Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menimbang pilihan
Setelah percakapan di kafe, Bayu merasa semakin tidak yakin tentang perasaannya. Semua kata-kata yang diucapkan Rara seolah membekas dalam dirinya. Dia tahu bahwa Rara memang tulus, tapi apa yang harus ia lakukan dengan perasaan yang baru tumbuh ini? Rasa bingung dan cemas tak kunjung hilang, malah semakin terasa kuat.
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan biasa. Bayu mencoba untuk tetap fokus pada kuliahnya. Setiap kali ia berjalan ke kampus, pikirannya selalu melayang pada Rara. Di kelas, saat dosen berbicara tentang filsafat, Bayu hanya bisa mengingat kata-kata Rara yang memantul di kepalanya. Kenapa rasanya sulit untuk mengabaikan perasaan itu?
Hari itu, seperti biasa, Bayu berjalan ke kampus dengan langkah pelan. Tidak ada yang berbeda, namun hatinya terasa berdebar. Sesampainya di kampus, ia melihat Rara sudah menunggu di depan pintu gedung. Gadis itu mengenakan jaket biru muda yang menambah kesan ceria pada penampilannya. Bayu menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah mendekat.
“Ra,” sapa Bayu dengan suara pelan.
Rara menoleh, tersenyum, dan melambaikan tangan. “Eh, kamu udah datang. Aku pikir kamu bakal telat.”
“Enggak kok,” jawab Bayu, sedikit kikuk. “Ada yang perlu gue bicarain.”
Rara mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Apa tuh? Apa lagi yang bikin kamu bingung?”
Bayu menarik napas. “Ra, gue nggak ngerti soal perasaan. Selama ini, gue selalu berpikir pakai logika, tapi kenapa perasaan gue malah makin kacau? Gue nggak tahu harus bagaimana.”
Rara duduk di bangku taman dekat gedung, memandang langit yang mulai mendung. “Perasaan itu memang sulit dimengerti, Bayu. Kadang, logika itu nggak akan membantu kamu untuk memahami hati. Kamu harus belajar untuk merasakannya.”
“Tapi, kalau gue nggak bisa ngerti perasaan gue sendiri, gimana gue bisa tahu kalau ini benar?” Bayu mengalihkan pandangannya, memeluk dirinya sendiri seolah ingin menenangkan dirinya sendiri. “Gue takut kalau salah. Gue nggak mau nyakitin orang.”
Rara menatap Bayu, memberikan senyum yang lembut. “Kamu nggak perlu khawatir tentang itu, Bayu. Gue percaya kalau kamu nggak akan melukai siapa pun. Kamu cuma butuh waktu. Gue juga nggak pernah berharap kalau semuanya harus terjadi cepat. Kita berjalan pelan-pelan aja.”
Bayu menunduk, merasakan rasa hangat yang mulai menyusup ke dalam dadanya. Rara selalu sabar, selalu ada dengan cara yang lembut. Itulah yang membuat Bayu merasa bingung. Perasaan apa ini? Mungkinkah ini cinta? Ataukah sekadar perasaan yang timbul karena perhatian dan kebaikan Rara?
Tak lama setelah itu, mereka berdua kembali ke kelas. Bayu merasa ada perasaan baru yang tumbuh dalam dirinya, meskipun ia belum tahu apa yang harus dilakukannya. Hanya satu yang ia tahu: perasaan itu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sepulang dari kampus, Bayu berjalan pulang dengan langkah lambat. Ia berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan untuk membeli minuman. Sambil menunggu pesanan, Bayu melihat sekelompok orang sedang berkumpul di pojok jalan, mereka tampak sedang asyik berbincang. Tidak ada yang khusus, namun Bayu merasa sedikit terasing. Semua orang tampak begitu mudah bergaul, sementara dirinya selalu merasa tidak nyaman berada di tengah-tengah keramaian.
Bayu menghela napas panjang. Ia kembali berpikir tentang Rara dan percakapan mereka tadi. Apa yang Rara katakan benar, bahwa perasaan memang tidak selalu bisa dijelaskan dengan logika. Namun, Bayu yang terbiasa dengan logika merasa kebingungannya semakin dalam. Ia tak tahu harus bagaimana melangkah, apalagi jika harus melibatkan perasaan. Apakah ia bisa membuka hati untuk Rara, atau justru lebih memilih untuk menutupinya?
Ketika pesanan datang, Bayu membawa minumannya dan duduk di sebuah bangku di dekat warung. Ia menatap langit yang mulai gelap, merasa kebingungannya semakin mendalam. Ada begitu banyak pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, tetapi tidak ada satu jawaban yang bisa menenangkan hati.
Perasaan bingung ini bukan hal baru. Bayu selalu merasa seperti orang yang terjebak di antara dua pilihan yang sulit. Ketika dihadapkan pada masalah, ia lebih memilih untuk menghindarinya. Namun, sekarang perasaan itu datang begitu kuat dan tak bisa dihindari lagi.
“Gue harus gimana, ya?” Bayu berbicara pada dirinya sendiri, seolah mencari jawaban dari pikirannya.
Esok harinya, Bayu kembali ke kampus dengan perasaan yang tak kunjung jelas. Pagi itu cuaca sedikit mendung, seakan mencerminkan suasana hatinya. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada kuliahnya. Saat tiba di ruang kelas, ia melihat Rara sedang berbincang dengan teman-temannya. Tanpa sadar, Bayu menatapnya. Ada perasaan yang tak bisa diungkapkan, namun entah mengapa, hatinya berdebar saat melihatnya.
Rara melihat Bayu dari kejauhan dan tersenyum. Dia memberi isyarat agar Bayu mendekat. Dengan sedikit ragu, Bayu berjalan menuju tempatnya.
“Ra,” sapa Bayu dengan suara rendah.
“Hai, Bayu! Duduk sini,” kata Rara sambil menepuk bangku di sampingnya.
Bayu duduk dan hanya diam, merasa canggung. Tidak seperti biasanya, ia merasa sulit untuk berbicara. Rara menatapnya dengan penuh perhatian. “Ada yang nggak beres, ya?”
Bayu mengangguk pelan. “Gue nggak ngerti, Ra. Semua ini... Gue merasa bingung. Gue nggak tahu apa yang gue rasakan.”
Rara tersenyum lembut. “Gak apa-apa, Bayu. Gue tahu kamu pasti nggak mudah menghadapi ini. Gue nggak akan maksa kamu buat cepat-cepat jawab apa yang ada di hati kamu. Gue cuma ingin kamu tahu, bahwa gue ada di sini.”
Bayu menatap Rara, merasa ada sesuatu yang hangat di dalam dirinya. “Kenapa lu bisa sabar banget sama gue?”
“Karena gue tahu kamu nggak jahat. Kamu cuma belum ngerti apa yang sebenarnya kamu rasakan,” jawab Rara dengan jujur. “Dan itu nggak masalah. Kita bisa pelan-pelan cari tahu.”
Bayu hanya bisa terdiam. Kata-kata Rara begitu tulus, begitu sederhana, tapi membuatnya merasa cemas. Apakah ia siap untuk membuka hatinya? Apakah ia bisa mengikuti perasaan yang semakin kuat itu, atau akankah ia terus menutupinya?
Rara menyadari kebingungannya, dan ia tahu Bayu butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Tidak ada paksaan. Yang penting, Bayu merasa nyaman. “Kamu nggak perlu buru-buru, Bayu. Kita bisa jalanin semuanya pelan-pelan.”
Namun, perasaan Bayu semakin rumit. Meskipun kata-kata Rara menghibur, hatinya tetap bertanya-tanya. Apa yang harus dilakukan sekarang? Haruskah ia mulai melangkah lebih dekat kepada Rara, atau tetap menjaga jarak seperti biasanya?
Setelah kuliah selesai, Bayu berjalan pulang dengan langkah berat. Pikirannya penuh dengan kebingungannya sendiri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan setiap langkah terasa lebih lama dari biasanya. Bayu tahu bahwa dia harus menghadapi perasaan ini, tetapi dia belum siap.
Ketika tiba di kos, Bayu duduk di meja belajar, merenung. Rara sudah menunjukkan ketulusan, tetapi apakah Bayu bisa menerima perasaan itu? Dalam hatinya, Bayu merasakan ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, namun kata-kata itu terasa sulit keluar.