Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Ujian Tak Terduga
Setiap pagi Kirana selalu bangun sebelum matahari terbit. Desa Sekawan yang masih dilingkupi udara dingin selalu menyambutnya saat dia mulai menyiapkan sarapan. Tangannya yang selalu cekatan memotong sayuran dan menyiapkan berbagai macam bumbu. Kirana juga mengeluarkan ikan gurami dari dalam kulkas. Hari ini dia berencana memasak pepes ikan gurami dan tumis kangkung sambal terasi. Dia juga menyiapkan tahu dan tempe yang akan digorengnya. Biasanya hanya tahu dan tempe goreng yang tersisa untuknya, sedangkan keluarga yang lainnya makan makanan yang lain. Padahal dia yang memasak, entah mengapa dia hanya mendapatkan makanan ala kadarnya. Sebenci itukah Bibi Tari kepada dirinya? Pikirannya melayang sambil membungkus pepes yang sedang dibuatnya.
Harum aroma masakan memenuhi rumah. Kirana dengan sigap segera mempersiapkan meja makan dan meletakkan masakan yang telah selesai dibuatnya di meja makan. Dia juga menyiapkan air minum bagi anggota keluarga itu. Ia memastikan semua siap sebelum anggota keluarga lain duduk untuk menikmati sarapan yang dia buat.
Setelah selesai menyiapkan sarapan di meja makan, Kirana lanjut membereskan rumah dan merendam pakaian kotor yang nanti sore akan dicucinya. Setelah selesai membereskan rumah dan menyiapkan sarapan di meja makan, Kirana bergegas mandi dan bersiap ke sekolah. Ia mengenakan seragam SMP-nya yang sederhana dan rambut panjangnya dikepang dua yang diikat dengan rapi.
Di meja makan, Bibi Tari, Paman Budi, Rara dan Arif sudah selesai sarapan dan hanya meninggalkan beberapa lauk saja. Hanya tahu, tempe dan tumis kangkung yang tersisa. Tidak ada pepes gurami yang dia buat dengan susah payah. Kirana keluar kamar dan melihat itu, hanya bisa mengelus dadanya. Kirana menatap meja makan itu lama, dadanya sesak, tapi dia menelan kesedihannya dalam hati.
“Sabar… Sabar…’” hanya itu yang ada di hatinya.
Tanpa banyak bicara, karena Kirana tidak ingin telat sekolah, Kirana tidak sarapan di rumah. Dia membungkus sarapannya dengan kertas minyak dan memasukkannya ke dalam tas. Kirana berharap nanti sampai di sekolah dia bisa memakan sarapannya. Kalau tidak dia akan memakan sarapannya pas jam istirahat. Kemudian dengan tas yang sudah dipenuhi buku, Kirana hendak melangkah keluar rumah, namun suara Bibi Tari menghentikannya.
“Kirana!” suara tajam Bibi Tari menghentikan langkah Kirana.
Kirana berbalik, “Iya Bi… ada apa Bi?”
“Kamu sudah cuci piring? Jangan kira kamu bisa kabur setelah mengambil makanan,” hardik Bibi Tari seraya memandang tajam Kirana.
Kirana mengangguk. “ Sudah Bi… Semua sudah bersih Bi.”
Bibi Tari melipat tangannya di dada. “Nanti sore jangan lupa mencuci dan menjemur pakaian. Ingat jangan sampai kamu main sampai sore. Jangan hanya tahu makan dan sekolah saja!”
Kirana menunduk, menahan air mata yang menggenang di sudut matanya. “Iya Bi…”
Tanpa menunggu lebih lama, Kirana segera keluar dari rumahnya dan hendak berjalan kami menuju sekolah yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumahnya. Di halaman rumah, Kirana melihat Paman Budi akan mengantar kakaknya menggunakan motor di SMA yang juga ada di sebelah desanya. Sedangkan adik sepupunya Arif, berangkat ke sekolah dibonceng oleh temannya menggunakan sepeda. Arif sekarang ada di kelas VIII di SMP yang sama dengan Kirana.
Ia menarik napas panjang dan mulai melangkah. Jarak sekolah dengan rumahnya memang hanya satu kilometer, namun pagi yang dingin dan perut yang kosong membuat perjalanan tersebut terasa lebih berat dari biasanya. Kirana melangkah dengan pelan, namun dengan tekad yang kuat. Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Ia akan menghadapi semuanya dengan sabar dan senyum yang selalu berusaha dia pertahankan. Di sekolah nanti, mungkin akan terasa lebih ringan. Setidaknya di sana dia tidak sendiri. Ada sahabatnya yang selalu menemani dan menghiburnya. Sahabatnya bernama Ririn, satu kelas dengan dirinya. Ririn anak dari keluarga sederhana, namun dia masih memiliki ayah dan ibu. Kadang-kadang Kirana main ke rumah Ririn, dan di sinilah dia seperti mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, karena ayah dan ibu Ririn sangat sayang sama Kirana. Hal ini karena Kirana anak yang rajin, baik hati dan pintar.
Di sekolah, Kirana dikenal sebagai siswa yang pintar dan cantik, namun tetap rendah hati. Para guru dan teman-temannya sering memujinya, bahkan teman-temannya menghormatinya. Namun demikian Kirana tidak pernah menyombongkan dirinya, hal ini karena kehidupannya yang tidak lebih baik dari teman-temannya yang lain.
Setelah aktivitas sekolah yang dijalaninya dan bel pulang sekolah telah berbunyi, Kirana dan sahabatnya, Ririn, berjalan pulang bersama. Mereka berjalan beriringan, saling bercanda, tertawa, dan bercerita tentang pelajaran hari ini, menikmati kebersamaan mereka.
Namun ketenangan mereka tiba-tiba terganggu dengan kedatangan gerombolan anak SMA yang menghadang mereka di tengah jalan. Mereka ternyata adalah teman-teman Rara, kakak sepupu Kirana. Dan Rara sendiri ternyata ada di antara mereka, dan tersenyum sinis melihat keberadaan Kirana di sana.
“Hei Kirana… cepat pulang…! Ingat cuci pakaian kotorku! Jangan mencoba menggoda teman-temanku,” suara Rara terdengan tajam dan penuh hinaan.
“Ooooo… ini babu di rumahmu itu ya Ra….? Cantik juga…,” kata salah satu teman Rara.
Kirana menahan napasnya dan mencoba tetap tenang. Ririn yang ada di sampingnya, meremas tangan Kirana untuk memberi dukungan kepada Kirana walaupun tanpa kata-kata.
“Jangan pedulikan mereka, Kirana… Ayo kita cepat jalan pulang,” bisik Ririn.
Tapi Rara tidak membiarkan Kirana dan Ririn pergi. “Tunggu dulu… Ingat kamu cuma babu di rumahku… Masih untung keluargaku masih memberimu makan… Cepat pulang dan kerjakan pekerjaanmu di rumah!”
Gerombolan teman Rara tertawa dan menikmati hinaan Rara kepada Kirana. Kirana menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai bergolak di dadanya. Matanya sudah berkaca-kaca menatap Rara dan teman-temannya, namun berusaha keras untuk tidak menangis.
“Ayo Rin, kita pulang,” kata Kirana pada akhirnya dengan suara bergetar dan mencoba untuk tetap tenang.
Ketika Kirana dan Ririn hendak melangkah, tiba-tiba salah satu anak cowok yang tampaknya paling berkuasa di antara mereka, menghalangi jalan Kirana dan Ririn. “Mau kabur kemana cantik…? Temani kita jalan yuk…,” kata anak itu yang bernama Anto dengan nada mengejek dan tersenyum sinis.
Kirana menatap tajam Anto dan berkata dengan suara tenang namun tegas, “Aku tidak ada urusan dengan kakak. Tolong minggir.”
Anto terkekeh, “Sok berani sekali kamu. Tapi galak-galak begini tetap cantik. SMP saja sudah cantik seperti ini, gimana nanti kalo sudah SMA ya? Pasti tambah cantik… ha… ha…ha…. Ayo temani kami sebentar, nanti kami kasih uang buat beli skincare biar wajahmu makin tambah cantik nanti…. ha… ha… ha…” Anto berkata sambil tersenyum penuh arti sambil mendekati Kirana yang semakin membuat Kirana tidak nyaman.
Kirana dan Ririn berusaha menghindar. Namun gerombolan cowok yang dipimpin Anto mengelilinginya. Ririn memegang erat tangan Kirana dan wajahnya penuh dengan ketakutan.
“Kak Rara, tolong Kirana…,” Kirana memohon kepada Rara untuk membantunya, namun Rara hanya tertawa.
“Nikmati saja Kirana… Mereka cuma bercanda,” kata Rara sambil melipat kedua tangannya di dada dan Rara sepertinya menikmati situasi ini.
Salah satu cowok SMA itu mencoba menyentuh rambut Kirana. “Ayo dong, kita cuma mau kenalan. Jangan jutek seperti itu.”
Kirana dan Ririn berusaha melepaskan diri dari kepungan gerombolan anak SMA itu, namun apa daya tenaga dan jumlah mereka kalah jauh dan sungguh kebetulan lagi, jalanan lagi sepi dan tidak ada yang bisa membantu mereka.
Beberapa cowok itu mulai menarik mereka dan menaikan Kirana dan Ririn ke atas motor mereka. Mereka berniat membawa Kirana dan Ririn ke arah tepian danau yang sepi dan jauh dari keramaian. Kirana dan Ririn berusaha berteriak minta tolong, namun tidak ada yang mendengar teriakan mereka.
“Tolong… tolong… tolong kami…. Jangan bawa kami kak…” Kirana dan Ririn menangis dan berusaha memukul cowok yang membonceng dan memegangi mereka. Namun tenaga mereka kalah jauh dari gerombolan itu.
Sementara itu, Rara dan teman-teman ceweknya bergegas pulang dan tidak peduli dengan keadaan Kirana dan Ririn. “Biarkan saja mereka dinikmati oleh teman-temanku,” batin Rara seraya tersenyum jahat.
Di atas motor, Kirana dan Ririn terus berusaha melawan walaupun tenaga mereka terkuras habis. Hati Kirana dan Ririn dipenuhi ketakutan dan keputusasaan. “Hiks… siapa yang akan bisa menolong kami?” jerit hati Kirana. “Tuhan mohon selamatkan kami…” doa Kirana di dalam hatinya.
Kirana dan Ririn tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun mereka tetap berdoa semoga ada yang menyelamatkan mereka. Namun satu hal yang Kirana tahu, ia harus tetap kuat untuk dirinya dan Ririn.
Bagaimana kisah selanjutnya...? Ikuti bab selanjutnya...