Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis yang sangat ingin merasakan kehangatan dalam sebuah rumah. Tentang seorang gadis yang mendambakan kasih sayang dari keluarganya. Seorang gadis yang di benci ketiga kakak kandungnya karena mereka beranggapan kelahirannya menjadi penyebab kematian ibu mereka. Seorang gadis yang selalu menjadi bulan- bulanan mama tiri dan saudara tirinya. Kehidupan seorang gadis yang harus bertahan melawan penyakit mematikan yang di deritanya. Haruskah ia bertahan? Atau dia harus memilih untuk menyerah dengan kehidupannya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#35
Mahesa meminta untuk di tempatkan satu ruangan dengan Keyla baik sebelum dan sesudah mereka berdua melakukan operasi. Ia meraih tangan Keyla lalu ia genggam untuk menghilangkan rasa gugupnya. Mahesa menatap tangan Keyla yang berada dalam genggamannya, tangan yang tidak pernah ia sentuh.
Mahesa menghela nafasnya. "Kapan terakhir kali kakak memegang tanganmu?" Tanya Mahesa dalam hati dengan mata berkaca- kaca.
"Lebih baik kamu beristirahat. Suster sebentar lagi kesini untuk memasangkan infus." Ucap Mahen.
Mahesa menghapus air matanya yang menetes. "Keyla pasti sembuhkan kak?" Tanya Mahesa tanpa mengalihkan pandangannya.
Mahen meraih tangan Mahesa yang masih menggenggam erat tangan Keyla. "Pasti. Keyla pasti sembuh." Jawab Mahen.
"Kakak janji sama kamu Key, jika kamu sembuh kakak akan memperlakukan kamu dengan lebih baik. Kakak akan menuruti semua yang kamu inginkan. Apapun itu." Ucap Mahesa.
"Kamu dengar itu kan dek?" Tanya Mahen. "Jadi kamu harus sembuh. tidak boleh menyerah." Lanjut Mahen lalu merangkul Mahesa yang masih menangis.
.
.
Brankar Keyla dan Mahesa di dorong menuju ke ruangan operasi. Mahen, Aga, Feli, Nico dan suster Tasya ikut mengantar mereka berdua hingga batas terakhir mereka boleh berada. Mereka masih setia menatap Keyla dan Mahesa hingga satu per satu dari mereka memasuki ruangan operasi. Setelah pintu ruangan operasi di tutup, mereka langsung menyatukan kedua tangan masing- masing untuk berdoa meminta keberhasilan operasi Keyla.
Di dalam ruang operasi Mahesa menatap wajah adik yang selama ini tidak dia akui keberadaannya. Mahesa mengerutkan kening saat diberikan obat bius ke dalam tubuhnya. Hingga perlahan mata Mahesa mulai tertutup.
Keyla sedikit tersadar saat samar- samar melihat wajah Mahesa yang berada tak jauh dari tempatnya terbaring.
"Kakak." panggil Keyla lirih. Ia ingin berteriak untuk menghentikan ini tapi tak ada yang meresponnya. Tak ada suara yang benar- benar keluar dari bibirnya. Keyla ingin meraih tangan Mahesa tapi tak bisa sehingga ia hanya bisa menangis.
Air mata Keyla keluar sebelum ia kembali tak sadarkan diri karena pengaruh dari obat bius.
Pandangan Mahen benar- benar kosong. Sungguh Mahen merasa seperti tak memiliki tenaga. Ia terus menunggu operasi kedua adiknya yang saat ini tengah berlangsung itu. Dokter memang sudah memberitahu kepada mereka jika operasi ini akan membutuhkan waktu sedikit lama dan jika mereka merasa lelah mereka bisa menunggu sambil beristirahat di ruangan rawat Keyla sebelumnya.
Bagaimana Mahen bisa mengistirahatkan tubuhnya sedangkan kedua adiknya saat ini sedang berjuang di dalam sana.
Hampir dua jam Mahen menunggu dan pintu ruang operasi masih belum juga terbuka membuat dirinya semakin merasa takut. Apa terjadi sesuatu di dalam sana?
Mahen hampir limbung jika tidak di pegang Aga. "Kenapa mereka lama sekali." Tanya Mahen.
"Lebih baik kakak istirahat dulu." Ucap Aga yang langsung di jawab gelengan kepala oleh Mahen.
"Bagaimana aku bisa beristirahat jika kedua adikku masih di dalam sana?" Ucap Mahen lirih.
Atensi mereka teralihkan saat mendengar suara pintu ruang operasi yang terbuka.
"Bagaimana operasinya dok?" Tanya Mahen.
"Operasinya berjalan dengan lancar tetapi kondisi keduanya sempat mengalami pendarahan namun sudah tertangani. Untuk sekarang kita masih perlu melakukan opservasi pasca operasi pada kedua pasien karena pada waktu 48 jam pertama setelah operasi adalah masa paling kritis dan banyak hal bisa terjadi seperti pendarahan, infeksi atau reaksi alergi. Jika tidak ada keluhan atau tanda- tanda seperti yang saya sebutkan tadi maka pendonor bisa segera di pindahkan ke ruang rawat segera." Ucap dokter Ferdi.
"Sedangkan untuk pasien di karenakan kondisi vitalnya yang mengalami penurunan dan sangat lemah jadi kami akan merawatnya di ruangan intensif terlebih dahulu sampai kami dapat memastikan kondisi pasien kembali stabil."
.
.
Mahen dan Mahesa menatap nanar Keyla dari balik kaca. Sudah satu minggu sudah sejak operasi sumsum tulang belakang Keyla di lakukan, tapi masih tidak ada tanda- tanda bahwa adiknya itu akan kembali membuka kedua matanya.
"Kak." panggil Mahesa sendu. "Apa Keyla masih belum memaafkan aku? Apa dia tidak bisa memaafkan aku? Apa Keyla sangat tidak ingin melihatku?" Pertanyaan bertubi- tubi dari Mahesa.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Tanya Mahen sambil mengusap bahu Mahesa. "Keyla itu pemaaf. Sebesar apapun kesalahan kita kepadanya, dia pasti akan selalu membuka pintu maafnya untuk kita."
"Lalu kenapa sampai sekarang Keyla belum juga tersadar. Kenapa dia belum membuka kedua matanya. aku sungguh menyesal karena sudah memperlakukan Keyla dengan buruk. Andai saja aku tahu akan seperti ini, aku akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin." Ucap Mahesa.
Mahen terdiam. Ia tidak tahu harus merespon ucapan Mahesa seperti apa.
"Apa kalian ingin masuk?" Tawar seorang suster yang baru saja keluar dari dalam ruangan ICU.
"Apa boleh sus?" Tanya Mahen ragu.
Suster itu menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. tetapi hanya sebentar karena pasien masih harus beristirahat" Jawab suster tersebut. "Sebelum masuk jangan lupa untuk mengganti pakaian kalian berdua terlebih dahulu." suster mengingatkan.
Mahen dan Mahesa masuk kedalam ruangan ICU dimana Keyla dirawat. Mahen mendorong kursi roda Mahesa pelan sekali seakan takut mengganggu tidur Keyla. Terpasang banyak alat dari mesin yang bunyinya saja terasa mengerikan di telinga mereka berdua.
Tangan Mahesa menggapai tangan Keyla yang tidak terpasang infus lalu sedikit merematnya. Wajah Keyla terlihat sedikit berisi sehingga hampir tidak terlihat jika dirinya nampak sakit, bahkan Keyla terkesan hanya sedang tertidur lelap saja.
"Apa kamu masih marah pada kakak?" Tanya Mahesa sambil menatap lekat wajah Keyla. "Kakak mohon kamu harus bangun hem."
Mahesa menganggukkan kepalanya. "Kakak tahu kamu akan segera bangun." Ucap Mahesa meyakinkan dirinya. Tapi jika kamu masih merasa lelah tidak apa- apa jika ingin tidur sebentar lagi. Kakak akan tetap menunggu kamu.." Mahesa menjeda ucapannya.
Mahesa menatap sendu Keyla. "Kamu tahu Key, sekarang kakak merasa seperti sedang menerima hukuman dari kamu." Ucap Mahesa lirih. "Andai kakak bisa lebih bersikap dewasa saat itu dan tidak termakan omongan papa dan mama mungkin hubungan kita akan baik- baik saja. Mungkin kakak bisa memperlakukan mu lebih baik dan tidak merasakan rasa bersalah seperti sekarang." Mendengar ucapan Mahesa yang penuh penyesalan membuat Mahen meremat pegangan tangannya pada kursi roda adiknya.
.
.
"Kakak" Pekik Kezia terkejut saat tak sengaja melihat Mahen dan Mahesa keluar dari ruang ICU. Melihat Mahesa yang duduk di atas kursi roda semakin membuat Kezia berteriak histeris. "Apa yang sudah kakak lakukan? Apa kakak benar- benar mendonorkan sumsum kakak untuk anak pembawa sial itu?"
"Zia." bentak Mahesa yang membuat kedua mata Kezia membulat.
"Kakak membentakku." Tanya Kezia. Ia merasa sulit untuk percaya bahwa baru saja kakaknya yang selama ini selalu sayang kepada dirinya malah membentakknya untuk pertama kali. "Aku tidak percaya kakak membentakku." Ucap Kezia dengan suara nada tingginya.
"Itu karena kamu sudah keterlaluan. Dan ingat ini di rumah sakit jadi rendahkan suaramu." Ucap Mahesa sambil menatap tajam Kezia.
"Ini semua salah kak Mahen. Seharusnya kak Mahen melarangnya.. Seharusnya kak Mahen tidak membiarkan kak Esa untuk mendonorkan sumsumnya. Seharusnya kak Mahen tidak mengajak kak Esa untuk melihat kondisi dia. Jika kak Mahen tidak melakukan itu pasti kak Esa masih bersama ku. Pasti kak Esa masih menyayangiku. Pasti kak Esa tidak membentakku seperti sekarang." Ucap Kezia sambil menangis karena tidak terima dengan cara Mahesa memperlakukannya sekarang.