menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Setelah puas bercerita, ibu mengajakku keluar, khawatir kalau ayah mencariku. Dengan perasaan lega, aku melangkah lebih dulu keluar rumah.
Aku membuka pintu belakang, bermaksud mencari ayah di sekitar kolam ikan, tapi tidak ada. Aku kemudian berjalan ke arah warung, dan dari kejauhan kulihat ayah sedang duduk sambil membaca buku. Sudah jadi kebiasaannya, ayah tak bisa lepas dari buku. Saking sukanya membaca, ayah sampai membuat gudang khusus untuk menyimpan buku-bukunya. Setiap minggu pasti ada saja buku baru yang dibelinya. Aneh, di antara koleksi bukunya ada satu rak yang penuh dengan buku-buku yang masih terbungkus rapi.
“Yah, ini kok masih dibungkus semua bukunya?” tanyaku penasaran.
“Oh, itu memang sengaja nggak ayah baca,” jawabnya santai.
“Hah? Kalau nggak dibaca kenapa dibeli? Aneh,” kataku sambil tertawa kecil.
“Ayah nggak ngerti bahasanya. Kalau kamu ngerti, baca saja, lumayan buat isi waktu luang. Siapa tahu berguna,” katanya sambil tersenyum.
“Nggak ah, lihatnya saja sudah pusing. Lagian, kenapa sih ayah suka banget beli buku?” tanyaku lagi, setengah bercanda.
“Namanya juga hobi, iya kan, Bu?” Ayah menoleh ke arah ibu yang sedang berdiri di dekat pintu.
“Iyaaa. Sayang, mandi dulu gih, habis itu kita makan. Dari tadi belum mandi, kan?” ucap ibu lembut.
“Hehe, iya, Bu, lupa. Yaudah, Nura ke kamar dulu ya.” Aku cengengesan sambil berjalan menuju kamar untuk mengambil handuk, lalu mandi.
Selesai mandi, aku kembali menemui ibu yang sedang sibuk melayani pembeli. Sudah jadi rutinitas setiap siang, warung kami selalu ramai saat jam makan. Selain jajanan, ibu juga jualan bakso dan mie kocok. Meskipun halamannya kecil, ayah dan ibu berhasil menyulapnya menjadi tempat yang nyaman. Harganya juga murah, hanya 8 sampai 10 ribu per porsi, jauh lebih terjangkau dibanding tempat lain yang menjual dengan harga 10 sampai 15 ribu. Aneh, meskipun murah, warung ibu malah makin laris.
Melihat ibu kewalahan, aku pun inisiatif membantunya.
“Eh, sayang, udah-udah, nggak apa-apa. Kamu makan dulu aja, nanti keburu dingin makanannya,” kata ibu dengan ramah.
“Nggak apa-apa kok, Bu, Nura pengen bantu. Hitung-hitung belajar juga, kan?” jawabku sambil membantu melayani pembeli. Ibu hanya tersenyum melihatku. Kami bekerja sama sampai waktu menunjukkan pukul dua siang, lalu kembali ke dalam rumah untuk makan. Ayahku yang giliran berjaga di warung.
Setelah makan, aku kembali ke kamar, sedangkan ibu menemani ayah di warung.
Sebagai anak satu-satunya, jujur saja kadang ada rasa kesepian saat orangtuaku sibuk, meski mereka ada di rumah. Bukan berarti aku bisa bebas ngobrol sama mereka, apalagi ngobrol dari hati ke hati. Tapi meskipun begitu, aku tetap sayang dan bangga sama mereka.
Siang itu, aku menghabiskan waktu belajar dan sesekali menonton video di YouTube. Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat cerita ayah tentang tsunami Aceh 2004. Rasa penasaran membawaku mencari tayangan tentang peristiwa itu.
Saat pertama kali menonton, seluruh tubuhku gemetar. Sedih dan takut bercampur aduk. Mayat-mayat bergeletakan di mana-mana, jeritan dan tangisan mengisi udara. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana panik dan takutnya jika aku ada di sana. Rasa penasaranku semakin besar, aku memberanikan diri membaca artikel tentang tsunami itu. Semakin dalam aku membaca, semakin sedih dan menangis dibuatnya. Tanpa kusadari, ibuku sudah berdiri di belakangku.
“Kamu lagi apa, Sayang? Serius amat sampai nggak denger ibu manggil,” ucap ibu sambil mengagetkanku.
“Astagfirullah, Bu! Maaf. Ini Nura lagi baca artikel tentang bencana alam. Oh iya, Bu, kata Ayah, Ibu sama Ayah pernah jadi relawan, ya? Itu gimana ceritanya, Bu?” tanyaku panik.
Sambil memelukku dari belakang, ibu berkata, “Coba kamu tanya ayahmu, pasti seru ceritanya. Kalau ibu sih cuma di bagian camp pengungsi, beda sama ayahmu.”
“Kenapa ibu nggak ikut bantu evakuasi?” tanyaku lagi.
“Memang ditugasinnya begitu. Kalau ayahmu kan nggak gabung ke lembaga relawan, jadi bebas kemana-mana,” jawab ibu sambil mengusap rambutku.
“Bu, boleh nggak Nura ikut jadi relawan juga? Nura pengen seperti Ayah sama Ibu,” tanyaku.
“Boleh dong, Sayang. Tapi kamu harus bisa jaga dan urus diri sendiri dulu. Jangan sampai niatmu pengen bantu malah jadi nyusahin orang lain.”
“Oh iya, ibu jadi lupa. Ibu mau ke pasar, kamu mau ikut nggak temani ibu?” tanya ibu sambil berdiri dari duduknya.
“Mau, Bu. Yaudah, Nura siap-siap dulu ya.” Setelah beres, aku menemui ibu yang sedang ngobrol dengan ayah.
“Udah siap?” tanya ibu.
“Sudah. Yah, Nura pamit ya,” ucapku sambil mencium tangan ayah.
Singkat cerita, kami berangkat ke pasar menggunakan angkutan umum. Sesampainya di pasar, kami berkeliling dari jongko sayuran sampai daging. Karena jarak pasar cukup jauh, ibu belanja banyak untuk stok dua atau tiga hari ke depan.
Setelah selesai, kami keluar dari pasar. Cuaca cerah mengiringi langkah kami.
“Bu, mau pulang?” tanya seorang supir angkot.
“Iya, Pak,” jawab ibu ramah.
“Mari, Bu, saya antar,” balas supir angkot.
“Enggak, Pak. Saya nunggu angkot warna oranye,” jawab ibu.
“Gak apa-apa, Bu. Masuk aja, saya juga sekalian mau ketemu Pak Barkah, ada urusan penting,” kata supir itu sedikit memaksa.
Aku merasa nggak enak, spontan aku memotong percakapan mereka.
“Bapak kenal sama ayahku?” tanyaku curiga. Sang supir tersenyum, mengambil handphone dari tas pinggangnya, lalu menunjukkan foto. “Ini ayahmu, kan? Bapak temannya ayahmu,” jelasnya panjang lebar.
Aku masih ragu. Ada perasaan tidak enak. “Bentar, Nura mau telepon ayah dulu,” kataku sambil buru-buru menelpon ayah.
Awalnya tidak diangkat, tapi setelah kucoba lagi akhirnya diangkat juga. Tanpa basa-basi, aku langsung bertanya. “Yah, ini ada bapak-bapak bilang temen ayah, maksa naik angkotnya. Ayah kenal?”
Suara ayah terdengar tertawa di seberang telepon. “Naik aja, percaya deh sama dia. Itu bener kok,” kata ayah.
Dengan kesal, aku mematikan telepon. “Tau ah, bete. Bapak jangan macem-macem ya?” kataku setengah bercanda.
Sang sopir tertawa kecil, kemudian aku dan ibu pun naik angkot tersebut.
Sepanjang perjalanan, tidak ada obrolan yang intens antara kami dan sang sopir, hanya beberapa pertanyaan tentang ayah. Setelah perjalanan yang panjang, kami akhirnya tiba menjelang maghrib.