"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Setelah tiga hari Bri izin tidak masuk kerja karena kondisi kakinya yang masih sakit kini dia mulai beraktiftas seperti biasanya lagi.
Bri duduk di meja kerjanya, di ruang terbuka kantor yang dipenuhi oleh deretan cubicle berwarna abu-abu. Pagi itu, seperti biasa, dia memulai pekerjaannya dengan merapikan dokumen dan mengatur spreadsheet untuk klien-klien yang harus dipersiapkan untuk laporan bulanan. Sebagai akuntan junior di PT. Trikarsa Andalan, Bri telah terbiasa dengan rutinitas ini: menghitung angka, mengecek data, dan memastikan semuanya sesuai dengan standar akuntansi yang ketat. Satu-satunya hiburan dalam hari-harinya adalah secangkir kopi susu hangat dan obrolan ringan dengan rekan-rekan kerjanya.
Namun, pagi itu ada yang berbeda. Sejak awal, Bri merasa ada yang aneh dengan suasana kantor. Beberapa rekan kerjanya terlihat sibuk berbisik-bisik, ada yang terlihat cemas, dan beberapa kali dia melihat mereka melirik ke arah ruang manajer, Pak Yono, dengan tatapan penuh arti. Bri, yang tidak terlalu memperhatikan gosip kantor, memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya saja.
Di meja sebelahnya, ada Dira, rekan kerjanya yang selalu ceria dan tidak pernah absen dari gossip. "Bri, kamu tau tidak? Ada yang baru saja ketahuan," ujar Dira sambil berbisik, matanya menyipit seperti detektif.
Bri hanya menoleh dan mengangkat alis. "Ada apa?"
Dira tertawa, tapi wajahnya sedikit serius. "Ini parah, Bri. Ternyata, Pak Yono, selingkuh sama salah satu anak buahnya. Kau tau siapa?"
Bri mengerutkan kening. "Siapa?"
Dira tersenyum penuh kemenangan, seakan baru saja mengungkapkan rahasia besar. "Si Maya. Kamu tahu kan Maya? Yang selalu duduk di sebelah ruang Pak Yonk. Ternyata mereka berdua udah lama–"
Bri terkejut. Maya? Gadis yang selalu tampak profesional dan sering bekerja lembur? Tidak mungkin! Dia berpikir mungkin ini hanya gosip belaka. Namun, entah kenapa hatinya merasa sedikit cemas.
Pagi itu, suasana semakin tegang. Tiba-tiba, pintu kantor terbuka dengan keras, dan seorang wanita dengan ekspresi marah memasuki ruangan. Bri menoleh, dan melihat sosok wanita itu. Ternyata, itu adalah istri Pak Yono—Ibu Rina, yang wajahnya memerah karena marah. Semua orang terdiam. Suasana yang sebelumnya terasa ringan dan santai berubah menjadi sangat canggung.
Ibu Rina langsung menuju ruang Pak Yono tanpa memperdulikan rekan-rekan yang ada di sana. Bri bisa mendengar suara keributan dari balik pintu ruang manajer. Semua orang di kantor seolah membeku, hanya ada suara riuh dari percakapan yang penuh amarah. Pak Yono tampak terpojok, dan Maya—yang biasanya tenang—terlihat gelisah.
Dira yang duduk di sebelah Bri tersenyum nakal. "Kau tau kan, drama seperti ini hanya ada di film?"
Bri hanya menggelengkan kepala. "Ini bukan film, Dira. Ini nyata dan sangat canggung."
Tak lama kemudian, suara ribut itu semakin keras, dan tiba-tiba Ibu Rina keluar dengan marah, diikuti oleh Pak Yono yang mencoba menenangkan istrinya. "Kau! Kau sudah melampaui batas!" teriak Ibu Rina, suaranya menggema di ruang kantor yang sepi. Untungnya pada saat itu Pak Dirwa sebagai pemegang jabatan tertinggi di kantor sedang cuti karena ada urusan keluarga.
Maya, yang sepertinya tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa terdiam di pojok ruangan. Semua mata di kantor tertuju padanya, sementara Ibu Rina terus melontarkan kata-kata tajam. Bri tidak tahu apakah harus merasa kasihan atau malah merasa geli dengan situasi yang sangat dramatis ini.
Tiba-tiba, Dira, yang sepertinya tidak bisa menahan diri, berbisik lagi kepada Briana. "Kau dengar? Ibu Rina tahu semua, Bri. Bahkan tahu soal makan siang bareng Pak Dimas yang katanya 'meeting'. Tapi jelas-jelas cuma makan berdua saja!"
Bri hanya bisa tertawa kecil. "Kalian memang punya waktu untuk hal-hal seperti ini, ya? Sementara aku harus menyelesaikan laporan ini."
Namun, tiba-tiba, suasana tegang ini diselingi oleh suara tawa dari ruang depan. Ternyata, beberapa rekan kerja yang biasa menghabiskan waktu di pantry kantor, termasuk Rian yang terkenal dengan kelucuan dan obrolan santainya, mulai memperburuk suasana. "Wah ini lebih seru dari pertengkaran tetanggaku yang ketahuan kawin lagi," katanya sambil tertawa.
Bri pun tidak bisa menahan tawa. "Jangan kencang-kencang, mereka bisa dengar nanti."
Suasana mulai mereda setelah beberapa menit, meskipun ketegangan masih terasa di udara. Bri yang sedang sibuk memutar-mutar pulpennya tiba-tiba benda itu terlempar dan terjatuh tepat di depan pintu ruangan Pak Yono, Bri tanpa banyak berpikir langsung bergegas mengambil pulpennya dengan posisi setenga berjongkok di depan pintu ketika Ibu Rina keluar dari kantor dengan wajah masih merah menatapnya dengan tajam. Bri menelan ludah terpaku dengan tangan yang tergantung di udara, dia berharap bumi segera melahapnya saat itu sampai ke inti.
Bri berdiri tegak dan berbalik menatap tembok yang kosong, sementara Pak Yono mengikuti istrinya yang telah berlalu dengan raut wajah penuh penyesalan. Maya pun segera pergi tanpa berkata apa-apa.
Bri menghela napas lega dan kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaannya. Namun, dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa rekan kerjanya tampak sedikit cemas, tetapi di sisi lain, ada yang tertawa melihat bagaimana kejadian itu mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan.
"Nyaris." Dira nenahan tawanya melihat kejadian tadi.
Dira mulai, "Kau pasti penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di dalam kan?"
Bri mengangkat bahu dan tertawa. "Drama kantor sudah cukup menghibur, Dira. Tapi kerja tetap kerja."
Namun, beberapa jam kemudian, situasi di kantor terasa sedikit lebih ringan, meskipun gosip tentang Pak Yono dan Maya terus beredar. Bri tidak bisa menghindari pikirannya yang terus kembali pada kejadian pagi itu. Di satu sisi, dia merasa kasihan pada Ibu Rina. Di sisi lain, dia juga merasa aneh dengan perilaku Pak Yono yang seharusnya menjadi panutan di kantor. Dan satu hal dia berdoa semoga Pak Yono tidak memperhatikan hal tadi yang ia lakukan karena takutnya itu menimbulkan kesalahpahaman.
Ketika hari berakhir, Bri merasa sedikit lega. Meskipun hari itu penuh dengan kejutan, setidaknya dia masih bisa pulang dengan rasa humor yang tak tergoyahkan dan perasaan bahwa drama kantor ini belum berakhir.