Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran dan Pulang
Degh!
Jantung Balqis berdebar kencang saat Alditra balik menatapnya. Dia yang tiba-tiba nervous melanjutkan pekerjaannya agar cepat selesai. Apalagi makanan terus bertambah semakin banyak.
"Umi, akan Al pikirkan nanti," ucap Alditra.
"Bagaimana soal lamaran? Kiyai, meminta Alditra melamar Ning Annisa tiga atau empat hari lagi. Apalagi saat mendengar Alditra bisa bicara kembali, mereka sangat senang," ujar Zaigham.
"Kenapa tidak Abang saja yang melamar Ning Annisa?" tanya Alditra. "Saya itu, adik. Tidak mungkin kan melangkahi dua kakak,"
Semua orang seketika menatap Alditra. Sungguh perkataan yang luar biasa yang tidak pernah mereka dengar.
"Al, kita tahu kamu adik. Dan kita juga tidak jadi masalah kamu langkahi, karena kita tidak sedarah," sahut Azizah.
"Kamu menikahlah lebih dulu. Abang masih banyak keinginan yang belum tercapai," timpal Zaigham.
"Al, juga sama." balas Alditra dingin.
"Jangan bicara seperti itu. Bila kamu memutuskan Ning Annisa mau disimpan di mana muka keluarga kita, Al. Kita sama saja membuat keluarga mereka sedih dan malu. Apalagi berita ini sudah tersampaikan ke mana-mana," sela Miftah.
Alditra menghela nafasnya. Dia memilih diam ketimbang kembali bicara karena apa yang dikatakan Miftah memang benar. Itu sama saja membuat keluarga Annisa sedih dan kecewa padanya.
"Umi, berunding dengan baik bersama Aby tentang lamaran Al. Karena kita tidak mungkin membuat keluarga Ning Annisa kecewa," ujar Miftah.
Fatimah mengangguk. Dia juga langsung beranjak untuk menemui Arsalan. Namun langkahnya yang hendak pergi terhenti saat Arsalan datang bergabung.
"Tambahkan ini ke dalam plastik," Arsalan menyimpan dus berisi makanan agar digabungkan dengan yang lain.
"Aby, tentukan lamaran Al. Keluarga Kiyai meminta agar lamaran cepat dilaksanakan," ucap Miftah.
Arsalan mendudukkan dirinya di sofa. Kemudian melepaskan pecinya di meja. Dia menyandarkan dirinya dengan nyaman untuk mengobrolkan lamaran.
"Bagaimana, Aby?" tanya Fatimah.
"Aby sudah sepakat, tiga hari lagi kita akan melamar Ning Annisa." jawab Arsalan. "Siapkan keperluan yang akan dibawa ke sana. Dan beritahu juga Halimah waktunya,"
Semua orang mengangguk bersamaan. Namun tidak dengan Balqis. Tangannya sibuk menata, tapi tidak dengan hatinya yang merasa di porak-parik. Berita lamaran itu, terdengar jelas di telinganya. Berita itu, memang fakta adanya. Berita itu, akan terjadi tiga hari lagi.
"Balqis, apa kamu mau ikut?" tanya Azizah.
"Pasti. Saya harus ikut dong soalnya saya nggak mau ketinggalan info," jawab Balqis bersikap biasa saja. Dia tidak ingin mereka tahu bahwa hatinya terluka.
Kini Balqis mengerti tentang hatinya. Kini dia akui dirinya jatuh cinta pada Alditra. Dulu dia tidak cinta, tidak suka, tapi dia terluka. Kini dia benar-benar paham bahwa cinta itu ada di dalam dirinya.
Dia mencintai Alditra. Ya, dia memang mencintai laki-laki itu. Tidak perlu dikatakan dari segi apa dia mencintainya. Karena sudah jelas bukan dari segi fisik, materi dan yang lainnya. Dia mencintainya dengan tulus.
Setelah membungkus makanan selesai. Balqis segera pergi dari rumah Arsalan sambil membawa plastik. Langkahnya gontai, matanya panas, dia ingin menangis sekeras mungkin. Karena ternyata dia kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Sesampainya di kobong. Dia seperti yang lain, langsung mandi kemudian bersiap-siap akan pergi ke mesjid. Karena setelah dzuhur nanti pengajian akan dilaksanakan.
Beberapa menit berlalu. Balqis sudah siap dan rapih, dia tengah menunggu yang lain sambil duduk bersandar ke lemari. Pikirannya berkecamuk memikirkan lamaran yang akan terjadi nanti, sedangkan dia harus datang untuk menyaksikannya. Entah akan sehancur apa hatinya nanti.
Gue nyesel deket sama Om Gus. Gue nyesel sering nyapa dia. kalo aja hal itu nggak gue lakuin, gue nggak bakalan jatuh cinta sama Om Om itu. gue nggak bakalan kenal sama dia.
Balqis berangsur memeluk kedua lututnya. Dia menenggelamkan wajahnya. Dja tidak menangis, hanya saja dia mencoba mendamaikan hatinya.
"Balqis, apa sesuatu terjadi padamu?"
Balqis mendongak. Dia pura-pura menguap untuk menghilangkan kecurigaan Melodi.
"Kalian semua lama. Gue sampe mengantuk ini,"
"Kita sudah siap! Ayo berangkat?" ajak Siti.
Mereka pun berangkat bersamaan. Meninggalkan kobong yang sepi karena tidak ada satu orang pun di sana. Sesampainya di mesjid yang ternyata sudah di penuhi banyak orang, Balqis duduk di teras luar sambil menyandarkan dirinya ke dinding. Bukan hanya santri, masyarakat pun banyak yang hadir. Mereka antusias menghadiri pengajian.
Beberapa menit berlalu. Pengajian berlangsung tenang dan beberapa kali tertawa karena dakwahan menghibur. Apalagi saat salah satu santriwan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, begitu menenangkan dan menyejukkan.
Pengajian pun selesai, semua masyarakat pulang bersamaan. Begitu pula dengan para santri yang kebagian beres-beres. Mereka sibuk membereskan karpet dan yang lainnya.
"Balqis!"
Balqis yang tengah membereskan bekas minuman kemasan menoleh. Dia melihat Alditra menghampiri sambil membawa plastik.
"Buat kamu,"
Balqis mengambilnya. Dia melihat isinya yang ternyata ayam goreng dan kue.
"Kok... Tumben banget, Kenapa dikasih ke gue?"
"Karena kamu suka ayam goreng."
Balqis terdiam. Dia tidak menyangka Alditra sampai tahu kesukaannya. Apa mungkin tukaran makanan dulu membuatnya sedikit demi sedikit tahu tentangnya.
"O--Oh Thanks!"
Alditra mengangguk. Kemudian berlalu pergi meninggalkan Balqis dan tatapan para santri lain yang bertanya-tanya.
*****
Tiga hari berlalu. Suara riuh santriwati terdengar nyaring. Mereka tengah menyaksikan acara lamaran Alditra dan Annisa melalui telepon video.
Acara lamaran yang diinginkan mereka. Apalagi dinding rumah didekorasi cantik. Kemudian terdapat nama Alditra dan Annisa di sana. Iya, benar-benar keinginan setiap orang. Meskipun sederhana tapi memiliki moment indah.
"Masya Allah! Ning Annisa sangat cantik ya?"
"Iya. Dia benar-benar cantik!"
Kebahagiaan itu, hanya berlaku untuk mereka. Merasa gemas dan baper juga berlaku untuk mereka. Karena Balqis, dia sejak tadi menatap layar ponsel dengan nanar.
Matanya memanas, kepalanya sakit, hatinya menggebu, dia tidak kuasa menahan diri melihatnya. Apalagi saat Bunda Halimah memakaikan cincin di tangan Annisa, itu membuat hatinya terbakar.
Karena mulai besok, dia tidak akan bisa menyapa Alditra lagi. Dia tidak akan bisa mendekatinya lagi. Dia benar-benar sudah tidak bisa melakukan apa-apa selain menatapnya dari kejauhan.
Tap!
Balqis memilih keluar. Dia mengusap matanya berulang kali sambil pergi menjauh dari area kobong. Bayangan dia kehilangan orang-orang yang dicintainya berputar di kepala. Sakit, hanya kata itu yang bisa diucapkannya.
Gret!
Balqis menutup matanya dengan kedua tangan. Dia terisak menangis di bawah hamparan bintang dan bulan yang menemani malam ini.
Dia tergugu seorang diri dalam kegelapan malam. Dia tidak bisa baik-baik saja karena setiap orang yang dicintainya pergi satu persatu.
"Apa gue nggak pantes dapetin cinta?"
Dia berangsur memeluk lututnya. Menumpahkan kesedihan yang mendalam dalam dirinya. Ingin teriak tapi tidak bisa. Ingin mencaci tapi tidak mampu.
"Bangun!"
Degh!
Balqis mendongak. Matanya membulat melihat Fairuz tersenyum menatapnya. Bahkan laki-laki itu berjongkok sejajar dengan dirinya.
"Kenapa kamu menangis?"
Balqis menggelengkan kepalanya. Dia mengusap air matanya sampai tidak tersisa. "Kok Ustadz ada di sini?"
"Saya tidak ikut. Karena harus menjaga rumah,"
Dengan cepat Balqis berdiri. Dia juga memalingkan wajahnya dari Fairuz. Dia tahu matanya pasti sembab dan merah.
"Eu... Saya pergi dulu,"
"Kamu belum menjawab pertanyaan saya,"
"saya nggak apa-apa. Saya cuma kangen Daddy saya aja."
Tap!
Tanpa pamit, Balqis pergi dari hadapan Fairuz yang terdiam menatapnya. Dia tidak peduli dengannya karena hatinya saat ini tidak baik-baik saja.
Sesampainya di kamar. Balqis langsung menyembunyikan dirinya dalam selimut. Dia tidak menangis, melainkan memaksa menutup mata agar tidur pulas.
***
"Aku ada jadwal beres-beres,"
"Sama. Kita bersihin area kobong dulu baru madrasah."
Balqis melirik setiap orang yang tengah mengobrol melaluinya. Untuk sebagian para santri yang mempunyai jadwal piket tergesa-gesa pergi. Mereka cepat-cepat membereskan pekerjaan agar bisa langsung makan.
Tap!
Langkah Balqis yang hendak berjalan pergi setelah memakai sandal terhenti. Dia menatap Alditra yang tidak jauh darinya. Pandangan mereka bertemu, saling menatap dengan jarak beberapa meter.
Tap!
Balqis memilih pergi. Dia tidak menghampirinya yang masih memperhatikan. Padahal biasanya dia paling senang menghampiri Alditra dan menarik kursinya. Tapi kali ini berbeda lagi ceritanya.
"Balqis!"
Langkah Balqis terhenti. Dia berbalik melihat Fairuz menghampiri sambil tersenyum. "Ustadz, ada apa?"
"Ini untuk sarapan,"
Balqis mengambil plastik yang diberikan. Dia juga berucap terima kasih sebelum melirik Alditra yang tengah memperhatikan ke arah mereka. Terlihat wajahnya sulit diartikan sampai menatap dengan intens. Kemudian pergi memutar kursi rodanya tanpa suara. Andaikan Balqis mengerti tatapan Alditra seperti apa? Mungkin dia akan bahagia.
"Habiskan ya makanannya,"
"Iya Ustadz. Saya pergi dulu," ucap Balqis berlalu.
Langkahnya juga cepat meninggalkan Fairuz. Entah apa yang terjadi dengan dunianya sampai berubah hitam putih. Dia mendadak menjadi pendiam tidak bersuara.
***
Sore ini. Mengaji berlangsung seperti biasanya, namun Maryam tidak mengajar. Dia hanya memberikan beberapa tulisan doa-doa agar ditulis di buku.
Maryam dan suaminya ikut menyambut kedatangan keluarga Annisa. Mereka berkunjung. Bukan hanya bersilaturahmi, mereka juga akan langsung menentukan tanggal pernikahan.
"Kenapa secepet itu, sih?"
Balqis yang sejak tadi menyaksikan kedatangan keluarga Annisa bersembunyi di balik pohon. Dia melihat Annisa perempuan anggun itu tersenyum manis. Di sana juga ada Alditra yang duduk. Terlihat wajahnya berseri menyambut kedatangan mereka.
Balqis berulang kali menghela nafasnya. Dia juga menitikkan air mata namun dihapus cepat. Hatinya tidak kuat menahannya.
"Balqis!"
Mata Balqis membulat. Dia tahu suara lembut siapa itu? Dia pun mendongak.
"Om Gus, Kok bisa ada di sini?"
Alditra tidak menjawab. Dia juga tidak menatap. Namun berulang kali melirik ke arah rumah karena takut ada yang melihat.
"Lo kan mau nikah, Om. Gue seneng deh dengarnya," ucap Balqis sambil tersenyum.
"Jangan bohongi dirimu sendiri, Balqis," sahut Alditra.
Balqis terdiam. "Ck... Ya gue emang sedih. Gue emang jatuh cinta sama lo Om. Tapi gue nggak bisa apa-apa soalnya sekarang beda lagi ceritanya di antara kita---"
"Balqis!" panggil Alditra.
"Nggak usah khawatir, Om. Gue juga udah tau jawabannya. Sama kayak waktu itu kan, Om pasti bakalan nolak pernyataan cinta gue," ucap Balqis. "Yah... Semoga Om Gus selalu bahagia, ya!"
Balqis tersenyum semanis mungkin. Kemudian berlalu pergi meninggalkan Alditra yang terdiam. Dia tahu, semua sudah tidak bisa dibicarakan.
***
Beberapa hari berlalu.
Balqis sudah siap dengan tasnya. Dia membawa semua barang-barang yang sekiranya berharga, dan sebagian lainnya dia berikan.
Dia memutuskan pulang pada ayahnya dan pihak pesantren mengizinkan karena urusan Hans sendiri sudah selesai. Dia juga mengirimkan mobil untuk menjemput Balqis.
Entah apa yang dipikirkan Balqis sampai memilih pergi begitu cepat. Meskipun berulang kali dibujuk, dia tetap memilih pergi. Padahal semangat mengajinya sedang bagus.
"Balqis!"
Balqis tersenyum manis. Dia memeluk Melodi dengan erat. Dia juga memberikannya hadiah dari salah satu perhiasan yang dibawanya. "Gue sayang banget sama lo, Mel!"
"Tetaplah di sini," bujuk Melodi. Dia tidak lelah membujuknya agar tetap tinggal.
"Gue bakalan balik lagi kok. Gue cuma perlu istirahatin hati gue," sahut Balqis.
"Balqis!"
Balqis menoleh. Dia melihat Badriah, Naila dan yang lainnya. Wajah mereka terlihat sedih menandakan tidak rela dia pergi. Meskipun dirinya menyebalkan, tapi dia tetap disukai mereka.
"Kenapa harus pulang? Apa kamu tidak betah?" tanya Badriah.
"Saya betah di sini. Saya juga bakalan balik lagi kesini buat ngenalin sama Daddy," jawab Balqis. "Daddy masih muda. Dia masih keliatan di usia 29 tahun kok. Pasti bakalan suka,"
"Heh... Apa maksudnya itu?" Badriah memasang wajah malas.
"Badriah, Daddy itu cuma duda anak satu loh. Kamu beruntung bisa dapetin dia," ujar Balqis. "Aku bakalan balik lagi kok. Saya kenalkan dia sama kamu,"
Badriah memasang wajah kesal. Sedangkan yang lain tertawa menggodanya. Karena perkataan Balqis selalu benar, dia akan membawa ayahnya.
"Kita akan merindukan kamu, Balqis. Kita akan menunggu kamu kembali."
Semua orang memeluk Balqis. Kemudian mengantarkannya ke rumah Arsalan yang di sana sudah ada mobil jemputannya.
Setelah berpamitan cukup lama, Balqis masuk mobil. Dia menutup pintu dan membuka jendelanya untuk melambaikan tangan. Perpisahan yang membuat air mata luluh.
Di mana Balqis yang sangat menyebalkan, membuat semua orang kesal, mampu membuat mereka merindukannya dan menangis melepaskannya. Entah akan kembali lagi atau tidak? Balqis akan berusaha menata hatinya bila memutuskan kembali.
Lambaian Balqis terhenti. Dia menatap Alditra yang memperhatikannya di kebun. Tidak ada lambaian tangan darinya, tidak ada ucapan selamat tinggal. Mereka hanya saling menatap satu sama lain dari kejauhan.
Setelah mobil menjauh dari area pesantren. Tangis Balqis pecah seketika. Dia menangisi kepergiannya sendiri. Dia akui, bila dirinya betah dan nyaman tinggal. Namun hatinya tidak kuat bila harus melihat Alditra.
Dia mencintainya. Dia jatuh cinta padanya. Namun cinta itu bertepuk sebelah tangan. Cinta itu tidak bisa dimilikinya.
Dia memilih pergi untuk membuat dirinya baik-baik saja. Baru lamaran saja hatinya sudah sakit, apalagi ketika melihat Alditra menikah? Entah akan sehancur apa dirinya.
Mobil yang ditumpangi Balqis berhenti setelah berjam-jam lamanya di perjalanan. Dia pun menginjakkan kakinya untuk pertama kali lagi di rumah bak istana itu.
Semua masih sama tidak ada yang berbeda. Bahkan penjaga semakin ketat di area rumah. Kemudian semakin banyak juga asisten yang menyambut kedatangannya.
Tap!
Langkah Balqis terhenti. Dia melihat seorang pria yang selalu dirindukannya. Dia terlihat baik-baik saja, bahkan senyumannya selalu manis.
"Balqis!"
"Daddy!"
Tangan mungil Balqis memeluk Hans dengan erat. Dia juga menumpahkan kesedihannya. Air mata yang tumpah itu, bukan hanya melepas rindu melainkan bercampur aduk dengan hatinya yang terluka.
"Daddy sangat rindu, Nak!"
Balqis tersenyum sambil mengusap air matanya.
"Me to Dad... I Miss you More"
"Daddy harus tau, keluarga Aby Arsalan itu semuanya baik-baik"
"Alhamdulillah. Mereka memang orang-orang baik, Qis. Daddy sudah kenal mereka dari dulu,"
Balqis mengangguk. "Daddy, di sana ada cewek. Dia baik, ya... Agak galak sih. Namanya Badriah,"
"Terus? Apa kamu berkelahi dengannya?"
"Nggak Dad. Tapi aku yakin kalau Daddy bakalan suka sama dia,"
Hans seketika tertawa. "Kamu itu di sana belajar atau nyari calon ibu?"
"Dua-duanya lah. Aku itu harus nyari yang pas buat Daddy. Dan ternyata dia sangat pas,"
Hans tersenyum.
"Duduk, Sayang! Jangan berpikir ke sana, Daddy belum mau menikah lagi,"
"Kenapa? Daddy masih muda jangan menyia-nyiakan kehidupan, Dad..."
"Ok Fine. Nanti Daddy akan cari ibu buat kamu,"
"Nggak usah ih. Kan aku udah bilang udah nemuin, Dad." Balqis tersenyum. Dia tetap akan memilih Badriah menjadi ibunya.
Balqis tahu usia Badriah dan ayahnya terpaut jauh. Tapi cinta tidak memandang usia, memandang fisik maupun materi.
"Dad, boleh aku istirahat dulu!"
Balqis berlari ke kamarnya. Nuansa kamarnya masih sama, hanya saja warna gorden, seprai berbeda. Bersih dan rapih. Dan beberapa barang mewahnya masih lengkap. Iya, inilah yang disukainya.