ig: nrz.kiya
Farel Aldebaran, cowok yang lebih suka hidup semaunya, tiba-tiba harus menggantikan posisi kakak kembarnya yang sudah meninggal untuk menikahi Yena Syakila Gunawan. Wanita yang sudah dijodohkan dengan kakaknya sejak bayi. Kalau ada yang bisa bikin Farel kaget dan bingung, ya inilah dia! Pernikahan yang enggak pernah dia inginkan, tapi terpaksa harus dijalani karena hukuman dari ayahnya.
Tapi, siapa sangka kalau pernikahan ini malah penuh dengan kekonyolan? Yuk, saksikan perjalanan mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur dzakiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Thanks Yena
Keesokan harinya, suasana masih gelap ketika Yena membangunkan Farel yang bergelung di bawah selimut.
"Rel, bangun. Udah jam empat. Kalau telat, kita nggak bisa lihat api biru," ujar Yena sambil mengguncang pelan bahu Farel.
"Nggh... lima menit lagi..." gumam Farel, menarik selimut menutupi kepalanya.
"Rel, serius, kalau lo nggak bangun sekarang, gue tinggal," ancam Yena sambil berdiri di sisi tempat tidur.
Farel mengintip dari balik selimut. "Tinggal? Lo mau naik gunung sendirian?"
"Iya, dan gue yakin bakal lebih cepat tanpa lo yang males-malesan," jawab Yena sambil melipat tangan di dada.
Merasa tertantang, Farel langsung bangkit dengan rambut acak-acakan. "Oke, oke. Gua bangun. Tapi lo yang tanggung jawab kalau gue nggak semangat nanti."
Yena hanya tertawa kecil. "Semangat lo nggak ada hubungannya sama gua. Sekarang cepet siap-siap."
Mereka segera bersiap dan meninggalkan hotel menuju Kawah Ijen. Di perjalanan, Farel terus menguap sambil memeluk termos kopi yang dibawanya, sementara Yena terlihat antusias memandangi pemandangan dari balik kaca mobil.
"Eh, lo yakin ini bakal seru? Kita ke gunung buat lihat api. Itu doang?" tanya Farel skeptis.
"Bukan api biasa, Rel. Ini api biru, fenomena langka yang cuma ada di dua tempat di dunia. Lo nggak penasaran?" balas Yena.
Farel mengangkat bahu. "Nggak terlalu sih, tapi oke lah. Siapa tahu keren."
Setibanya di lokasi, mereka bergabung dengan rombongan pendaki lainnya dan mulai mendaki. Farel terus mengeluh soal jalur yang menanjak dan udara yang dingin, sementara Yena tampak tenang meski sesekali mengatur nafasnya.
"Lo kayaknya udah terbiasa banget sama kayak gini. Gua mah udah mau nyerah," ujar Farel, duduk di batu besar untuk istirahat.
"Gua suka naik gunung dulu. Sama papa waktu kecil," jawab Yena sambil tersenyum kecil.
Farel terdiam sejenak, lalu kembali berdiri. "Kalau gitu, gua nggak mau kalah. Ayo, lanjut."
Mereka akhirnya tiba di puncak saat hari mulai terang. Api biru yang memancar dari celah belerang terlihat memukau, membuat Farel terdiam dalam kekaguman.
"Lo lihat itu, Rel? Indah banget, kan?" ujar Yena dengan mata berbinar.
Farel hanya mengangguk, tanpa bisa berkata-kata. Sesuatu tentang pemandangan itu terasa menggetarkan, membuatnya lupa akan kelelahan yang tadi ia rasakan.
Setelah puas menikmati pemandangan api biru, rombongan mulai bersiap turun dari Kawah Ijen. Tapi Farel yang terkenal kurang koordinasi malah terpeleset di jalur berpasir.
"WOAH! Gue jatuh!" teriaknya, membuat semua orang menoleh.
Yena menahan tawa sambil mendekat. "Ya ampun, lo kenapa lagi? Tadi udah istirahat banyak, masih aja begini?"
Farel berdiri sambil membersihkan celana yang penuh pasir. "Ini karena sepatu, Yen! Sepatu ini nggak bersahabat sama gunung."
Yena menatap sepatu Farel yang lebih cocok dipakai ke mal daripada mendaki. "Rel, itu sepatu olahraga apa sepatu pesta?"
"Sepatu olahraga, dong! Tapi emang gue lebih sering pake ke mal," jawab Farel, masih sibuk membersihkan pasir.
Rombongan lain menahan tawa, sementara Yena menarik napas panjang. "Udah deh, pelan-pelan aja. Kalau jatuh lagi, gue nggak mau nolongin lo."
"Tenang aja, gua pro kalau soal keseimbangan," ujar Farel sambil berjalan dengan percaya diri.
Namun, baru dua langkah, ia terpeleset lagi, kali ini jatuh lebih dramatis dengan posisi tengkurap.
"WOAAH! Sekali lagi gua jatuh!" teriaknya, membuat semua orang pecah tawa.
Yena memutar mata, menahan geli. "Rel, lo beneran bikin malu!"
Farel mendongak dengan wajah penuh pasir. "Yen, tolong bilang ke ayah gue kalau gue jatuh demi menjaga reputasi keluarga!"
"Bukannya reputasi lo sendiri yang rusak?" balas Yena sambil membantu Farel bangun.
Setelah kejadian itu, Yena memutuskan untuk menggandeng Farel agar dia nggak jatuh lagi. Tapi perjalanan mereka malah jadi tontonan rombongan lain karena Farel terus-terusan mengeluh.
"Yen, lo tuh kayak GPS yang bikin capek. Pelan dikit dong!"
"Rel, ini turunan, bukan jalan datar. Kalau pelan, lo yang bakal jatuh lagi!"
"Aduh, udah nggak ada harapan buat gue di gunung. Coba aja ada eskalator, gua pasti nomor satu sampai bawah."
Setibanya di bawah, Farel langsung duduk di bangku kayu sambil menepuk dada. "Akhirnya, selamat dari maut! Ini pengalaman ekstrem buat gue."
Yena menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Rel, lo cuma jatuh dua kali. Jangan lebay."
"Buat gue itu cukup ekstrem. Apalagi yang kedua tadi, pasirnya nempel di muka, Yen. Muka gue ini aset, tau!"
Yena akhirnya tertawa terbahak-bahak, membuat Farel tersenyum. "Apa pun itu, gua harus ngaku, lo keren banget, Yen. Kalau nggak ada lo, gua mungkin udah terguling sampai bawah."
"Udah, udah. Lain kali kita ke tempat yang lebih aman aja, ya," kata Yena sambil menepuk bahu Farel.
"Ya, gua setuju. Gimana kalau kita ke pantai aja? Risiko jatuh lebih kecil, kan?"
Yena tertawa lagi sambil menggeleng. "Rel, lo lucu banget."
Setelah akhirnya mereka duduk di sebuah bangku kayu yang menghadap ke pemandangan lembah hijau, Farel masih sibuk mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha membersihkan pasir halus yang masih menempel. Namun, semakin dia mengusap, semakin kotor wajahnya terlihat.
Yena yang memperhatikan dari samping akhirnya menghela napas panjang. Dia membuka tas kecilnya, mengambil selembar tisu basah, dan mendekati Farel tanpa berkata apa-apa.
"Rel, diem bentar," katanya lembut, sambil mengangkat wajah Farel dengan satu tangan.
"Hah? Lo ngapain, Yen?" tanya Farel, bingung.
"Pasir di muka lo masih banyak. Kalau nggak gua bersihin, lo bakal kayak abis mandi debu," jawab Yena, tersenyum kecil.
Farel terdiam, menatap wajah Yena yang terlihat serius. Pergerakan tangan Yena lembut, menyeka bagian pipi, dagu, hingga sisi hidungnya dengan hati-hati. Farel bisa merasakan aroma tisu basah yang segar bercampur dengan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup lebih cepat.
"Yen, serius amat. Kayak ibu-ibu ngerapi'in anaknya sebelum sekolah," goda Farel, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
Yena mendongak, menatap matanya tajam. "Lo bercanda terus, ya? Mau bersih apa enggak, nih?"
Farel langsung terdiam, lalu tersenyum kecil. "Mau, kok. Tapi... gue nggak nyangka lo perhatian banget sama gue."
Yena hanya menggeleng, menahan senyum. "Ya gimana lagi, lo kan nggak bakal bisa ngurus diri sendiri. Kalau nggak gua, siapa lagi yang mau repot?"
Hening sejenak. Angin sepoi-sepoi meniup rambut panjang Yena, membuat beberapa helainya menyentuh wajah Farel. Farel menelan ludah, merasa situasi ini terlalu tenang tapi juga terlalu mendebarkan.
"Udah bersih," kata Yena akhirnya, menarik tangannya setelah selesai. Tapi sebelum dia bisa berdiri, Farel tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.
"Yen," panggilnya dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.
"Apaan lagi?" Yena menatapnya dengan alis terangkat, tapi matanya berbinar lembut.
"Thanks," ujar Farel, singkat tapi penuh makna. "Gua nggak nyangka, lo bisa sepeduli ini. Kadang gua mikir, kenapa gua beruntung banget punya lo..."
Yena tertegun, matanya membesar mendengar kalimat itu. Wajahnya memerah, dan dia buru-buru menarik tangannya dari genggaman Farel.
"Ah, lo lebay! Gua cuma bersihin pasir doang," balasnya gugup, mencoba menghindari tatapan Farel.
Farel tertawa pelan. "Bukan lebay, Yen. Gua cuma... ya, bersyukur aja."
Yena hanya tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke lembah. Namun, jantungnya berdegup kencang. Angin dingin yang bertiup tak mampu menyembunyikan hangatnya perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka.