Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
After Incident
Adrian termenung dalam diam, tubuhnya masih terasa hampa seolah jiwanya tertinggal di tempat ia menemukan motor Akasia teronggok tak berdaya di pinggir jalan. Saat firasatnya berteriak, ia berlari tanpa peduli, hanya ada satu hal di kepalanya, tak boleh kehilangan Akasia. Rasa takut itu begitu pekat, mencengkeramnya dengan kengerian yang hampir melumpuhkan. Jantungnya mencelos saat mendengar Akasia dilarikan ke rumah sakit. Sejenak, dunianya berhenti. Pikirannya dibayangi kemungkinan buruk yang dapat terjadi, seperti mimpi tergelap yang pernah menghantuinya.
Sensasi mencekam itu mengingatkannya pada tragedi masa lalu, saat suara tembakan yang melesat menggema di dalam gereja, menewaskan wanita yang sangat ia cintai. Kini, ketakutan itu datang lagi, tapi lebih nyata, lebih menyakitkan. Saat itulah Adrian sadar, Akasia bukan lagi sekadar seseorang dalam hidupnya. Ia telah menjadi pusatnya, menggantikan ruang yang dulu diisi Kemuning.
Ia bahkan tak peduli jika orang-orang menatapnya aneh dengan penampilan kunonya, tak peduli bagaimana ia terlihat selama bisa sampai ke Akasia. Maka ketika matanya akhirnya menangkap sosok gadis itu di ruang IGD, masih bernapas, masih bisa berbicara, ia merasakan kelegaan yang begitu besar, hampir seperti ingin roboh di tempat. Namun, ia tak bisa terlihat lemah. Ia menarik napas dalam-dalam, membangun kembali pertahanannya sebelum akhirnya melangkah mendekat, berpura-pura tenang dan kuat.
Padahal, jika Akasia benar-benar pergi, Adrian tahu, jiwanya akan kosong. Kehilangan itu akan terasa sama seperti dulu, membuatnya bertanya, untuk apa ia tetap hidup? Dan kini ia sadar, posisi gadis itu telah menggantikan Kemuning di hatinya.
‘Akasia tak boleh tahu ini.’ Begitu gumamnya dalam hati, sementara tatapannya terpaku pada wajah lelap gadis yang hampir saja membuat dunianya runtuh.
...oOo...
Di ruang rawat VIP Akasia di siang itu, pintu terbuka dan masuklah seorang gadis berjalan bak model. Penampilannya modis dengan blazer ungu dan dress hitam selututnya, sunglassesnya paling menarik perhatian. Dia membawa sekotak bakery dengan penuh gaya. Di belakangnya Endry mengikuti santai bagai kerbau dicucuk hidungnya.
“Hai Selena.” Akasia berinisiatif menegurnya, “Jadi juga kesini? Nggak salah tempat?” Mulutnya gatal untuk menyindir penampilannya.
“Akasia, kasihan banget kamu. Maaf baru datang sekarang.” Selena berkata dengan nada manjanya, “Oh iya katanya kamu suka sweets, ini aku bawain dessert dari Ruby bakery and cake, bakery berkelas tuh.” Dalam kesempatan itu masih sempat ia menyombongkan diri. Ia menaruh kotak dessert di meja sebelah ranjang.
“O iya, udah tahu kok. Emang enak-enak banget, udah sering beli soalnya.” Jawab Akasia sambil tertawa formal, menjatuhkan kesombongan Selena.
“Iya kan? Cromboloni-nya enak kan?” Selena mengetes pengakuannya.
“Red Velvet-nya dong, juara.” Akasia memicingkan matanya yang berkedut, membalas sombong.
“Creme brulee-nya juga lembut banget, creamy gitu.” Selena semakin pamer dengan seringainya.
“Lu harus coba matcha cake-nya juga sih, authentic macha banget.” Akasia masih menjawab dengan sorot mata tajamnya, tidak mau kalah.
“Kalian ngomongin apa sih?” Endry menghentikan obrolan kedua gadis itu yang lebih terdengar seperti pertarungan. Akasia dan Selena memutar bola mata serempak, merasa dihentikan paksa.
“Ini nggak ada kepitingnya kan, Sel?” Akasia menyindir Selena sambil menunjuk kotak dessert yang Selena bawa.
“Oh nggak dong, aman.” Selena meyakinkan, agak kesal disindir begitu.
“Okeh, sekarang gimana kalau kita foto bareng? Teman-teman di sekolah juga khawatir loh sama kamu. Supaya mereka tahu juga keadaan kamu.” Endry mencari cara meredakan ketegangan diantara mereka berdua. Mereka mengambil beberapa foto bertiga dengan Akasia yang terbaring di ranjang rawat. Akasia bersyukur ia mengenakan pakaian yang cukup bagus untuk dilihat.
“Kalau kayak gini kamu gimana mandinya, Kas? Nggak mandi dong ya?” Selena mulai mempermalukan Akasia lagi.
“Tayamum, kebetulan saya mandinya tayamum Bu. Pakai debu gitu kan, kayak hamster.” Akasia menjawab asal menahan kesal. Gadis ini masih saja punya cara mempermalukannya di depan Endry.
“Udah ah, mulut lu kok usil banget sih!” Endry memperingati Selena. Ia disadarkan tidak baik mempertemukan kedua perempuan ini dalam waktu yang lama, apalagi Akasia masih masa pemulihan, sehingga ia memutuskan mewakili sahabat wanitanya itu berpamitan kepada Akasia, “Kalau begitu aku dan Selena pulang dulu ya, supaya nggak ganggu istirahat kamu. Nanti kuenya dimakan ya, aku belinya bareng kok sama Selena, yakin aman.” Endry undur diri, meski sebenarnya ia ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama Akasia disana.
“Oke, terima kasih ya sudah datang, dadah!” Akasia melambaikan tangan kepada kedua orang itu yang akhirnya menutup pintu kamar rawatnya, “Jangan datang lagi ya!” Bisik Akasia pelan terhadap Selena.
“Loh, tadi teman kamu datang ya?” Ibu baru muncul dari pintu saat Endry dan Selena belum lama berlalu, “Yah ibu keenakan nonton TV di ruang tunggu, jadi nggak tahu.”
“Iya, Bu, tapi sebentar aja kok.” Akasia menjawab apa-adanya.
“Wah sampai repot bawain ini segala.” Ibunya menyadari keberadaan kotak bakery di atas meja.
“Gimana kata dokter, Bu? Kapan aku bisa pulang?” Akasia tidak sabar menanti hasil pembicaraan Ibunya dengan dokter.
“O iya, dokter bilang luka luar kamu yang kelihatan paling parah, itu pun syukurnya cuma perlu ditunggu kering. Di tulang kamu bagian pinggul kiri dan bahu kiri memang ada retakan, tapi untungnya nggak parah, nanti dikasih obat buat diminum di rumah. Besok kemungkinan kamu sudah bisa pulang, tapi diperiksa dulu.” Ibunya menginformasikan.
“Soalnya sebentar lagi PENSI Bu, aku mau ikutan.” Akasia berkata dengan tidak sabar.
“Nggak usah pikirin itu dulu lah, kamu sembuh total dulu.” Ibunya menyepelekan.
‘Aku mau ajak Adrian ke PENSI soalnya, pasti seru.’ Akasia tersenyum membayangkan rencananya.
...oOo...
Semalaman Adrian berjaga di sisi Akasia yang tertidur. Diam-diam ia berubah menjadi manusia demi memastikan Akasia baik-baik saja. Ibu Akasia telah terlelap di ruang tunggu pasien, jadi Adrian leluasa mondar-mandir di ruangan Akasia.
Tadi siang ia sempat terkejut melihat Selena yang sering disebut Akasia dalam ceritanya. Anehnya ia sangat mengenal wajah gadis itu. Selena, atau siapapun namanya sekarang, dulu ada yang pernah memiliki wajah itu di masa lalunya, namanya Helen. Ia gadis Belanda yang merupakan anak dari rekan kerja Papanya. Helen dimasa lalu senang sekali mengekorinya dan mengaku menyukainya, tapi tingkah agresifnya itu justru membuat Adrian risih dan selalu berusaha menghindarinya. Papanya justru senang, beliau berharap Adrian bisa melanjutkan kedekatan mereka hingga ke jenjang selanjutnya, karena itu akan menguntungkan perusahaan mereka juga.
Sekarang Helen lahir dalam bentuk baru, aneh rasanya melihatnya mengekori pemuda lain, kali ini Endry targetnya. Tapi kali ini Helen pun seperti terikat takdir dengannya dan Akasia, begitupun Endry. Adrian merasa ikatan takdir ini semakin rumit.
Adrian melihat Akasia merintih dalam tidurnya, ia menghampiri khawatir, mencoba menemukan cara untuk membantu. Ia mengusap-usap kening Akasia hingga gadis itu tenang.
“Tolong bahagialah, setidaknya di mimpimu. Kenyataan hidupmu sudah rumit, jadi bersenang-senanglah di mimpi indahmu. Cepatlah sembuh, jadilah kuat.” Adrian berucap tulus,
‘Andai Tuhan mengizinkan, pasti aku akan mendekapmu dan tidak melepaskanmu lagi.’ Batinnya berkata sambil memandang wajah tertidur gadis itu. Dalam benaknya teringat pertemuannya dengan pemilik toko barang antik yang belum diceritakannya kepada siapapun.
...oOo...
Pasar Baru, Jakarta Pusat, 2015
“Kamu siapa? Auramu aneh. Kamu nggak terlihat seperti orang dari masa ini.” pemilik toko memicingkan mata memandang Adrian. Pemuda Belanda itu terhenyak heran, ‘Apa aku terlihat seaneh itu hingga bisa membuat dua orang biasa lekas menyadari kejanggalanku?’ Ia bertanya-tanya, “Maaf, saya agak sensitif mengenai hal yang umumnya tak terlihat. Mari masuk ke ruangan saya dulu, biar saya buatkan teh disana. Saya ingin mengetahui lebih banyak tentang kamu.” Ajaknya. Pemilik toko antik ini seorang Bapak paruh baya yang terlihat bersahaja dengan brewoknya, kulitnya putih hampir seperti Adrian.
Adrian melangkahkan kaki ragu dan sungkan ke dalam ruangannya, tapi pria itu menyambut dengan penuh kehangatan, “Jangan khawatir, saya juga keturunan Indo-Belanda.” Akunya, “Silakan duduk.” Ia mempersilakanku duduk di sofa di ruangan tertutup yang ada di dalam toko. Adrian duduk menurutinya, lalu pemilik toko menghidangkan teh hangat buatannya.
“Jadi apakah kamu penjelajah waktu?” Tanya bapak itu blak-blakan sambil ikut duduk di hadapan Adrian.
Adrian bingung menjawab tebakannya itu, “Antara iya dan tidak, aku masih disini karena kena kutukan.” Ia membuka diri dengan hati-hati.
“Kutukan?” Bapak paruh baya itu memikirkan kembali, “Nggak heran kalau begitu. Sisi supranatural bangsa ini memang kental.” Ia tampak tidak terkejut.
“Aku sendiri nggak tahu bagaimana menghilangkan kutukannya dan apa yang harus kulakukan.” Pengakuan Adrian, “Apa Bapak tahu apa yang bisa menghilangkan kutukan ini? Apa Bapak pernah mendengar kasus seperti saya?” Tanya Adrian berharap banyak, tampaknya pria didepannya tahu banyak mengenai hal supranatural.
“Pasti menggembirakan kalau kamu bisa menghilangkan kutukan itu sepenuhnya. Saya sendiri nggak tahu penawar kutukannya karena nggak pernah bertemu orang seperti kamu. Tapi kamu perlu tahu apa pantanganmu.” Bapak itu mengatakan, Adrian menegakkan badan karena tertarik. “Kamu ini hidup menentang aturan takdir yang semestinya, melawan garis waktu. Dan keberadaanmu bisa mengacaukan garis takdir orang lain jika kamu berhubungan terlalu intens dengan orang-orang di masa ini. Kalau sekedar pertemanan masih boleh lah, tapi jangan berani-beraninya kamu mencintai orang di zaman ini.”
Bapak itu menatap lekat-lekat wajah Adrian, “Orang-orang yang hidup di masa ini tercipta untuk orang-orang di masa ini, ingat itu! Jika kamu memaksakan hubunganmu dan mengambil jodoh orang di zaman ini, kamu bukan cuma mengacaukan garis jodohnya, tapi bisa juga berdampak pada garis umurnya atau garis nasibnya yang lain, semua akan berubah menjadi kacau seperti efek domino.”
Adrian menelan ludah, napasnya seperti tertahan. Ia mengerti maksud ucapan pria tersebut. Saat itulah Adrian mendengar suara Endry mencarinya. Ia melongok keluar ruangan dan pamit kepada Bapak itu. Pertemuan singkat itu memberi pesan penting kepada Adrian yang membuatnya lebih berhati-hati kedepannya.
semangat /Good/