WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertahan Tanpa Perasaan
Hari pernikahan.
Pagi ini, Rosalie datang bersama Ben dan Ana ke sebuah tempat yang akan menjadi saksi bisu pernikahan kontrak antara Ben dan Ana.
Rosalie ingin anak yang akan Ana lahirkan kelak adalah anak yang lahir dari orang tua yang sudah menikah sah secara hukum dan agama. Dengan begitu, Rosalie dan Ben mengeluarkan cukup banyak biaya untuk pernikahan rahasia yang tidak boleh diketahui oleh semua orang.
Acara pernikahan digelar secara tertutup dan rahasia. Ana bahkan tidak memberitahukan hal ini pada ayahnya yang sedang menjalani pengobatan di luar negeri. Ana merahasiakan semua ini agar ayahnya bisa berobat dengan tenang. Jika ayahnya sudah kembali pulang dalam keadaan stabil, Ana berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menceritakan semua ini.
Prosesi pernikahan berjalan lancar, terlebih Rosalie begitu mendukungnya hingga tidak ada satupun kesulitan dalam pencatatan sipil yang perlu mereka khawatirkan. Hanya saja, semua harus tetap menjadi rahasia.
"Ana, ini kamarmu," ucap Rosalie. Kini mereka bertiga sudah kembali ke rumah, dan Ana mendapatkan kamarnya sendiri di rumah ini.
"Baik," jawab Ana sambil mengangguk. Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintunyanya rapat.
Gadis itu melihat kamar luas dengan semua fasilitas yang mewah. Ranjang besar lengkap dengan televisi, pendingin ruangan hingga tiga lemari kaca besar menghiasi ruangan.
Ana berjalan dengan kaki lemah menuju tempat tidur. Badannya gemetar dengan kedua mata berkaca-kaca. Gadis itu meraba dadanya, ia memejam dan merasakan sebuah perasaan sakit yang sulit di jelaskan.
Di usia dua puluh tiga tahun, Ana bahkan belum sempat memimpikan pernikahannya. Dan kini ia telah resmi menyandang status sebagai istri kedua seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, yang juga berstatus sebagai majikannya.
Ana merosot di lantai, menekuk kedua lutut dan merangkulnya. Gadis itu menangis dalam diam, tak bersuara, namun jeritan batinnya bahkan mengguncang seluruh tubuhnya.
"Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku, Ibu."
Ana menangis. Bukan karena ia menyesal telah memilih jalan pintas seperti ini, namun ia menangis karena tidak bisa menjaga wasiat ibunya untuk hidup bahagia bersama laki-laki yang dicintainya.
Ana merasa jika kini ia sedang menjual tubuh. Ia menjual keperawanan, harga diri dan menyewakan rahimnya untuk keluarga kaya yang bisa membiayai seluruh pengobatan ayahnya.
Saat masih duduk bersimpuh di lantai dengan wajah basah oleh air mata, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Ben masuk mendekatinya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ben. Ia duduk berjongkok dan menatap wajah gadis yang baru saja resmi menjadi istrinya.
Ana mengangguk dan menghapus sisa air mata di wajahnya. Gadis itu buru-buru bangkit dan merapikan gaun pengantin yang belum sempat ia lepas.
"Maaf," lirih Ana.
Tanpa aba-aba, Ben memeluk Ana. Membenamkan kepala gadis itu di depan dadanya dan mengusap kepalanya lembut.
"Tidak apa-apa, kau bisa menangis sepuasmu. Tapi setelah ini, aku tidak mau melihatmu menangis lagi," ucap Ben. Ia akan semakin merasa bersalah jika Ana terus menangis seakan menyesali semua perbuatannya.
Laki-laki itu memeluk Ana, ia bisa merasakan tubuh gadis itu berguncang karena tangisan yang hebat. Ben tahu Ana merasa tertekan, Ben paham Ana belum bisa merelakan nasib yang sudah Tuhan takdirkan.
Entah sudah berapa lama, Ana akhirnya kembali tenang. Ben menuntun gadis itu dan membiarkannya duduk di tepi tempat tidur.
"Ganti pakaianmu dan istirahatlah, tenangkan dirimu. Aku akan meminta pelayan membawa makan siang untukmu," ujar Ben lembut.
"Aku akan pergi ke dapur sendiri," jawab Ana.
"Kau nyonya di rumah ini. Kau juga mendapatkan hak yang sama seperti Rosalie!" tegas Ben.
"Tapi ...." Ana berusaha menolak, ia merasa tidak enak hati.
"Aku tidak suka dibantah!" seru Ben. Laki-laki itu tanpa izin membuka jas dan kemejanya di depan Ana. Membuat gadis yang polos dan pemalu itu menutup mata.
"Aku akan mandi. Cepat ganti pakaianmu dan istirahatlah," ujar Ben sambil berjalan ke arah kamar mandi.
"Tapi, kenapa kau mandi di sini? Apa Kak Rose mengizinkan?" tanya Ana.
"Dia sedang ada urusan di butik. Aku tidak perlu meminta izin apapun darinya."
Ana menelan ludah kasar mendengar penuturan laki-laki itu. Ia bahkan belum bisa menerima kenyataan ini, namun Ben bahkan sudah bergerak cepat seakan menyiapkan strategi.
Setelah Ana mendengar suara pintu kamar mandi yang terkunci, gadis itu segera membuka lemari dan mencari pakaian ganti. Ia tidak membawa semua pakaian di rumah lamanya, ia hanya membawa beberapa pakaian yang cukup bagus dan pantas.
Dengan cepat, Ana berganti pakaian sebelum Ben menyelesaikan ritual mandinya.
Selang beberapa menit, Ben keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Laki-laki itu mengabaikan Ana yang memalingkan wajah karena malu.
"Kau harus membiasakan diri," ucap Ben.
"Membiasakan diri? Untuk apa?"
"Sekarang aku suamimu. Kau harus terbiasa bersikap berani di depanku, aku suka gadis pemberani dan agresif," jelas Ben.
"Baik," jawab Ana singkat. Meskipun ia tidak begitu paham maksud berani dan agresif dalam hal apa yang sedang Ben bicarakan.
Setelah berpakain, Ben berdiri di depan Ana. Ia memperhatikan gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wajahnya yang cantik bahkan tanpa make up membuat Ben berulang kali menarik napas panjang untuk meredakan desakan gairah yang terus mendorongnya.
"Dengar, Anastasia. Jika kau belum siap atau bahkan tidak ingin kita melakukannya malam ini, tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa," ungkap Ben. Ia masih melihat rasa takut dan khawatir di wajah istri keduanya.
"Bagaimana dengan Kak Rose?"
"Kau lucu sekali," jawab Ben sambil mengulum senyum. "Apakah kita harus melaporkan padanya sudah berapa ronde kita melakukannya?"
"Bukankah lebih cepat lebih baik?" tanya Ana.
"Ah, begitu rupanya. Kau mau melakukannya saat ini juga? Tidak apa-apa, aku bersedia," ujar Ben.
"Tidak, Tuan. Beri aku waktu, aku mohon."
"Tuan?" Ben mengernyitkan dahi. "Aku suamimu, kau bisa memanggil namaku, jangan memanggilku seperti itu."
"Maaf," lirih Ana. Usianya dan Ben yang terpaut tujuh tahun rasanya tidak sopan jika memanggil laki-laki itu hanya dengan namanya, namun Ana tidak tahu harus memanggil dengan sebutan apa.
Ben tersenyum, ia lalu memeluk Ana sekilas, membuat gadis itu tersentak kaget.
"Istirahatlah, pelayan akan datang membawa makan siangmu. Aku ada pekerjaan, kau bisa mencariku di ruang kerjaku," ucap Ben setelah melepaskan pelukan. Laki-laki itu berjalan keluar kamar.
Setelah kepergian Ben, Ana melamun. Ia kini paham mengapa Rosalie begitu mencintai laki-laki itu. Selain wajah yang tampan, Ben juga bersikap manis dan penuh kasih sayang. Kini Ana mengkhawatirkan hatinya. Apakah ia bisa bertahan tanpa perasaan untuk hidup bersama sosok laki-laki seperti itu.
🖤🖤🖤
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu