Seulbi dan Rain terpaksa menjalani pernikahan yang tak ada cinta di dalamnya. Keduanya harus bertahan sampai selama satu tahun, sesuai isi perjanjian kontrak yang dibuat kedua orang tua Rain. Namun dalam kurun waktu itu, banyak hal terjadi hingga mereka menjadi saling terikat dan membutuhkan. Sayangnya perasaan yang sudah sama-sama kuat itu tetap jua harus terputus oleh perceraian dengan alasan yang sama kuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Esok harinya.
Seulbi telah dipindahkan ke ruang perawatan.
Berkumpul di dalam ruangan, ada Yujin, Areum dan juga Joon. Micha tak di sana karena sedang tour di luar kota dengan sekolahnya. Dikabari kakaknya baik-baik saja, barulah gadis itu paham dan tidak memaksa pulang dari kegiatan yang dilakukan.
Jeha kembali ke perusahaan untuk menghadiri rapat penting menggantikan Rain. Dia juga akan melakukan pengecekan cctv bersama Shi Won terkait kasus penembakan ini.
Terlihat di sana Areum tengah menyuapi Seulbi, saat itu Rain datang dengan penampilan yang lebih baik dari semalam.
"Rain, kau tidak apa-apa, 'kan?" Seulbi bertanya cemas, mengingat dari semenjak dia tersadar, Rain tak nampak batang hidungnya.
Ternyata semalam sesuai perintah Shin Jeha, Shi Won membawanya pulang untuk menenangkan diri, itu pun setelah Seulbi dinyatakan sudah melewati masa kritis oleh dokter.
Semua orang terperangah, termasuk Rain sendiri.
Wanita itu celaka, tapi malah dia yang mencemaskan keadaan suami cuek yang baik-baik saja.
Seraya berjalan mendekat ke ujung ranjang, Rain menjawab, "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Khawatirkan saja dirimu sendiri." Sekeranjang buah disodorkannya pada sang ibu mertua.
Areum menerima lalu meletakannya di atas nakas, tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada kata.
"Lain kali, tolong jangan berbuat begitu lagi. Jangan buat aku berhutang padamu. Tapi terima kasih karena telah menyelamatkanku. Cepat pulih dan pulanglah," ujar Rain. Dia berbalik badan dan melangkah pergi sebelum Seulbi membalas kata-katanya.
Seperti itu saja setelah Seulbi hampir mati menggantikannya? Areum tak habis pikir.
"Rain kau mau kemana?!" Yujin berseru. "Kau harus menjaga istrimu di sini!"
Langkah Rain yang mencapai mulut pintu terhenti sejenak untuk menoleh pada ibunya. "Aku masih banyak pekerjaan. Kalian saja yang jaga dia."
Joon ada di sana, tapi Rain seperti pura-pura tak melihatnya. Pria itu hanya tersenyum kecut seraya menggeleng-geleng tak habis pikir. "Begitukah caramu akan melepaskannya?"
Sementara Areum hanya bisa mendesah. Menatap putrinya penuh sesak. Sudah berkorban diri, tapi diabaikan begitu saja oleh suaminya sendiri. Diusapnya lengan Seulbi memberi kekuatan. "Ibu di sini, Nak."
Seulbi membalas senyum ibunya, dia tahu tentu tak sebaik yang kelihatan. "Suapi aku yang banyak, Bu," katanya berusaha menunjukkan bahwa dia tak terpengaruh. Walaupun aslinya hanya kamuflase untuk menutupi rasa yang sebenarnya, dia tak boleh terlihat lemah di depan siapa pun, terlebih di depan ibunya sendiri.
"Dasar anak nakal!" Yujin mengumpat kesal menatap pintu yang sudah tertutup, lalu kembali menoleh Seulbi. "Tolong maafkan dia ya, Sayang."
Setebal dan sepanas apa pun topeng yang dia pakai, Seulbi akan tetap bertahan, setidaknya sampai rumah itu resmi jadi milik keluarganya lagi. "Iya, Ibu. Tak perlu merasa bersalah. Aku 'kan Seulbi." Ditutup dengan senyuman riang.
"Oh, andai anak itu bisa melihat betapa kau semanis ini." Yujin menyayangkan banyak dari sikap Rain yang songong dan kekanak-kanakan.
"Tunjukkan bahwa kau bukan seperti ranting yang mudah patah, Lee Seulbi. Kelak Rain akan sadar nilaimu yang sebenarnya." Joon menambahkan, yang lantas diangguki Yujin menyetujui. "Betul, Sayang. Jadi bersabarlah."
Dan ternyata cukup berhasil mengurangi sumbang di hati Seulbi. "Terima kasih, Joon. Terima kasih, Ibu."
Joon membalas dengan senyuman. Semakin memupuk subur kekaguman dirinya atas sosok seorang Seulbi. "Jika Rain benar-benar tak menginginkanmu, aku yang akan maju. Memberi kebahagiaan yang tak kau dapat dari si bedebah itu."
Dia tak peduli ada Areum dan juga Yujin. Alasan keberadaannya di sana hanya sebagai teman yang peduli banyak, sementara ini.
Yujin tidak juga berpikiran buruk karena tahu perangai seorang Joon memang sepeduli itu pada siapa pun.
Untuk saat sekarang ... aman!
*****
Joon tiba hampir tengah malam di rumah setelah puas menemani Seulbi di rumah sakit.
Membuka pintu dan masuk, kakinya menjejak ruang utama, lalu terkejut karena mendapati Rain ada di sana. Duduk diam seperti robot dengan tatapan tajam mengikuti pergerakannya yang mendekat.
"Kau di sini?"
Sebenarnya bukan hal aneh Rain ada di sana. Joon berbagi kunci dengannya karena persahabatan mereka memang sedekat itu.
"Seperti yang kau lihat," jawab Rain, lalu merubah posisi jadi bersandar sofa dan menengadah kepala ke langit-langit.
"Ada apa? Sepertinya mood-mu sedang buruk?" Joon menurunkan tubuh, mengambil posisi duduk di sofa berbeda, tepat di samping Rain.
Sesaat tak ada jawaban, Rain membatu diam seperti sedang memikirkan sesuatu. Sekian detik barulah dia mengangkat kepala dan menoleh Joon, memberi tatapan serius. "Bantu aku menemukan penembak itu."
Joon mengernyitkan kening, lalu tersenyum kecut. "Sebelum kau meminta, aku sudah melakukannya lebih dulu."
Membuat Rain terperanjat. "Maksudmu?"
"Akan aku beritahu besok. Tubuhku lengket, aku ingin mandi," katanya seraya bangkit berdiri.
"Hey! Bagaimana bisa seperti itu? Cepat beritahu aku!"
Namun Joon tak mendengarkan, terus mendorong langkah menjauh dari pandangan. Rain tak menyerah, mengikuti sahabatnya hingga ke dalam kamar.
"Baiklah, untuk masalah itu aku siap menunggu besok. Tapi ada hal penting lain yang ingin kukatakan."
Barulah berhasil menghentikan Joon yang baru akan melepas sepatu. "Apa lagi?'
"Aku akan tinggal di sini. Bersamamu."
"What?!" Joon berseru terperanjat. "Apa kau diusir? Atau namamu dihapus dari data warisan keluarga?!"
"Tentu saja tidak, Sialan!" hardik Rain.
"Lalu?" tanya Joon, mengikuti pergerakan Rain yang berjalan melewatinya untuk menghampiri ranjang lalu merebah di sana dengan kepala tersangga kedua lipatan tangan.
"Aku hanya ingin menenangkan diri."
"Karena Seulbi?" timpal tanya Joon.
Napas Rain terembus kasar dari mulutnya. "Sebagian kecil iya, sisanya aku ingin bekerja sama denganmu juga Young Dae."
"Kerjasama?" Kening Joon mengernyit tebal. "Tentang pelaku penembak?"
"Ya!" jawab lekas Rain. "Juga tentang usaha bersama yang dulu sempat kita bicarakan. Aku ingin kita merealisasikannya."
Tak ada kata yang tepat lagi untuk menyanggah. Walau sedikit keberatan karena Rain bukan orang biasa seperti Young Dae dan teman lainnya, tapi Joon juga tak bisa menolak itu. Paling-paling Yujin akan menggempur rumah untuk membawa anaknya pulang.
"Asal kau tiba membawa wanita sembarangan kemari, aku tak keberatan."
*****
"Apa kau gila, Rain?! Bagaimana bisa kau akan tinggal di rumah Joon sementara istrimu tinggal di sini!" Yujin meneriaki, tak setuju dengan keputusan putranya.
Tapi siapa yang akan mendengar, Rain sudah mengemas barang-barangnya ke dalam koper. "Maaf, Bu, ini sudah keputusanku," jawab pria muda itu. "Urusan Seulbi, Ibu saja yang urus, bukankah Ibu yang suka dia."
Siapa yang senang dengan jawaban seperti itu. Yujin melebarkan mata. "Rain!"
"Aku pamit, Bu. Jika Ibu ingin berkunjung, rumah Joon bukan di Amerika, 'kan?" Dengan tanpa merasa bersalah apalagi menyesali karena membuat marah sang ibu, lelaki itu pergi dengan tekadnya yang kurang ajar.
"Tuhan ... apa salahku hingga melahirkan anak yang susah diatur ..." Yujin mengempaskan diri ke sofa, memijat kening di sana.