Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Asing Berambut Keriting
Suara burung-burung yang berkicau dan sinar matahari yang hangat membangunkan Rafael dari pingsannya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia merasakan dinginnya lantai semen di bawah tubuhnya. Perlahan, dia membuka mata, menatap sekeliling dengan pandangan yang masih kabur.
Dia berada di sebuah pos ronda kecil, bangunan sederhana yang dipenuhi coretan dinding dan beberapa kursi kayu yang sudah usang. Rafael mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi kepalanya berdenyut hebat, mengacaukan pikirannya. “Aku… jatuh... kepala ini... trotoar...” Ingatannya mulai kembali, tapi semua terasa seperti kabut tipis yang membingungkan.
Saat dia mencoba duduk, tubuhnya terasa berat. Di tengah usahanya bangkit, tiba-tiba sebuah suara berat menyapanya.
“Huahhh!” Rafael tersentak, matanya melebar saat melihat sosok pria berambut keriting panjang yang berdiri di sudut pos ronda. Wajah pria itu masih sama seperti yang dia lihat semalam—penampilan yang lusuh dan menyeramkan. Rafael terlonjak ke belakang, tubuhnya menggigil ketakutan. “Siapa kamu?!” jerit Rafael spontan.
Pria itu langsung mengangkat tangannya, mencoba memberi isyarat untuk menenangkan. “Maaf, maaf kalau penampilan saya bikin kamu takut,” katanya dengan nada rendah. “Saya bukan orang jahat. Nama saya Harun.”
Rafael masih mengamati pria itu dengan waspada. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, dan meskipun Harun tidak bergerak mendekat, perasaan takut itu tetap menguasai Rafael. “Apa yang terjadi?” pikirnya. Mengapa dia bisa berada di sini? Apa pria ini yang menyeretnya ke tempat ini?
Dia mencoba bangkit dari lantai, tetapi seketika rasa sakit yang berdenyut di kepalanya menyerang lagi. Rafael mendesah pelan, menahan sakitnya sambil memegangi kepalanya. Melihat itu, Harun segera bicara lagi, suaranya tetap tenang. “Jangan maksain diri. Kamu pingsan semalam, kepalamu terbentur cukup keras. Saya cuma menolong kamu. Biarin dulu tubuh kamu istirahat.”
Mendengar itu, Rafael semakin bingung. Pria ini... menolongnya? Tapi kenapa? Dan kenapa dia terlihat begitu aneh? “Jangan sentuh aku!” Rafael tiba-tiba menghempaskan tangan Harun yang mencoba membantunya. Tubuhnya bergeser mundur dengan rasa takut yang masih mencengkram. Dia tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi, tapi instingnya memerintahkan untuk tetap waspada.
“Tenang,” ujar Harun, mencoba menjaga jarak agar Rafael merasa aman. “Saya cuma bawa kamu ke sini supaya kamu nggak tidur di tengah jalan. Saya lihat kamu jatuh dari motor, terus... ya, kamu pingsan.”
Rafael merasakan perutnya bergejolak antara syok dan ketidakpercayaan. “Kenapa kamu...?” tanyanya dengan suara serak, masih tidak yakin apakah dia harus mempercayai Harun. Pandangannya menyapu pria itu lagi, mengingat betapa menakutkannya saat pertama kali melihatnya di antara semak-semak.
Harun menghela napas, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda marah meski Rafael bersikap defensif. “Saya ngerti kenapa kamu takut. Penampilan saya memang sering bikin orang salah paham. Tapi saya bukan orang jahat. Saya cuma nggak terlalu suka tampil di depan banyak orang.”
Rafael masih terdiam, mencoba mencerna semua yang dikatakan pria di depannya. Kepalanya masih terasa berat, dan perasaan was-was masih belum sepenuhnya hilang. Harun tetap di tempatnya, tidak mendekat, hanya menunggu Rafael untuk sedikit tenang.
Meskipun takut, Rafael mulai berpikir logis. Kalau memang pria ini berniat buruk, dia mungkin tidak akan bangun di tempat seperti pos ronda. Dan rasa sakit di kepalanya… sepertinya memang nyata.
“Jadi, kamu beneran nolong aku?” tanya Rafael dengan nada yang lebih lembut, namun masih penuh kecurigaan.
Harun mengangguk perlahan. “Iya, dan kamu beruntung karena masih hidup setelah jatuh keras gitu.”
Rafael meraba bagian belakang kepalanya, merasa benjolan yang mulai tumbuh di sana. “Terima kasih, tapi... kenapa kamu nolong aku?”
Harun menatap Rafael dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Karena saya tahu kamu akan butuh bantuan... lebih dari sekadar pulih dari benturan itu.”
Ucapan Harun yang terakhir itu membuat Rafael kembali tegang. Apa maksudnya?
Rafael masih menatap Harun dengan bingung, pertanyaan-pertanyaan berputar di kepalanya tanpa henti. Tapi sebelum dia bisa mencerna lebih jauh, suara keras tiba-tiba memecah keheningan.
“Nak! Sedang apa kamu duduk di sana?! Dia itu orang gila!” teriak seorang pria yang lewat di depan pos ronda, menunjuk ke arah Harun dengan raut wajah yang khawatir. “Cepat pergi sebelum kamu diapa-apain!”
Rafael tersentak, tubuhnya menegang mendengar peringatan itu. Matanya langsung menoleh ke Harun yang masih berdiri di depannya. Napasnya semakin cepat. Orang gila? pikir Rafael, tiba-tiba merasa lebih terancam dari sebelumnya.
“Saya bukan orang gila!” Harun berkata tegas, suaranya sedikit bergetar, mencoba menjelaskan situasinya. “Saya hanya ingin menolong kamu.”
Namun, pria yang lewat tampak semakin panik dan terus berteriak. “Cepat lari! Jangan dengarkan dia! Bahaya!”
Rafael menelan ludah, hatinya mulai dipenuhi ketakutan yang lebih besar. Orang lewat itu sepertinya lebih bisa dipercaya daripada pria asing berambut keriting ini. Tanpa berpikir panjang, Rafael memutuskan untuk mematuhi naluri bertahannya. Dia bangkit dengan cepat, meski kepalanya masih berdenyut, dan langsung berlari keluar dari pos ronda.
Harun mengangkat tangan, mencoba mencegah Rafael lari. “Tunggu! Kamu bisa pingsan lagi kalau terlalu banyak bergerak!” teriaknya dengan suara cemas.
Namun Rafael tidak mendengar atau mungkin tidak peduli. Dia terus berlari menuju tempat di mana motornya tergeletak di pinggir jalan. Saat menemukannya, dia mendesah putus asa. “Sial, bensinnya habis!” pikirnya. Tak ada waktu untuk panik lebih lama, dia langsung mendorong motornya, mencoba mencari penjual bensin terdekat.
Di belakangnya, Harun tidak tinggal diam. Pria itu mulai mengejar Rafael, langkah kakinya cepat. “Nak! Jangan lari, dengar dulu! Kamu bisa pingsan lagi!” Harun berteriak, mencoba meyakinkan Rafael, tapi bagi Rafael, itu hanya membuat segalanya semakin buruk. Suara Harun terdengar seperti ancaman yang semakin mendekat.
Rafael makin ketakutan. Jantungnya berdegup kencang, seakan mau keluar dari dadanya. “Orang gila itu ngejar aku!” pikir Rafael panik. Tangan dinginnya mulai berkeringat, semakin erat menggenggam stang motornya. Harun terus mendekat, semakin cepat berlari. Tak butuh waktu lama, pria itu berhasil meraih bagian belakang motornya.
“Jangan lari!” Harun mencoba menarik motor Rafael agar berhenti.
Kaget dan terdesak, Rafael kehilangan keseimbangan. Motornya terguling ke samping dengan bunyi dentuman keras, membuat Rafael tersentak mundur. Dia tidak bisa berpikir lagi. Dalam kepanikannya, Rafael langsung berlari meninggalkan motornya yang jatuh, menuju pekarangan luas di dekat situ, tanpa melihat ke belakang. Kakinya bergerak dengan cepat meski kepala masih terasa berputar.
Sementara itu, Harun berdiri terpaku di tempat motornya terguling, menatap punggung Rafael yang semakin jauh dengan napas berat. Harun tahu, jika Rafael terus lari tanpa mendengarkannya, bahaya yang lebih besar sedang menanti.