Gara-gara salah masuk ke dalam kamarnya, pria yang berstatus sebagai kakak iparnya itu kini menjadi suami Ara. Hanya dalam satu malam status Ara berubah menjadi istri kedua dari seorang Dewa Arbeto. Menjadi istri kedua dari pria yang sangat membencinya, hanya karena Ara orang miskin yang tak jelas asal usulnya.
Dapatkah Ara bertahan menjadi istri kedua yang tidak diinginkan? Lalu bagaimana jika kakak angkatnya itu tahu jika ia adalah istri kedua dari suaminya.
Dan apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu Dewa, sampai membuat pria itu membenci orang miskin. Sebuah kebencian yang tenyata ada kaitannya dengan cinta pertama Dewa.
Semua jawabannya akan kalian temukan di kisah Ara dan Dewa, yuk baca🤭
Jangan lupa follow akun dibawah ini
Ig mom_tree_17
Tik Tok Mommytree17
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy tree, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Sayang...."
Vivian terus melangkah menghampiri suaminya, lalu mencium pipi pria itu dengan mesra tanpa mempedulikan keberadaan Edward dan Ara yang melihat apa yang tengah dilakukannya.
"Ada apa kau kemari?" tanya Dewa dengan dingin tanpa menatap Vivian.
Karena sejak tadi tatapan matanya hanya tertuju pada Ara. Pada wanita yang sejak pagi memenuh pikirannya, wanita yang kini berdiri di samping Edward dengan kepala menunduk.
"Aku hanya ingin mengajakmu makan siang," jawab Vivian dengan bingung. Karena sejak tadi tatapan Dewa terus tertuju pada Ara.
Saat ia menyadari apa yang membuat Dewa menatap Ara, Vivian pun langsung berjalan menghampiri adik angkatnya itu dengan menurunkan semua barang belanjaan yang di bawa Ara.
"Dia sudah aku larang untuk membawa semuanya, tapi Ara tetap saja ingin membawa barang belanjaan aku," ucap Vivian dengan berbohong karena tidak ingin dilihat sebagai wanita yang kejam dengan membiarkan Ara membawa semua barangnya sendirian. "Duduklah Ara, kau pasti lelah bukan?"
Ara hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. "Kak, apa boleh aku pulang lebih dulu?" Karena ia merasa tidak nyaman berada di satu ruangan yang sama dengan Vivian dan Dewa. Apalagi sejak tadi pria yang berstatus sebagai suaminya itu terus menatapnya dengan tajam.
"No.., no. Kau harus tetap di sini dan ikut makan siang bersama kita. Bukan begitu, sayang?" tanya Vivian dengan manja sembari menghampiri sang suami yang masih duduk di kursi kerjanya.
"Tapi kak..." Ara membungkam mulutnya saat melihat tatapan tajam dari Vivian dan Dewa.
Sungguh rasanya Ara ingin sekali protes pada Tuhan, kenapa ia selalu berada di posisi seperti ini. Berada di antara dua orang yang selalu membuatnya tak bisa berkutik hanya dengan tatapan tajam mereka.
"Ed, siapkan makan siang untuk kami!" perintah Dewa pada asisten pribadinya.
"Baik Tuan."
"Tunggu!" Vivian menahan langkah Edward. "Tidak perlu menyiapkannya karena kami akan makan siang di luar."
Edward menatap pada Dewa, menunggu perintah dari atasannya tersebut. Saat melihat Dewa menganggukkan kepalanya, barulah Edward membuka pintu ruangan. Mempersilahkan ketiga orang yang ada di dalam ruangan untuk keluar.
"Ayo Nona!" ajak Edward saat melihat Ara hanya diam saja. Tak mengikuti langkah Dewa dan Vivian yang sudah lebih dulu keluar dari ruangan.
Ara pun menghela napasnya sembari berjalan menyusul pasangan suami-istri tersebut, bersama Edward yang berjalan di sampingnya.
"Kau ikut bersama kami, bukan?" tanyanya dengan penuh harap.
Ia tidak mau menjadi satu-satunya penonton kemesraan Dewa dan Vivian. Setidaknya jika ada Edward, Ara tidak akan merasa canggung saat melihat suaminya bersama dengan istri pertamanya.
"Seperti biasa," jawab Edward.
"Ah, syukurlah." Ara kini bisa bernapas dengan lega karena akan ada yang menemaninya.
"Duduk di belakang!" perintah Dewa saat Ara hendak membuka pintu depan mobil.
Baik Vivian mau pun Ara langsung menatap pada Dewa dengan terkejut.
"Tapi Tuan..."
"Duduk di belakang!" perintah Dewa untuk kedua kalinya.
"Sayang, kau itu kenapa? Biar saja Ara duduk di depan seperti biasanya," ujar Vivian dengan bingung.
Karena tidak biasanya Dewa meminta Ara untuk duduk di kursi belakang bersama mereka. Lagi pula jika Ara duduk bersama dengannya, maka Vivian tidak akan bebas untuk bermesraan dengan suaminya. Padahal hanya di saat-saat seperti ini atau di depan umum, Dewa baru mau menerima perlakuan hangatnya dengan rangkulan dan ciuman.
Karena jika mereka hanya berdua maka Dewa akan memperlakukannya dengan dingin. Bahkan sampai dengan saat ini mereka belum pernah bercinta sekalipun. Padahal ia begitu menginginkan kehangatan dari suaminya, agar Vivian bisa cepat mengandung penerus keluarga Arbeto untuk menguatkan posisinya sebagai istri Dewa.
ntar Ara mati rasa baru tau