Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: The Real Queen Of Chaos
Pagi itu, Valeska melangkah lesu menuju sekolah. Kepala masih penuh dengan kejadian semalam—Keenan ngamuk di telepon, uang yang dia sembunyikan di lemari, dan drama lain yang seperti tidak ada habisnya.
“Hhh… capek banget rasanya. Akhir-akhir ini kok masalah nempel kayak lem tikus,” keluhnya sambil memijat pundaknya yang terasa berat.
“Val!” Sebuah suara ceria terdengar dari belakang, membuat langkahnya terhenti.
Valeska menoleh. Vidya. Si pacar Keenan yang selalu punya energi seperti baterai baru dicas.
“Lesu amat, baru juga pagi,” komentar Vidya sambil menghampiri.
Valeska hanya menarik napas panjang. Terus terang, dia lagi nggak mood untuk berinteraksi, apalagi dengan Vidya yang kadang terlalu banyak nanya.
“Soal tadi malam, lo nggak usah cemas. Keenan udah percaya sama lo, kok.” Vidya tersenyum lebar, bangga seperti habis menaklukkan naga.
“Hm.” Valeska hanya menanggapi dengan gumaman pendek.
“Eh, gue mau nanya sesuatu,” Vidya mencondongkan tubuhnya dengan ekspresi penasaran.
“Apa lagi, sih?” jawab Valeska malas.
“Lo sama Pak Vincent tuh kok bisa kebetulan gitu ya kenalnya?” tanya Vidya.
“Takdir,” jawab Valeska pendek, jelas menunjukkan dia nggak berniat memperpanjang obrolan.
Vidya mengerutkan kening, nggak puas dengan jawaban itu. “Hmm… tapi agak aneh aja deh. Masa iya CEO Everleigh bisa seceroboh itu? Kalau asistennya sampai ngejatuhin uang sebanyak itu, seharusnya dia marah besar, ya? Bukannya santai kayak semalam.”
CEO?
Kata itu langsung membuat langkah Valeska terhenti. Dia menatap Vidya, mencoba mencerna. “Tadi lo bilang apa?”
“Pak Vincent. CEO Everleigh." Vidya menatapnya dengan wajah polos.
“CEO?” ulang Valeska dengan suara yang lebih tinggi dari niatnya.
“Iyaaa… Astaga, Val. Jangan bilang lo nggak tau?!” Vidya melongo seperti nggak percaya.
Valeska menggeleng pelan, matanya membulat sempurna. Puzzle yang selama ini terpecah-pecah di otaknya mulai tersusun. Mobil mewah waktu di taman kota, cara Vincent bicara, sikap semua orang di restoran, gaji tiga juta per hari buat masak…
Astaga. Gue bodoh banget.
Dia langsung memegang kepala, penglihatannya mulai sedikit berkunang-kunang.
“Val! Lo kenapa?” Vidya mulai panik.
“Bego! Gue bego! Kok gue nggak nyadar dari awal?” Valeska mulai memukul kepalanya sendiri, menyesali kebodohannya.
“Val, stop! Lo kesurupan apa gimana sih?!” Vidya mencoba menarik tangan Valeska.
Sementara itu, di dalam kepala Valeska, segala jenis drama bergulir: Kenapa Vincent nggak bilang dia CEO? Emangnya ini semacam reality show? Terus, gue kelihatan kayak apa di mata dia? Bocah lugu? Babu bayaran? Aduh, malu banget sumpah.
Vidya mengguncang bahunya, mencoba menariknya kembali ke realitas. “VAL! Fokus! Gue ngerti lo shock, tapi jangan kayak orang gila di tengah jalan!”
Akhirnya, Valeska menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian buat ngomong. “Vidya…”
“Apaan lagi?!”
“Rasanya ... Gue pengen menghilang aja dari dunia ini sekarang juga."
......................
Di ruangan kantornya yang besar dan rapi, Vincent duduk bersandar sambil tersenyum lebar. Laptop di depannya menampilkan laporan keuangan, tapi fokusnya jelas bukan di angka-angka itu.
Vincent sedang puas. Bangga. Dan, ya, mungkin sedikit terlalu percaya diri. Malam sebelumnya, dia berhasil menyelamatkan Valeska dari masalah besar. Momen heroik itu jelas membuat gadis itu merasa lebih berhutang jasa dengannya. Tepat seperti yang dia inginkan.
“Well … lo sekarang pahlawannya Valeska, ya?” Suara berat Desta memecah keheningan.
Vincent menoleh, menatap sahabatnya yang muncul entah dari mana sambil membawa dua cangkir kopi. “Apa maksud lo?” tanyanya, meski sebenarnya dia tahu.
Desta menyodorkan kopi, lalu duduk di sofa. “Lo bangga banget, kan? Nolongin Valeska."
Vincent terkekeh, mengambil kopinya. “Jelas lah bangga. Gue nolong dia tadi malam. Dan, ya, dia seneng banget. Kelihatan banget kalau dia lega.”
Desta hanya menggeleng, lalu tertawa kecil. “Lo tuh ya… kadang gue bingung. Lo mau jadi malaikat pelindung atau dalang utama?”
“Apaan sih?” Vincent langsung mengernyit.
Desta menaikkan alis. “Padahal kan kalau dipikir-pikir, sebenarnya penyebab kekacauan ini karena dari lo, Vin."
Tawa Vincent langsung terhenti. Senyumnya memudar, berganti dengan tatapan datar. Dia tahu Desta benar.
“Tapi gue salut,” lanjut Desta, mengangkat tangannya seolah memberi penghormatan. “Lo bikin kekacauan, lo jadi pahlawan, terus Valeska makin lengket sama lo. Luar biasa.”
Vincent hanya menghela napas panjang. Desta memang selalu berhasil memancing sisi sinisnya keluar.
Setelah beberapa saat hening, Desta mendadak berganti topik. “Anyway, lo tau kan, nyokap lo lagi cari gadis yang bisa bikin anaknya jatuh cinta?”
Vincent mengernyitkan alis. “Lo tau ini dari mana?”
Desta tersenyum lebar. “Zoey.”
“Zoey?” Vincent menyipitkan matanya, penuh kecurigaan.
“Yep. Ketemu dia tadi malam di party.”
“Dan?” Vincent menunggu dengan waspada, sudah bisa menebak kelanjutannya.
Desta memasang wajah bangga. “Gue tidur sama dia. Hahaha!”
Vincent langsung memutar bola matanya. “Tentu saja. Siapa lagi yang bisa bikin cewek setegas Zoey takluk selain lo.”
“Yah, gue memang beda, Bro,” kata Desta dengan santai. “Tapi yang penting, sekarang gue punya orang dalam buat memata-matai nyokap lo.”
Vincent mengangguk pelan, berpikir. “Kalau gitu, lo jangan sampai putus sama Zoey.”
Desta langsung mendelik. “Dih. Gue nggak pacaran sama dia, gila!”
“Kalau gitu, lo pacaran aja sekarang.”
“Sialan lo, Vin! Lo mau gue jadi tumbal?” Desta protes dengan nada tinggi, tapi Vincent hanya tertawa kecil, menikmati kekesalan sahabatnya.
......................
Megan sedang bersantai di ruang *salon pribadinya*. Kursi pijat yang empuk hampir membuatnya lupa kalau hidupnya tidak seindah highlight Instagram-nya. Namun, kenyamanan itu terganggu ketika HP-nya tiba-tiba bergetar.
Agnes, asisten pribadinya, dengan sigap menyerahkan HP itu. “Telepon dari Bu Direktur Everleigh,” katanya sopan.
Megan mengangkat alis. “Tante Melani?”
Agnes mengangguk.
Megan menerima telepon itu dengan santai, menempelkan HP ke telinga. “Halo, Tante. Apa kabar?” sapanya, suara terdengar ceria—nyaris palsu.
“Kabar baik. Kamu gimana, Megan?” Melani menjawab dengan nada dingin, khas seorang wanita bisnis yang tidak pernah punya waktu untuk basa-basi.
“Kabar Megan—" Megan menarik napas panjang, mengubah nada suaranya jadi penuh drama. “—buruk, Tante.”
“Buruk? Kenapa?”
“Vincent, Tante. Dia … dia menyebalkan.”
Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon. “Menyebalkan bagaimana?”
“Dia nggak mau ketemu sama Megan, Tante. Setiap ketemu, mukanya selalu jutek. Megan kesel banget,” curhatnya, sambil mencubit lengan sendiri biar terkesan lebih emosional.
Ada jeda. Kemudian, suara Melani kembali terdengar tegas. “Malam minggu nanti kamu makan malam di rumah Tante. Bersama Vincent. Tante sudah kasih tahu dia juga.”
“Yang benar, Tante?” Nada suara Megan berubah drastis. Matanya berbinar seperti mendapat hadiah kejutan.
“Ya. Dan Vincent akan menjemput kamu di rumah.”
“Thank you, Tante Melani!” Megan berseru penuh semangat.
Setelah telepon ditutup, Megan mengembalikan HP itu ke Agnes dengan ekspresi pemenang. “Agnes, kita harus shopping lagi!”
Belum sempat Agnes menjawab, suara nyaring terdengar dari pintu salon. “Mau shopping ke mana kamu?”
Megan menoleh ke arah cermin besar. Tidak perlu repot membalik badan. Dia sudah tahu siapa yang datang.
“Ke mana pun yang aku mau, Mama,” jawab Megan dengan dingin.
Namun, dalam hitungan detik, suasana berubah. Sita, ibunya, melangkah cepat dan langsung menarik rambut Megan yang baru saja ditata rapi.
“Aaaakh! Sakit, Mama! Lepasin!!” Megan berteriak sambil mencoba menepis tangan ibunya.
Sita tidak peduli. “Kamu kalau nggak bisa berguna buat keluarga, setidaknya jangan jadi beban! Dasar anak nggak tahu diuntung!” makinya sambil terus menjambak.
“Nyonya, tolong hentikan,” Agnes mencoba melerai dengan ragu.
“Diam kamu! Mau saya pecat?!” bentak Sita tanpa sedikit pun melepaskan cengkeramannya.
Agnes langsung terdiam.
Sementara itu, Megan terus merintih. “Mama, please! Sakit!”
Akhirnya, Sita melepaskan jambakannya, dan mendorong kepala Megan kasar. “Kamu udah bikin masalah besar di mall kemarin, kan? Apa kamu mau semua orang blacklist mall kita gara-gara kelakuan gila kamu? Dasar anak bego!” Sekali lagi Sita mendorong kepala putrinya dengan kasar.
Megan menunduk, air matanya bercucuran. Rambutnya yang tadi rapi sekarang berantakan seperti baru keluar dari badai.
“Hobimu foya-foya, menghamburkan uang keluarga. Benar-bemar nggak guna! Aku menyesal sudah melahirkan anak seperti kamu!” Sita menunjuk Megan dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali.
Megan mencium aroma alkohol yang menyengat dari napas ibunya. Sita jelas mabuk—lagi.
“Ingat! Kalau kamu masih berani menginjakkan kaki di mall itu, aku akan potong kaki kamu! Aku nggak main-main, Anak Setan!” ancam Sita sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan.
Ruangan mendadak hening. Agnes menatap Megan dengan cemas, tapi tidak berani mendekat.
Tangisan Megan perlahan terhenti. Masih menunduk, tubuhnya membungkuk seperti orang kehabisan tenaga. Tapi kemudian, suara tawa keluar dari bibirnya.
Pelan di awal.
Lalu semakin keras.
Tawa Megan membahana di seluruh ruangan, menggema di dinding-dinding mewah salon pribadinya. Suaranya begitu aneh, begitu mengerikan, hingga Agnes merasa merinding.
...****************...
.