Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istriku semakin menjadi
Ini sudah malam ketiga kepergian Dias, dan ketiga kalinya pula istriku terbangun tengah malam. Aku jadi semakin penasaran akan kedatangan Dias seperti katanya. Anehnya, dia selalu merasa pintunya di kunci dari luar apabila ia ingin membukakan pintu. Apakah istriku berhalusinasi? Ataukah mimpi berjalan?
Setahuku Eva tidak seperti itu.
Malam ini, tahlilan terakhir di rumah Dias. Aku sengaja pergi sendiri karena aku belum memberitahu Eva tentang kematian Dias.
Masih ku ingat bagaimana Tante Maya hanya duduk menangisi anaknya. Aku ikut merasa sedih membayangkan rasa kehilangan yang sedang ditanggungnya. Membayangkan jika itu adalah aku kehilangan Seina, aku tidak akan bisa.
Begitu pula Mbak Nia dan Gerry. Tapi satu hal yang membuatku terus berpikir, mereka tampak menjaga sekali ucapan mereka, lebih tertutup dan menghindari pembahasan tentang Dias. Terima denganku.
Entahlah.
Yang ku takutkan, mereka menganggap istriku adalah pelakunya. Demi tuhan, aku tidak rela.
Ya, walaupun aku sendiri tidak tahu kejadian sebenarnya, aku takut tiba-tiba polisi datang menangkap istriku. Aku takut berjauhan dengan istriku.
Malam ini aku membawa kunci serep, jadi aku bisa masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dan malam ini, aku ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di setiap tengah malam, mengapa hanya istriku yang selalu terbangun mendengar ketukan dari Dias, bukan aku.
Ku pejamkan mata yang memang sudah terasa berat, meski demikian aku tak berniat untuk tidur, karena jam dinding sudah menunjukkan pukul dua puluh tiga, tiga puluh. Hampir tengah malam.
Lama aku berdiam, aku terus saja berpura-pura tidur sampai pada waktu sudah semakin larut.
Suasana sepi, senyap dan dingin menusuk tulang. Dari kejauhan juga ku dengar suara lolongan anjing yang mengerikan. Entah apa yang sedang mereka lakukan sehingga terkadang seperti berebutan.
Dreettt...
Gerak gelisah istriku, hingga kasurnya king size yang kami tiduri ini bergerak.
Aku berbalik, masih berpura-pura terpejam tapi mengintip.
Istriku terus bergerak gelisah, hingga beberapa saat kemudian dia terbangun, mengucek matanya dan juga menutup telinganya.
Dia menoleh ku sejenak, aku segera merapatkan kelopak mataku, tidak ingin ketahuan kalau aku sedang mengawasinya. Hingga terdengar pergerakan lagi, istriku beranjak dari kasur, lalu keluar dengan langkah sedikit menghentak kesal.
Segera ku ikuti dia, tak mau aku larut dalam rasa penasaran. Aku pun tidak ingin istriku selalu diganggu.
Ku amati gerak-geriknya yang sudah menyingkap tirai jendela.
"Mas, kamu ngapain tiap malam di situ?" teriak istriku, pastilah dia sedang menegur orang yang di anggap Dias.
Tak ada jawaban, tapi sejenak kemudian wajahnya tampak marah. Lalu membuka jendela tersebut. "Bisa nggak ka_"
Brakk!
Ku lihat istriku mundur dengan wajah takut. Jendela yang baru di buka itu seperti di dorong keras dari luar. Dan kemudian Eva mendorong, mengotak-atik jendela, seperti terkunci dari luar.
Ku langkahkan kaki ku pelan, hingga berdiri di belakang istriku yang sibuk mengomel. Ku tatap lurus ke depan, dimana menurut Eva Dias selalu berada di sana.
"Sayang." panggilku, tepat di belakangnya, dia terkejut hingga hampir jatuh terhuyung.
"Mas?"
Aku masih mengamati apa yang sebenarnya terjadi. Rasaku benar-benar terganggu dengan sikap istriku yang tiba-tiba aneh semenjak kepergian Dias.
"Aku gak bohong kan Mas? Itu lihat sahabat mu itu setiap malam berdiri di depan rumah, tengah malam mengetuk pintu rumah mbok Yun. Kalau mau bertamu mengapa tidak di siang hari saja!" Omelnya.
Setelah ku tatap wajah istriku yang benar-benar seperti orang tak waras. Lalu ku alihkan dimana telunjuk Eva mengarah.
Kosong.
"Lho, kemana dia?" Eva bergumam dengan ekspresi bingung.
"Ayo dek, kita tidur lagi."
"Tapi tadi Mas Dias ada di sana Mas!" kekehnya.
Ku ajak istriku masuk ke dalam, tak ku katakan bahwa aku tak melihat apa-apa. Biarlah, besok aku akan mencari tahu lebih jauh lagi, ada apa dengan istriku.
Siang hari ini aku merasa mengantuk sekali, beberapa hari selalu sibuk, siang bekerja malam pun aku tak bisa istirahat dengan tenang. Akhirnya aku tidur sebentar waktu makan siang.
"Begadang ya Sen?" sapa teman kerjaku, kami sudah bekerja di pabrik roti tawar ini sejak enam tahun lalu, jika rekan ku yang lain sudah pindah dan ada juga yang berhenti, tapi kami berdua bertahan di sini dengan alasan jaraknya dekat dengan rumah. Alhamdulillah dua tahun terakhir kami naik jabatan, yang tadinya ngangkat barang kini jadi mandor yang mencatat pengeluaran di gudang.
Aku menarik nafas, lega setelah tidak beberapa puluh menit terlelap. Aku membasuh wajahku dengan air mineral, lalu kemudian meneguknya untuk membasahi tenggorokan.
"Begitu amat punya istri cantik, begadang terus!" temanku yang bernama Hanif itu terus menggodaku, tentulah dia tahu kalau aku ini bucin akut pada istriku. Maunya main setiap malam minimal satu kali.
"Begadang sih Nif, tapi bukan karena main itu." jawabku.
"Lha, terus karena apa?" tanya Hanif, duduk di sampingku tertarik untuk membuka obrolan, dia terkekeh.
Ku ceritakan semua yang ku alami, karena memang hanif salah satu teman yang bisa aku percaya.
"Kenapa tidak mengatakan yang sebenarnya sama istrimu?" kata Hanif, dia menatapku dengan wajah serius.
"Aku ragu Nif, tapi sekarang ini aku juga jadi penasaran. Terlebih lagi ada mbok Yem, dia pulang ke rumah Mbok Yun sejak kejadian itu."
"Mbok Yem siapa lagi?" tanya Hanif.
"Mbok Yem itu tetangga sahabatku, sering juga bantu-bantu di rumahnya."
Seketika wajah Hanif menjadi tegang, dia merubah posisi duduknya dengan serius. "Aku curiga Mbok Yem itu tahu sesuatu tentang sahabatmu itu Sen."
Aku pun mendadak tegang, mengapa Aku tak kepikiran sampai kesitu.
Jadi teringat kata Mbok Yun, Iyem mengigau, menjerit-jerit ketakutan malam itu. Wajahnya juga pucat, seperti ketakutan.
"Kamu benar Nif." kembali duduk menyandar dengan pikiran semakin tumit. "Tapi kenapa Dias hanya memperlihatkan dirinya pada istriku? Apakah istriku ada hubungannya dengan _"
"Kenapa kamu gak tanya orang pinter saja, siapa tahu bisa ketemu jalan keluarnya. Daripada begadang?" kata Hanif.
"Mana tahu aku orang pinter, aku maunya kalau ada ustadz. Ya begitu aku lebih percaya." sahut ku, Hanif pun terkekeh.
"Bukankah adik iparmu bisa melihat hal-hal begituan Sen? Mak Suti sampai mengirimnya ke pondok ketika adik ipar mu masih kecil. Aku saksinya ketika si Zalli dikatain orang gila sama anak-anak, sampai ibunya nangis-nangis!"
"Ya Salam. Kok aku Ndak kepikiran." Aku sampai menepuk jidatku sendiri, bisa lupa sama adik ipar.
"Kamu minta bantuan dia saja Sen, secepatnya kalau bisa." kata Hanif.
Seno tampak berpikir lagi, dia benar-benar dilanda gelisah sejak beberapa hari ini.
"Sebelum istrimu di katain orang gak waras." Kata Hanif lagi, menepuk lengan ku.
Aku bersiap untuk pulang, sekalian mampir kerumah Andin dan Zalli, bila perlu aku akan mengajaknya menginap nanti malam.
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya