John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Dibenci
Di apartemen John, melalui sambungan telepon, malam itu John menerima laporan dari orang kepercayaannya yang sempat menolong Nadira. Mendengar detail kejadian yang dilaporkan, John merasa lega namun juga penasaran dengan orang-orang yang ingin menghancurkan hidup Nadira.
Setelah orang kepercayaannya selesai memberikan laporan, John mengakhiri panggilan. "Siapa sebenarnya orang-orang yang disebut 'mereka' oleh Nadira? Apa kerabatnya?" gumam John pada dirinya sendiri.
John mendadak mengernyit, ekspresinya berubah serius. Pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran tentang kejadian yang dialami Nadira. Ia bergumam pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri, "Apakah mereka akan terus memaksa Nadira? Apa setelah hari ini mereka akan berhenti begitu saja?"
Tatapan John terarah ke luar jendela, namun pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan. Meski awalnya dia berniat hanya mengawasi gadis itu dari jauh, kini rasa tanggung jawabnya pada Nadira justru semakin kuat. Apalagi setelah mengetahui bahwa ada orang-orang yang tak menyukai Nadira dan ingin menghancurkan hidup Nadira.
Matanya tertuju ke arah luar jendela, namun pikirannya penuh dengan cerita yang Nadira bagi malam sebelumnya. Bagaimana gadis itu kabur dalam pengaruh obat karena dijebak. "Dia tak punya siapa-siapa untuk melindungi dirinya." Hatinya semakin mantap untuk melindungi Nadira.
Tanpa sadar, John semakin dalam terjerat dalam kehidupan Nadira. Awalnya, ia hanya merasa simpati, ingin memastikan gadis itu aman setelah kejadian di hotel dan kampus tadi. Namun kini, simpati itu perlahan berubah menjadi perhatian yang lebih dalam. Tanpa ia sadari, hampir setiap tindakannya kini melibatkan Nadira.
Hari-harinya mulai dipenuhi oleh kecemasan jika Nadira belum pulang, atau kegembiraan kecil saat melihat Nadira tersenyum padanya. Kehadiran gadis itu telah mengisi kekosongan dalam dirinya yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Meski ia tahu hubungan ini bisa menjadi rumit, hatinya mulai menginginkan Nadira lebih dari sekadar seorang gadis yang perlu ia jaga.
John mengambil ponselnya dan menghubungi kembali orang kepercayaannya. Begitu panggilan tersambung, ia berkata tegas, "Aku ingin kau tetap mengawasi Nadira, pastikan dia aman. Jika ada siapa pun yang berusaha memaksanya lagi, jangan ragu untuk mengambil tindakan."
Suara dari seberang sana mengiyakan instruksi John, membuatnya sedikit tenang. Setelah menutup telepon, John meletakkan ponselnya dengan helaan napas panjang. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa ia sampai sejauh ini untuk melindungi Nadira. Namun, bagian dari dirinya tahu jawabannya, ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti gadis itu, apa pun risikonya.
***
Di ruang kerja rumah Beno, pria yang ditugaskan membawa pulang Nadira berdiri dengan gelisah, sesekali melirik ke arah majikannya yang tengah duduk sambil menatapnya tajam. Dengan nada sedikit tertahan, ia mulai melaporkan kejadian siang tadi, "Maaf, Tuan. Saya sudah mencoba membawa pulang Nona Nadira seperti yang Anda perintahkan. Namun... ada seseorang yang tiba-tiba menghentikan saya."
Beno mengerutkan keningnya. "Seseorang? Maksudmu ada yang ikut campur?" tanyanya dengan nada tak sabar.
Pria itu mengangguk cepat, "Benar, Tuan. Saya perhatikan orang itu memang berada di sekitar Nona Nadira sejak awal, seperti sedang mengawasinya. Waktu saya mulai memaksa Nona Nadira, dia langsung mendekat dan mengancam. Bahkan setelah saya meninggalkan Nona Nadira, dia menghampiri saya dan memperingatkan saya untuk tidak mencoba lagi atau dia tidak akan tinggal diam."
Beno mendengus, wajahnya berubah menjadi semakin dingin. "Jadi, Nadira punya pelindung sekarang?" gumamnya setengah mencibir. Ia lalu menatap pria itu tajam, ekspresinya penuh kemarahan yang mulai tersulut, "Apa kau tahu siapa dia? Apa dia sengaja ditugaskan untuk melindungi Nadira?"
Pria itu menggeleng, "Saya tidak tahu, Tuan. Tapi dari sikapnya, dia terlihat sangat serius melindungi Nona Nadira. Dan dari cara dia mengawasi, sepertinya dia memang sudah ditugaskan untuk itu."
Beno menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya menyipit penuh perhitungan. "Menarik. Jadi, ada yang menganggap Nadira pantas dilindungi sedemikian rupa. Baiklah." Ia terdiam sejenak, seakan mencerna informasi tersebut, sebelum akhirnya berkata dengan nada dingin, "Kita akan lihat siapa yang berani campur tangan. Untuk sementara, biarkan saja. Tapi jangan sampai lengah. Lihat bagaimana perkembangannya, dan laporkan semuanya padaku."
Pria itu mengangguk hormat, mengerti bahwa majikannya punya rencana lain. Tanpa berkata lebih lanjut, ia mundur keluar dari ruangan, meninggalkan Beno yang kembali tenggelam dalam pikirannya, kini penuh dengan kemarahan dan strategi baru.
Setelah kepergian pria itu, ruang kerja Beno menjadi sunyi, Beno duduk termenung, memandang kosong ke arah foto tua pernikahannya dengan ibu Nadira. Ia bergumam sendiri, seakan berbicara pada sosok dalam foto itu.
“Kenapa aku harus menikah denganmu?” desis Beno dengan nada rendah, penuh penyesalan. “Padahal kau tahu aku mencintai Sandra. Tapi kau meminta orang tuamu untuk menikahkan kita dengan dalih aliansi bisnis. Kau pikir bisa memiliki aku sepenuhnya jika menikah denganku? Naif!”
"Brakk..!"
Ia melemparkan foto itu ke meja dengan kasar, lalu bersandar, memejamkan mata sejenak. Kenangan masa lalu mulai bermunculan, wajah ibu Nadira yang selalu tersenyum, penuh perhatian, dan penuh kasih padanya.
“Aku tahu kau mencintaiku, tapi apa gunanya? Aku tak pernah bisa membalas cintamu itu,” gumam Beno lagi, suaranya lebih lembut namun getir. “Apa yang kau harapkan dari seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan pernikahan ini?”
Ia mendesah panjang, seolah menyingkirkan beban di dadanya, lalu kembali bergumam, “Meski kau mencintaiku… aku hanya ingin Sandra. Selalu hanya Sandra. Bahkan setelah kita menikah, aku terus bersamanya di belakangmu. Kau tahu itu, 'kan?”
Beno tertawa pahit, mengingat betapa sering ia mengabaikan istrinya demi bertemu Sandra. Seketika, matanya beralih pada foto Nadira di meja. Pandangan sinis menghiasi wajahnya.
“Dan kau, Nadira… kau hanya pengingat betapa pernikahan ini menghancurkan hidupku,” katanya pelan, suaranya penuh rasa jijik dan dingin. “Kau sama seperti ibumu, penghalang yang membuatku terperangkap dalam permainan keluarga yang kejam ini.”
Beno menggelengkan kepala sambil tertawa hambar, “Kau pikir aku akan membiayai kuliahmu? Memerhatikanmu? Aku tak akan pernah memberikan apapun padamu. Hanya karena harta ibumu yang membuatmu masih di sini.”
Lalu ia bergumam pelan namun penuh dendam, “Sekarang, dengan kau ada, kenapa tidak? Setidaknya kau bisa memberi keuntungan bagiku. Kalau ada pengusaha yang menyukai gadis muda, kenapa aku harus menolak? Kau tak pernah berarti untukku, Nadira. Tidak pernah.”
Ia memalingkan wajah, seakan tak sudi melihat foto putrinya lebih lama lagi. Foto Nadira dan ibunya masih terpajang di ruang kerja Beno, bukan karena kenangan indah, tetapi sebagai simbol luka dan dendam. Pernikahan yang dipaksakan oleh keluarganya telah membuat Beno merasa terjebak, dan foto itu mengingatkannya pada cinta yang tak pernah ia inginkan. Meski tak pernah peduli pada Nadira, Beno membiarkan foto itu di sana, sebagai sebuah pembenaran bagi dirinya untuk mengabaikan warisan cinta yang dianggapnya sebagai beban.
Setiap kali memandang wajah ibunya Nadira di foto itu, ia merasa dipenuhi rasa sakit, namun juga kepuasan tersendiri karena mengabaikan warisan cinta yang tak pernah ia inginkan. Setiap kali melihat foto tersebut, perasaan benci dan dendamnya muncul kembali, menguatkan tekadnya untuk terus mengabaikan Nadira. Sungguh ironi, bukan? Foto itu dipajang bukan karena dicintai, tapi dibenci.
***
John menatap gelas di tangannya, cairan bening beraroma khas menguar tipis. Ia meneguknya perlahan, bukan untuk mabuk atau menghilangkan penat, tapi sekadar mengingat masa lalu di negara asalnya. Ia bergumam pelan, “Aku tahu ini tak baik untuk kesehatan, tapi… sudah terlalu terbiasa sejak di negara asalku.” Ia menarik napas panjang, lalu meneguknya lagi perlahan.
Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak terlalu kecanduan, hanya ingin menikmati sesekali saja. “Untunglah aku masih bisa mengendalikan diri,” batinnya, seolah meyakinkan diri bahwa kebiasaan ini tak akan membawanya terlalu jauh.
John duduk santai di ruang tamu, masih memegang gelas minumannya. Saat mendengar pintu terbuka, ia menoleh, dan melihat Nadira masuk dengan senyum cerah yang entah mengapa selalu menyegarkan suasana.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂