**Prolog**
Di bawah langit yang kelabu, sebuah kerajaan berdiri megah dengan istana yang menjulang di tengahnya. Kilian, pangeran kedua yang lahir dengan kutukan di wajahnya, adalah sosok yang menjadi bisik-bisik di balik tirai-tirai istana. Wajahnya yang tertutup oleh topeng tidak hanya menyembunyikan luka fisik, tetapi juga perasaan yang terkunci di dalam hatinya—sebuah hati yang rapuh, terbungkus oleh dinginnya dinding kebencian dan kesepian.
Di sisi lain, ada Rosalin, seorang wanita yang tidak berasal dari dunia ini. Takdir membawanya ke kehidupan istana, menggantikan sosok Rosalin yang asli. Ia menikah dengan Kilian, seorang pria yang wajahnya mengingatkannya pada masa lalunya yang penuh luka dan pengkhianatan. Namun, di balik ketakutannya, Rosalin menemukan dirinya perlahan-lahan tertarik pada pangeran yang memikul beban dunia di pundaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Keringat membasahi dahi Rosalin, tetapi senyuman lembutnya tetap terpancar. Meski awalnya ia mengira menjalani hukuman ini akan sangat berat, terutama karena ia tidak begitu akrab dengan para pelayan lainnya, ternyata mereka semua menyambutnya dengan hangat. Setiap kali ia mengerjakan sesuatu, para pelayan dengan senang hati menawarkan bantuan, membuat segalanya terasa lebih mudah.
Saat ini, Rosalin sedang mengajarkan mereka memasak hidangan baru yang belum pernah mereka coba. Ia terlihat cekatan dan terampil, membuat para pelayan kagum. Rosalin sempat berpikir, mungkin lebih baik jika ia tetap menjadi pelayan saja dan membiarkan Kilian mencari wanita lain sebagai istrinya.
Begitu semua makanan siap, Rosalin mulai mendorong troli, diikuti oleh beberapa pelayan yang membantu membawa hidangan. Saat tiba di ruang makan, ia terkejut mendapati Kilian sudah duduk di tempatnya. Biasanya, Kilian akan datang terlambat, seolah sengaja menghindari Rosalin.
Rosalin berusaha tidak menatap Kilian secara langsung. Ia selalu menghindari kontak mata dengannya, takut rasa sakit di hatinya akan terlihat. Dengan hati-hati, ia mendekat dan mulai menyajikan makanan di hadapannya.
Namun, ketika Rosalin meletakkan sebuah piring, tangannya bergetar sedikit, membuat sendok yang ia bawa jatuh ke lantai. Dentingnya menggema di ruangan yang sunyi, membuat para pelayan lainnya terdiam cemas. Rosalin buru-buru menunduk, memungut sendok itu, sementara wajahnya memerah karena malu.
Kilian mengangkat alis, menatap Rosalin dengan tajam. “Jika kau merasa tugas ini terlalu sulit, katakan saja, Rosalin,” ucapnya pelan namun dingin. Nada suaranya seolah memotong udara, menusuk hati Rosalin yang sudah rapuh.
Rosalin menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia menatap Kilian sekilas, lalu segera menunduk lagi. “Maafkan saya, Yang Mulia. Saya hanya sedikit gugup,”
Beberapa pelayan berbisik-bisik dari kejauhan, prihatin melihat Rosalin yang dulu seorang bangsawan, kini harus merendahkan diri sebagai pelayan. Meski begitu, ada keteguhan di dalam dirinya yang membuat mereka diam-diam kagum.
Kilian hanya diam, seolah kata-kata Rosalin tak berarti apa-apa. Tatapannya tetap dingin dan tak terbaca. Rosalin pun melanjutkan pekerjaannya, menghidangkan makanan dengan hati-hati, menahan emosi yang bergemuruh di dalam hatinya. Meski harus menerima tatapan tajam dari pria yang dulu ia cintai, ia bertekad untuk tetap kuat dan menjalani hukuman ini dengan kepala tegak.
...***...
"Anda sangat hebat, Putri. Bagaimana bisa Anda menghadapi Yang Mulia dengan tenang?" ucap seorang pelayan bernama Maria, seorang gadis muda yang bahkan lebih muda dari Rosalin.
Rosalin tertawa kecil, mencoba meredakan kegugupannya. “Kau tahu, Maria, rasanya aku ingin pingsan saat itu juga, huhuhu…” Rosalin mendramatisir keadaannya, meskipun hatinya berbicara lain.
‘Dasar orang gila, hanya karena sendok jatuh dia menganggapku tidak sanggup menjalani hukuman,’ batinnya kesal.
“Saya sangat kasihan pada Anda, Putri. Seharusnya Anda menolak saat hukuman ini diberikan,” kata Maria prihatin.
Rosalin tersenyum hangat padanya. “Tidak apa-apa, Maria. Aku malah senang menjalani hukuman ini karena bisa bertemu denganmu dan yang lain. Lagipula, hukuman ini adalah akibat dari kesalahanku, jadi tidak perlu khawatir. Kita nikmati saja waktu ini selama seminggu ke depan, ya.”
Maria menatapnya dengan mata berbinar. “Saya kira Anda orang yang seperti yang sering saya dengar, ternyata tidak.”
Rosalin mengerutkan keningnya. “Memangnya aku seperti apa, Maria?”
“Katanya... Anda orang yang angkuh dan tidak pernah peduli pada pelayan. Mereka bilang, Anda hanya memperhatikan diri sendiri dan suka memerintah dengan kasar.” Maria menunduk, wajahnya sedikit memerah karena merasa tidak sopan.
Rosalin tertawa kecil, berusaha meredakan kecanggungan yang terlihat di wajah Maria. “Wah, ternyata aku punya reputasi seburuk itu, ya?” ucapnya sambil menyeka air mata yang keluar dari tawanya. “Tapi, kau tahu, Maria, terkadang orang hanya melihat apa yang mereka ingin lihat. Mereka tidak benar-benar mengenalku.”
Maria mengangguk pelan, tatapannya terlihat kagum pada Rosalin. “Anda berbeda, Putri. Anda tidak seperti cerita yang saya dengar. Anda bahkan mau bekerja keras bersama kami, membantu memasak dan membersihkan tanpa mengeluh sedikit pun. Anda jauh lebih baik dari yang saya bayangkan.”
Rosalin menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan perasaan campur aduk yang berkecamuk di hatinya. “Terima kasih, Maria. Senang rasanya mendengar itu darimu.” Ia tersenyum hangat, tapi pikirannya kembali melayang pada kata-kata Kilian tadi.
Di dalam hati, Rosalin tahu dirinya sedang menghadapi cobaan besar. Kilian yang dulu ia kenal baik kini terasa begitu asing, dingin, dan selalu siap merendahkannya. Namun, ia juga menyadari bahwa hukuman ini memberinya kesempatan untuk belajar lebih dalam mengenai kehidupan pelayan dan orang-orang di sekitarnya, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Baiklah,” kata Rosalin, mencoba mengembalikan keceriaan di antara mereka. “Mari kita nikmati minggu ini, dan kuharap kita bisa menjadi teman yang baik. Lagipula, hukuman ini terasa jauh lebih ringan karena aku dikelilingi orang-orang sepertimu.”
Maria tersenyum cerah, mengangguk penuh semangat. Mereka pun melanjutkan tugas mereka bersama-sama, saling bertukar cerita dan tawa di sela-sela pekerjaan. Di balik cobaan ini, Rosalin merasakan ada pelajaran berharga yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan jika tetap berada di balik statusnya sebagai bangsawan.
semoga ceritanya sering update