Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menarilah Di Atas Tubuhku
"Hm, dia sudah kembali dari Minggu kemarin."
"Wih, perusahaan ayahmu sepertinya akan segera diambil alih olehnya. Kamu tidak merasa takut atau iri?" tanya Damar sambil menyunggingkan senyum.
"Ck, ambil saja kalau dia mau. Aku tidak tertarik dengan perusahaan."
"Aneh, aku sih kalau disuruh milih, lebih baik jadi orang kantoran daripada jadi seorang guru. Apalagi jika perusahaan itu milik orang tuaku. Aku akan menekan bawahanku dan menjadi bos besar yang angkuh dan disegani banyak orang. Lalu aku tempatkan satu atau dua, ah tidak, tiga sekretaris cantik dan seksi disampingku, setiap harinya mereka akan kusuruh melayaniku, HAHAHAA!" gurau Damar sambil tertawa besar dengan menaikan kerah kemejanya, seperti gaya bangsawan di zaman dulu.
Tristan hanya berdesis sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah gila Damar.
°°°
Malam harinya.
Setelah sampai di rumah dengan masih mengenakan seragam serta tas ransel di punggung, Amira mengambil kunci gerbang dari dalam ranselnya. Dia sedikit kesulitan karena sedang memeluk beberapa buku paket.
Pada saat Amira akan membuka gembok, ternyata gembok tersebut sudah terbuka.
Amira menyipitkan matanya dan menajamkan penglihatannya, ada sebuah mobil hitam mewah yang terparkir di carport-nya. Tentu dia tahu mobil siapa itu. Tidak lain dan tidak bukan ialah mobil Tristan.
"Dia kemari tanpa mengabariku? Tidak biasanya," gumam Amira.
Dia pun melenggang masuk ke dalam dan tak lupa mengunci kembali gerbangnya.
Pintu utama tidak ditutup dengan benar. Mungkinkah Tristan sedang menunggunya di ruang tamu? Begitu Amira menjejakkan kaki di ruang tamu dengan nuansa lampu remang-remang, dia tidak melihat sosok Tristan sama sekali.
Amira mengendarkan padangan matanya, di mana Tristan? Dia tak menemukan jejaknya. Amira melanjutkan langkah lagi menuju kamarnya.
Cklek.
Pintu terbuka. Matanya yang tajam lagi-lagi mencari Tristan, tapi tetap tidak menemukannya.
"Apa dia datang hanya menyimpan mobil saja, lalu pergi?" gumam Amira sambil meletakkan ranselnya.
Mungkin begitu. Tak mau ambil pusing. Amira tidak akan mencarinya lagi. Dia meninggalkan kamarnya sambil membawa buku-buku paket menuju ruang buku di halaman belakang yang Tristan sediakan khusus untuk Amira.
Amira menyalakan lampu karena sebelumnya ruangan ini gelap gulita. Dia menyusun buku-buku paket yang dia bawa di rak buku. Buku yang akan dia pelajari untuk menghadapi Ujian Nasional yang nyaris di depan mata.
Namun, tiba-tiba saja lampu putih nan terang berganti menjadi lampu kuning remang-remang. Tentu Amira terkejut. Siapa yang menggantinya?
Begitu dia berbalik, sosok tinggi besar dan penuh pesona sedang menatapnya sambil bersandar di dinding.
"Tan?"
Tristan dengan kancing kemeja atas yang terbuka, berjalan seksi ke arah Amira. Tatapan matanya lagi-lagi berada dalam mode menguasai, sama seperti tatapan saat di ruang Biologinya beberapa hari lalu.
"Jam berapa ini, Amirah?" tanya Tristan sambil mendekatkan diri pada Amira dan mengendus aroma di tengkuk lehernya. Tercium aroma lain yang cukup kuat dari tubuhnya. Tanduk dan taring Tristan pun muncul bersamaan.
"Dari mana kamu jam segini baru pulang?" tanyanya lagi dengan nada menuntut.
"Aku keluar dengan Uci dan Sofi untuk menyelesaikan tugas esaymu, besok," jawab Amira sambil menelan saliva. Di dekati Tristan dengan tatapannya yang mengerikan seperti itu, siapa yang tidak gugup.
"Haruskah mengerjakannya di luar? Lalu, aroma apa yang menempel ditubuhmu? Kamu bertemu dengan siapa selain teman-temanmu?" Pertanyaan Tristan semakin menyudutkannya.
"Hanya dengan teman-temanku saja. Kenapa memangnya dengan aromaku? Aneh?" Amira balik bertanya karena heran. Tristan menjadi agak sensitif sekarang, tidak seperti biasanya yang datar dan acuh tak acuh.
"Apa ada pria yang sedang kamu dekati?"
"Hah? Pria yang aku dekati?" gumam Amira sambil mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba dia mengukir senyum misteri, seolah tahu apa yang Tristan alami. "Kenapa? Kamu takut dan cemburu ya, kalau aku diambil orang? Hehe," godanya.
Tristan menghela napas hampa. Ketahuan! Dia tarik pinggang Amira ke dalam pelukan dan menempelkan kening mereka. Pupil mereka membesar satu sama lain karena jarak pandang yang sangat dekat.
"Kalau iya, kenapa? Tidak boleh saya sebagai suamimu cemburu dan melarang kamu dekat dengan pria lain?" ucapnya lirih dengan nada yang cukup sensual.
"Seharusnya memang tidak boleh, kan? Sesuai ketetapan kontrak, tidak boleh ada perasaan diantara kita. Kamu mau melanggar batas?"
"Kalau saya bisa, kenapa tidak? Saya yang buat isi kontraknya, saya juga yang dapat menghancurkan poin-poin di dalamnya."
"Lho, mana bisa begitu? Pelanggaran namanya!" bantah Amira sambil menarik diri.
"Kalau begini, apa masih pelanggaran?" Tristan melumat bibir Amira dan sedikit menyesapnya, lalu dia lepaskan dan menunggu jawaban Amira selanjutnya.
Kedua pipi Amira bersemu merah. Dia tertunduk sambil tersenyum malu. Amira pukul kecil dada Tristan dengan gemas.
"Ini sih, bukan pelanggaran, tapi suatu keharusan," katanya sambil memalingkan wajah.
Tristan tersenyum lebar. Dia merasa setiap berada dekat dengan Amira, mood-nya selalu baik. Gadis berusia 19 tahun ini, entah memiliki apa dalam tubuhnya yang dapat menariknya seperti magnet. Ingin selalu nempel, tidak mau lepas.
Tristan menyesap kembali bibir Amira yang merah berair itu dengan nikmat sambil melepaskan kancing seragam Amira. Dia hujani leher Amira dengan kecupan lembutnya.
"Amirah, saya harap kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari saya, terlebih berhubungan dengan seorang pria di belakang saya," gumam Tristan penuh maksud sambil terus mengecupnya dan kecupan itu menurun sampai dada.
Glek!
Amira menelan saliva, dia takut Tristan sudah mengetahui mengenai Reyhan yang selalu mencoba menghubunginya. Selama ini, dia menyembunyikan itu dari Tristan. Apakah Tristan baru saja memperingatinya?
"T-tunggu dulu, tunggu! Besok ada pelajaran olahraga, aku harap kamu melepaskanku malam ini, hum?" rengek Amira sambil menatapnya getir. Seperti tatapan anak kucing yang malang. Dia tak mau energinya terkuras habis malam ini dan malah kelelahan besok.
"Guru olahraga masih belum ada penggantinya. Kamu hanya akan merangkum materi besok. Sebagai gantinya, biarkan saya yang jadi guru olahragamu di ranjang."
Tristan langsung menggendong Amira, meski Amira menolak berusaha meloloskan diri, tapi tampaknya itu sia-sia.
Tristan membawanya ke kamar panas mereka. Dia membaringkan Amira di atas ranjang dan dia sendiri langsung melepaskan kemejanya, lalu melemparnya ke sembarang tempat.
Otot lengannya, dada dan perutnya dengan kulit yang eksotis tampak sangat menggoda. Lengan beruratnya menarik kaki Amira. Tristan kecup kaki Amira secara perlahan sampai kecupan itu naik ke paha. Tristan seperti sedang menggerogoti daging mangsanya dengan nikmat.
Sekujur tubuh Amira mulai mengejang. Rasanya panas dingin. Embusan napas Tristan terasa menyapu hangat di pahanya. Jambang tipisnya menusuk dan terasa sangat menggelitik. Memberikan sensasi berdebar yang luar biasa.
Tristan memang sangat pandai membuatnya terangsang. Ditambah lagi dengan perawakan dan tampangnya yang membuat tubuh Amira seakan meronta-ronta dan berkata 'Mas, aku siap untuk dinodai'.
Namun, kali ini Tristan tidak ingin memegang kendali. Dia meminta Amira menari di atas tubuhnya.
Tristan berbaring di ranjang dan Amira duduk menekan kepemilikan Tristan yang sudah keras di balik celana hitam yang dikenakannya.
Amira melepas seragamnya dan meletakannya di lantai begitu saja. Dia raih rahang tajam Tristan dan mengecup bibirnya dengan sedikit membungkuk.
Amira sudah lihai bermain dengannya. Tristan sering meminta jatah, bahkan pernah sehari sampai 4 kali, diluar batas kemampuan Amira. Tidak ada rasa malu dan jaim lagi diantara mereka karena mereka sama-sama menyukai dan menikmatinya.
Tristan menyentuh pinggang Amira yang ramping dan dia sedikit menekannya, seolah tidak sabar ingin segera masuk ke tahap selanjutnya yang lebih menantang.
Namun, Amira masih ingin bermain-main dulu. Dia memiliki niat licik dalam situasi tersebut, yaitu dengan membuat tanda merah di leher Tristan. Tentu tanpa Tristan sadari. Entah seperti apa ekspresi para murid yang mengidolakannya nanti dan juga para guru-guru wanita yang keganjenan.
Yang jelas Amira ingin besok menjadi hari patah hati se-sekolahan!
...
Hayolooo...
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor