“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Setelah mengayuh sepeda hampir 15 menit, akhirnya Amala sampai di depan rumah Hendi.
Bangunan rumah yang tak jauh berbeda dengan miliknya terlihat sepi, pintu depan tertutup rapat. Amala menyandarkan sepedanya di bawah pohon jambu, ia berjalan ke belakang rumah.
Namun, netranya langsung disuguhi pemandangan yang membuat hatinya tertawa sinis dan bibirnya menyunggingkan senyum muak.
“Belum genap seminggu kami bertunangan, dia sudah berani menggatal. Dasar laki-laki mata keranjang ... Cih!”
Hendi tengah duduk berduaan dengan seorang wanita di bawah pohon Langsat tanpa adanya jarak, bahu mereka saling bersentuhan. Entah apa yang dibicarakan oleh orang tak tahu malu itu, yang pasti mereka saling tersenyum sumringah.
“Assalamualaikum.”
“Ama_la ….”
Bangku panjang tadi hampir melambung lantaran berat sebelah, Hendi melonjak kaget atas kedatangan Amala yang tidak terduga. Ia langsung menjauhi teman duduknya. Si wanita terlihat gugup, tangannya terus memilin rok span ketat.
Amala mengikis jarak, sampai hanya tersisa satu meter saja.
“Assalamualaikum, Mas Hendi dan Mbak …?” sapa nya lagi, tatapannya terlihat begitu tenang.
“Waalaikumsalam. Amala sejak kapan kau berdiri di sana?” Hendi bertanya sambil mengarahkan dagunya ke arah dimana tadi Amala berdiri.
“Baru saja. Kenapa rautmu terlihat pias? Mas, sakit …?” tanyanya penuh senyum makna.
“Iya, sedang tak enak badan.” Hendi mengusap-usap tengkuknya.
‘Kau kira aku bodoh! Tak dapat membedakan mana pucat akibat sakit atau diserang rasa panik.’
“Siapa Mbak ini, Mas? Kelihatannya kalian saling akrab?” ia melirik wanita yang masih betah duduk di ujung bangku sambil menunduk, netra Amala memperhatikan lekat pada bagian perut yang dibungkus baju ketat.
“Dia … saudara jauh saya, Amala.” Lewat ekor matanya ia memberikan kode agar Lina segera pergi dari sana.
Amala pura-pura tak melihat apa yang dilakukan oleh Hendi.
“Mbak, Mas, saya permisi. Lina langsung berdiri dan hendak berlalu, tetapi tertahan oleh celetukan Amala.
“Mbak, apa dirimu tengah mengandung?”
Titik keringat langsung keluar dari pori-pori pelipis Lina, wajahnya pias bagai tak dialiri darah, ia menggigit bibir dalamnya supaya tidak kelihatan bergetar.
“Bukan mau bermaksud gimana-gimana, saya hanya ingin memberikan saran. Kalau benar Mbak sedang hamil, jangan sesekali mengenakan korset. Takutnya nanti berimbas pada pertumbuhan janinnya. Kenakanlah juga pakaian yang longgar, agar Mbak sendiri merasa nyaman.”
Lina tak mampu bersuara, ia hanya mengangguk lalu tergesa-gesa berlalu dari sana.
Hendi sendiri nyaris jantungan dibuat Amala, wanita yang baru saja dipinang nya ini memiliki penglihatan serta insting begitu tajam.
Amala merubah posisi berdiri menjadi berhadapan dengan Hendi. “Siapa nama wanita tadi, Mas?”
“Lina, ada apa sebenarnya? Mengapa kamu begitu penasaran dengannya? Kami tidak ada hubungan apa-apa, hanya bersaudara jauh, tidak lebih.”
“Saya hanya bertanya namanya saja, tidak ingin mengulik jauh tentang silsilah kalian. Cuma saya kasihan melihatnya, sepertinya ini kehamilan pertamanya sehingga ia begitu minim pengetahuan.”
“Sudahlah jangan membahas tentang orang yang tidak penting. Ayo masuk kedalam rumah!” Tangan Hendi menangkap angin, ia lupa bila calon istrinya anti sentuhan sebelum halal.
“Tidak perlu, Mas. Saya kesini cuma mau menghantarkan ini.” Amala meletakkan rantang yang ia bawah di atas bangku, tak akan mau ia bersentuhan dengan Hendi.
Hendi mencoba menahan kepergian Amala, jangan sampai kesempatan emas ini tersia-siakan.
“Kalau memang kamu enggan masuk rumah, tak mengapa. Tapi, duduklah dulu! Ada banyak hal yang harus dibahas mengenai rencana pernikahan kita.” Hendi terlebih dulu duduk di ujung bangku, sudut bibirnya naik ke atas kala Amala menurut.
Amala duduk di ujung kursi lainnya, di tengah-tengah mereka ada rantang susun 4 yang berisi lauk pauk dan kue basah.
“Kamu nggak jualan sayur matang hari ini, Amala?” tanyanya guna membuka percakapan.
“Tidak. Mungkin dalam beberapa hari ini akan libur dulu,” jawab Amala penuh maksud.
“Mengapa libur? Apa tidak sayang menolak rezeki yang seharusnya datang?” ekspresi Hendi terlihat tak suka.
“Untuk apa terlalu ngoyoh ( bersikeras ) bekerja, Mas. Toh, sebentar lagi saya akan menikah, otomatis ada yang menafkahi. Bukan kah begitu, Mas?” lewat ekor matanya ia dapat melihat raut masam Hendi.
“Betul sih, tapi alangkah baiknya bila kita berdua berjuang mengais rezeki agar lebih cepat terkumpul pundi-pundi rupiah. Apa kamu tidak ingin memiliki ekonomi yang lebih mapan?”
Amala mengedikkan bahu lalu menggeleng. “Tidak. Bagi saya hidup sederhana sudah cukup! Makan nasi putih campur kecap dan kerupuk sudah bersyukur.”
Dibalik pahanya, sebelah tangan Hendi terkepal sampai buku-buku jarinya memutih. Bukan ini yang diinginkannya, takkan sudi ia memiliki seorang istri yang hanya menadah tangan meminta uang nafkah.
“Oh ya, Mas sendiri kenapa tidak bekerja hari ini?” tanya Amala seraya menatap jendela kayu dapur Hendi, hatinya mendengus kala menyadari sosok yang mengintip di balik kain tipis berwarna putih.
‘Dasar keluarga pemalas! Bukannya giat bekerja supaya cepat kaya, ini malah ingin menjebak diriku agar bisa dijadikan Sapi perah! Mimpi saja kalian. Aku bersumpah akan membuka kedok mu Hendi!'
“Tadi 'kan, sudah Mas katakan kalau sedang tak enak badan,” suara Hendi terdengar menahan kesal.
“Oh iya, ya. Semoga Mas Hendi cepat sembuh, agar bisa kembali giat bekerja untuk membiayai pesta adat pernikahan kita,” celetuk Amala.
Hendi langsung menatap serius wajah Amala. “Pesta adat? Siapa yang mau menyelenggarakan acara besar-besaran Amala? Kamu ikut menggelontorkan dana kah?”
“Loh, Mas ini bagaimana sih? Jelas-jelas Bi Rahma tempo hari mengatakan kalau seluruh biaya pernikahan akan ditanggung oleh Mas Hendi,” Amala pura-pura serius, padahal dalam hati ia tertawa melihat raut pucat Hendi.
“Maaf, Mas lupa Amala. Mungkin terlalu senang karena bisa bertunangan denganmu, jadinya Mas gugup,” alibinya demi menyembunyikan kepanikan. Uang dari mana coba? Ibunya sudah keterlaluan.
“Tak apa Mas. Saya maklum.” Amala beranjak, bersiap hendak pulang. “Saya pulang dulu ya Mas. Nggak baik juga di lihat orang kalau belum halal sudah berani duduk berduaan … Assalamualaikum.”
Amala sedikit mengangguk, kemudian melangkah menuju depan rumah.
Selepas kepergian Amala, Hendi langsung masuk rumah. “Katakan Buk! Apa benar yang disampaikan Amala tadi?”
Bi Rahmi yang sedari tadi menguping terlihat salah tingkah.
“Mau bagaimana lagi, Nak. Kalau tidak menjanjikan pesta adat, mana lah Mak Syam mau menyetujui perjodohan ini,” dalihnya mencari aman.
Argh.
“Bisa gila aku, Buk! Dimana kita cari uang itu? Harusnya Ibuk mikir panjang sebelum memutuskan hal yang mustahil!”
.
.
Amala menyambangi puskesmas, ia hendak meminta surat rujukan untuk menjalani Medical Check Up Pranikah (premarital check up) di rumah sakit umum kota kecamatan.
“Makwa La …!” Siron berlari kecil mendekati Amala, balita cantik itu terlihat begitu senang.
Amala pun tak kalah sumringah, ia melangkah ke arah Siron yang bermain di teras masjid bersama pengasuhnya.
Bangunan kantor Kelurahan, Masjid dan Puskesmas, berada dalam satu kawasan berpagar tanpa sekat, jadi saling terhubung.
“Gendong Siron dan cepat bawa ke sini, Ita!” perintah Wahyuni yang baru saja keluar dari kantor kelurahan.
“Tak mau! Makwa tolong! Makwa ... Huuaaa!" Dalam dekapan sang pengasuh, tangan kecil Siron terus bergerak meminta Amala mendekat.
Deg.
“Sepertinya, susuk pemikat yang kau pakai sudah habis masa berlakunya ….”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu