Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Sampailah mereka di tempat tujuan. Seno turun lebih dulu. Ia masuk ke dalam rumah makan itu tanpa menunggu Ana dan Angga. Ia menatap sekitar mencari tempat duduk yang nyaman. Ana dan Angga berdiri di belakang Seno.
"Duduk di mana?" tanya Angga.
"Di situ aja, yuk!" Seno menunjuk ke meja yang menempel dengan dinding. Ia lalu melangkah diikuti oleh Angga dan Ana.
Ana duduk di dekat dinding, Angga duduk di samping Ana. Seno duduk di depan Ana. Ia bisa melihat wajah cantik gadis itu.
Palagan datang menanyakan pesanan mereka. Tepat saat itu, seseorang baru saja masuk ke dalam rumah makan tersebut. Setelah menyebutkan makanan yang Seno inginkan, ia melihat ke arah pintu. Di sana tatapannya bertemu dengan seorang gadis.
Gadis tersebut tersenyum lebar lalu menghampiri mereka. "Wah, kebetulan sekali kita ketemu di sini. Boleh gue gabung?" tanya gadis itu.
Ana dan Angga mengalihkan pandangan yang semula membaca menu menjadi menatap kaget ke arah gadis itu. "Gendis? Kok, bisa?" Ana tersenyum, tetapi ia bingung, matanya melirik Angga.
"Apa Angga yang menyuruh Gendis ke sini? Nggak mungkin cuma kebetulan!" batin Ana.
Sementara itu, Angga juga bingung bisa sangat kebetulan bertemu dengan Gendis. Angga lalu melirik Seno. Ia justru curiga Seno lah yang telah mengajak Gendis.
"Wah, Dis. Bisa kebetulan begini, ya. Duduk, sini." Seno berdiri lalu menyuruh Gendis duduk di dekat dinding. Setelah Gendis duduk, Seno kembali duduk.
"Gue tadinya mau pulang, tapi pas ingat di rumah juga nggak ada orang, semua pada pergi, jadi gue ke sini aja dulu. Eh, bisa ketemu kalian senang banget. Gue malas kalau makan sendiri," ucap Gendis ceria.
Terdengar suara orang berdeham, ternyata pelayan tadi masih setia menunggu mereka menyebutkan pesanannya. Dengan sabar pelayan itu menunggu adegan drama itu selesai. "Mau pesan apa?" tanyanya ramah sambil tersenyum, padahal hatinya sangat dongkol.
"Eh iya, maaf Mbak. Jadi lupa," ucap Angga. Ia lalu menyebutkan makanan untuk Ana dan dirinya. Gendis juga menyebutkan pesanannya. Setelah semua sudah fix pelayan tersebut beranjak pergi.
Entah kenapa? Ana merasa sedih melihat Gendis. Ia jadi teringat dengan Elin. Sahabatnya itu seharusnya ada di sini, berkumpul bersama di tempat Gendis duduk. Kenapa Elin seperti menjauhinya? Jika bertemu Elin pasti langsung berbalik dan pergi. Tidak ada lagi sapaan hangat.
Angga yang melihat wajah sendu Ana, menggenggam tangan Ana yang ada di atas meja. "Kenapa?" tanya Angga.
Ana terkejut lalu tersenyum pada Angga. "Nggak apa-apa," jawab Ana. Ia tidak mungkin mengatakan perasaannya di depan Gendis dan Seno.
empat mata melirik tangan Ana dan Angga yang bertaut di atas meja. Mereka tampak tidak suka. "Dis, katanya lo mau kuliah di luar, ya?" tanya Seno mengalihkan perhatian.
Angga melepaskan genggaman tangannya lalu menoleh pada Seno dan Gendis. Ia merasakan peringatan bahaya, jangan sampai pembahasan mereka membongkar rahasia yang ia tutupi dari Ana. Tidak sekarang, ia tidak ingin Ana tahu dari orang lain dan tidak dengan cara seperti ini.
Ana melihat tangan Angga yang terlepas lalu ia menurunkan tangannya dan menyembunyikan di bawah meja. Hatinya semakin sedih. Ia menjadi tak nyaman berada di tempat ini, terutama melihat tatapan Angga pada Gendis.
"Iya, kok, lo tahu?" tanya Gendis.
"Iya, gue denger kata guru waktu gue lagi naro buku tugas anak-anak, tapi katanya lo nggak sendiri. Ama siapa?" tanya Seno.
"Lo, nggak dengar siapa yang kuliah bareng gue nanti?" tanya Gendis.
"Nggak, nggak enaklah, nguping guru. Abis naro tugas gue langsung pergi," jawab Seno.
"Oh, lo kenal, kok, orangnya. Dia juga ada di sini." Gendis sengaja tidak langsung menyebutkan nama.
"Siapa? Gue nggak mungkin, Ana juga, berati ...." Seno tidak melanjutkan ucapannya ia hanya menatap Angga. Bukan hanya Seno, tetapi semua yang ada di meja itu menatap Angga.
Angga sendiri bingung harus bagaimana? Akhirnya yang ia takutkan terjadi. Gendis mengatakan rahasia yang ia simpan di depan Ana. Angga menatap Ana, dengan wajah menyesal. Ana langsung bangkit, tanpa mengatakan apa pun ia pergi meninggalkan mereka.
Angga ikut berdiri ingin menyusul Ana, bertepatan dengan datangnya pelayan membawa pesanan mereka. Angga menyenggol nampan yang berisi makanan dan minuman. Nampan itu terjatuh beserta semua isinya. Sebagian makanan mengenai pakaian Angga. Terdengar suara pecahan beling yang gaduh.
Namun, Ana sama sekali tidak peduli ia terus keluar dari rumah makan tanpa menoleh ke belakang. "Maaf," ucap Angga lalu berlari mengejar Ana, mengabaikan semua kekacauan juga pakaiannya yang basah serta rasa panas pada kulit tangan dan perutnya.
Gendis ingin menyusul Angga karena khawatir pada lelaki itu. Namun, Seno mencegahnya. "Udah biarin aja," ucap Seno.
"Tapi, Sen. Tangan Angga pasti kepanasan itu." Gendis khawatir pada Angga, mereka memesan makanan yang memakai hotplate, kebayang panasnya.
"Udah, nggak apa-apa. Kalau lo ke sana yang ada lo malah kena semprot Angga."
Pelayan membersihkan makanan yang terjatuh. Seno meminta maaf, dan berjanji tetap membayarnya. Ia lalu memesan dua makanan lagi untuknya dan Gendis.
"Kita harus rayakan ini, gue yakin hubungan Angga dan Ana akan renggang. Jalan buat lo deketin Angga semakin lebar." Seno terlihat bahagia karena kesempatan untuk memiliki Ana juga terbuka.
Gendis tersenyum, "Jahat juga lo, nusuk teman dari belakang!" sarkas Gendis.
Seno tidak tersinggung justru tertawa. "Dalam cinta, semua dibolehkan. Cinta butuh perjuangan."
"Ya, terserah lo!" Gendis tidak peduli perasaan Seno, yang penting baginya ia bisa memiliki Angga.
***
Ana nekat naik angkot yang lewat. Tak peduli angkot itu akan membawanya ke mana yang jelas ia tak mau pulang bersama Angga.
"Ana!" teriak Angga. Melihat Ana yang naik angkot, Angga segera berlari ke motornya lalu dengan cepat menyalakan motor tersebut. Ia khawatir pada Ana yang tak pernah naik angkot sendiri. Ia juga yakin Ana tidak tahu jurusan angkot tersebut.
Motor Angga melaju kencang mencari angkot yang dinaiki Ana. Ia melihat ada beberapa angkot serupa. Sial! Angga lupa melihat plat nomor mobil angkot yang Ana naiki. Kini ia harus mengikuti mobil yang mana?
Untunglah kendaraan mereka berhenti karena lampu merah. Angga mematikan motornya lalu turun begitu saja. Ia melihat ke dalam angkot yang dekat dengannya, tidak ada Ana di dalam angkot itu. Ia bergegas ke angkot lain, lagi-lagi tidak ada Ana.
Begitu, ia akan melihat angkot di depan waktu lampu merah tinggal tiga detik lagi. Angga segera berlari ke motornya, lalu menyalakan motor tersebut. Ia yakin Ana ada di mobil angkot di depan. Lampu merah pun berubah menjadi hijau, Angga langsung melajukan motornya menyusul angkot yang sudah lebih dulu melesat.
...----------------...