai nanti."
"Sampai nanti." Cayenne menunggu Stefan menutup telepon karena merasa sebagai bos, Stefan-lah yang seharusnya lebih dulu.
Stefan juga enggan menutup telepon karena berpikir sebagai pria, Cayenne yang seharusnya lebih dulu, membuat situasi menjadi canggung.
Akhirnya, mereka malah saling menunggu. Setelah beberapa saat, Cayenne sadar panggilannya masih berlangsung.
"Stefan? Kenapa belum dimatikan?"
"Kenapa kamu tidak duluan?" Stefan balik bertanya.
"Eh.. karena kamu bosnya?"
"Tapi kamu wanita. Seharusnya kamu yang ending duluan?"
"Biasanya bos yang duluan sopan."
"Ya, tapi sebagai wanita kamu kan lebih beradab?"
Keduanya terus berdebat hal sepele, enggan mengalah. Karyawan dan Chris memandang Stefan bingung. Siapa wanita yang bisa sedemikian mendominasi bos mereka yang dikenal bagai raja es? Mungkin sang wanita berapi-api ini bisa menjinakkan dinginnya bos.
Padahal, Stefan tak sepenuhnya dingin, hanya saja ia dibesarkan dalam lingkungan yang membentuknya demikian. Sikap dingin itu adalah tameng menghadapi kerasnya kehidupan yang harus dihadapi setelah ditinggal sang kakak.
Di sisi lain, Cayenne enggan menutup panggilan hingga Arthur datang menghampirinya.
"Sedang bicara dengan siapa?" Karena kaget ketahuan, dia segera menutup teleponnya.
Stefan melirik ponselnya dan menggeleng. "Bungkuskan aku satu kue. Pastikan rapi dibungkus."
"Baik, Tuan." jawab manajernya, segera menyuruh pelayan menyiapkan pesanan.
"Bungkus satu kue. Ingat, rapi. Bos mau beri ke pacarnya," bisik manajer pada pelayan.
Sementara itu, Cayenne masih mencoba menenangkan diri setelah kaget oleh Arthur. "Oh, Arthur. Kamu bikin kaget. Kenapa ada di sini?"
"Aku bilang perlu bicara. Kamar ibumu kosong, jadi ku putuskan mencari mu di sini."
"Jadi gitu. Ada apa?"
"Maaf ganggu pembicaraanmu dengan pacarmu."
"Ha? Itu bukan pacarku! Itu bosku. Cuma minta izin cuti hari Jumat."
"Oh." rautnya seolah tak tahu, walau jelas paham.
'Itu bukan gaya bicara dengan bos. Janggal,' pikir Arthur dalam hati, tetap senyum.
"Ingin bicara soal kita." ucapnya yang membuat Cayenne terpana. Sepengetahuannya, tak ada "kita" di antara mereka.
"Apa maksudmu?" tanyanya ragu. "Tak pernah ada 'kita'."
"Bukan itu. Aku menyesal membuatmu tidak nyaman saat menyatakan perasaanku. Aku tak ingin kamu merasa tertekan, walau tidak suka kau tak harus membalasnya. Aku hanya ingin kita berteman lagi seperti dulu." Ketulusannya membuat Cayenne melepas sedikit keraguan.
"Aku tak masalah berteman lagi. Tapi susah kembali seperti dulu setelah kamu ke Amerika. Bukan benci, aku hanya merasa bersalah, kamu suka orang yang tak bisa menghargai orang lain selain keluarganya."
"Itu tidak perlu kamu khawatirkan," jawab Arthur tersenyum. "Apa kita bisa ketemu jarang jarang?"
"Susah. Aku kerja siang malam. Pulang hanya untuk ganti baju sebelum kerja lagi. Akhir pekan di rumah sakit dengan ibu. Kamu mungkin jarang menemukanku."