Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Menginap
"Dara belum pulang juga, ya?" tanya Lina.
Ia memperhatikan Trian yang sejak tadi gelisah memandangi ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu kabar dari Dara.
"Belum. Aku rasa dia tidak akan pulang. Kalau begitu, aku pamit saja, ya," kata Trian.
"Mau kemana? Rumahmu kan masih terkunci," tanya Lina.
"Aku mau tidur di hotel saja malam ini. Terima kasih atas makan malamnya," ucap Trian.
"Tunggu!" cegah Lina.
Trian yang hendak keluar pintu rumah mendadak berhenti. Ia kembali berbalik menghadap Lina.
"Ada apa?" tanyanya.
Lina tertunduk. Ia seakan ragu untuk berbicara. Hal itu membuat Trian keheranan.
"Ini sudah malam, Lina. Kamu juga perlu istirahat. Aku akan mencari hotel terdekat untuk menginap," kata Trian.
"Bagaimana kalau kamu menginap saja di sini," ucap Lina. Ia sangat malu untuk bisa memberanikan diri mengatakannya.
Trian tertegun. Baru saja ada seorang wanita yang menawarkannya untuk menginap. Terdengar sangat berbahaya.
"Lina, aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Menurutku itu hal yang tidak etis. Kita sudah sama-sama menikah," tegur Trian.
"Aku juga tahu. Makanya aku ragu-ragu untuk mengatakannya padamu. Hanya saja, aku baru satu hari di sini ... Belum terbiasa dengan suasananya. Komplek ini tidak ada penghuni lain. Kalau kamu juga pergi, aku sendirian di sini."
Lina bergidik. Ia membayangkan sesuatu yang seram jika harus tinggal sendirian di sana. Apalagi tidak ada tetangga di kanan kiri.
Trian memikirkan ucapan Lina. Memang tidak ada salahnya. Di sana memang sepi. Ia jadi merasa kasihan. Akan tetapi, ia juga bingung jika tersebar gosip yang tidak-tidak jika ia menginap di sana. Ia terlihat bimbang.
"Kalau kamu tidak mau ya sudah, tidak apa-apa, Trian. Aku minta maaf." Lina jadi tidak enak hati sudah seenaknya bicara. Ia juga tidak berpikir sampai sejauh itu.
Trian masih tampak berpikir antara pergi atau tetap di sana. Memperhatikan gerak-gerik Lina yang terlihat cemas, ia jadi semakin tidak tega meninggalkannya.
"Ya sudahlah! Aku akan tetap di sini sampai besok pagi. Mudah-mudahan suamimu tidak akan marah karena hal ini," ucap Trian. Ia kembali masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu.
Lina tersenyum lebar. Perasaannya menjadi lebih tenang. "Aku yang akan menjelaskannya kalau terjadi salah paham. Terima kasih, Trian!"
Lina berjalan ke arah pintu. Ia menutupnya dan mengunci pintunya.
"Tidurlah! Aku akan berjaga di sini," perintah Trian.
Ia melonggarkan dasi yang sejak pagi melingkar di lehernya. Pakaian yang seharian sudah dipakainya itu semakin terasa tidak nyaman.
"Trian, kamu tidur di kamar tamu saja. Jangan di sini, dingin kalau malam," pinta Lina.
Trian tertawa kecil. "Kamu tidak sekalian menyuruhku tidur di kamarmu supaya hangat?" ledeknya.
"Trian ...." Lina merasa kurang suka dengan gurauan lelaki itu.
"Hahaha ... Maaf, Lina. Aku hanya bercanda. Biar aku tidur saja di sini, kamu cepat masuk kamar. Takutnya aku benar-benar kedinginan nanti khilaf minta peluk kamu," ledek Trian lagi.
Lina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan candaan lelaki itu. Ia meninggalkan Trian untuk mengambil sesuatu dari dalam kamar.
"Trian, ini selimutnya kalau memang kamu mau tidur di ruang tamu. Dan ini baju bisa kamu pakai dulu untuk ganti. Kalau mau mandi, kamu bisa gunakan kamar mandi di samping dapur," kata Lina menjelaskan.
Trian menerima selembar selimut tebal beserta kaos dan celana pendek. "Ini punya suamimu? Kamu berikan kepada lelaki lain?" tanyanya.
Lina menghela napas panjang untuk menjaga kesabarannya. "Itu punya adikku, ketinggalan waktu menginap di sini," bantahnya.
"Oh, adikmu sudah besar ya, sekarang," guman Trian. Ukuran baju dan celana itu memang seukuran dengannya. Seingat dia sepupuh tahun yang lalu adiknya Lina masih sangat kecil, masih kelas 3 SD.
"Sudah dulu, ya. Aku mau tidur," pamit Lina.
"Celana dalamnya tidak sekalian kamu sediakan untukku?" seru Trian sengaja.
Lina langsung melotot ke arah Trian yang sedang tersenyum-senyum puas karena berhasil membuatnya kesal. "Mau pakai punyaku?" ia balik melontarkan candaan.
"Oh ... Boleh ... Sini-sini, bawa kemari!" Trian malah menantang.
Lina sepertinya merasa sia-sia jika meladeni Trian. Ia memilih untuk mengalah dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya dan langsung berbaring di atas ranjang.
Malam ini sepertinya ia tidak akan bisa tidur nyenyak. Di luar ada Trian yang membuatnya terbayang-bayang. Entah mengapa jantungnya juga berdebar-debar. Ada rasa senang mengetahui Trian ada di rumahnya.