"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ini Hanyalah Malam Menyakitkan
Aku keluar dari kamar mandi, disambut oleh kehadiran Niklas yang masih di kamar. Kalau dia tetap di sini, bukankah dia memang ingin melakukannya sekarang? Bukankah terlalu cepat untuk berhubungan badan dengan wanita lain sedangkan istrinya belum lama meninggal?
"Lebih cepat, lebih baik," kata Niklas seakan-akan bisa membaca isi pikiranku.
"Apa yang kamu pikirkan, Niklas? Istrimu belum lama meninggal dan kamu ingin tidur dengan perempuan lain? Apa kamu nggak memikirkan Elma?"
"Jangan menceramahi saya, Tsania. Tahu apa kamu tentang saya?"
Pertanyaan Niklas membuatku terkejut. Aku menatapnya selama sekian detik. Tahu apa aku tentang dia? Ya, memang tahu apa aku tentang Niklas setelah sekian lama aku membiarkan dia menjadi milik kakakku? Aku hanya bagian kecil dari kenangan Niklas yang sudah dibuang jauh-jauh dalam ingatannya.
"Dengar ya, saya di sini hanya untuk memenuhi keinginan orang tua saya. Kamu tidak perlu terbawa terbawa perasaan atau apa pun itu. Kamu hanya perlu mengandung anak saya," imbuh Niklas.
"Nggak perlu dijelaskan berkali-kali. Aku memang alat yang ingin kalian manfaatkan. Oh, baiklah aku tidak harus protes seperti ini. Karena ini hukuman untukku."
Niklas tidak merespons ucapanku dan duduk di tepi ranjang. Sepasang matanya mengamati aku dari ujung kaki hingga kepala. Sementara aku merasa gugup ditatap seperti itu.
Baiklah, pikirku. Aku hanya perlu memejamkan mata, tak usah menatap Niklas, menghindar dari tatapannya saat melakukan hubungan intim, lalu semuanya selesai. Oh, Tuhan! Tak pernah kubayangkan malam pertama pernikahanku akan semenyakitkan ini. Apalagi melakukan dengan lelaki yang sudah lama ingin aku singkirkan dalam kenanganku.
Dengan langkah pelan, aku naik ke ranjang dan berbaring di sisi kanan. Rasanya sangat asing dan canggung. Sementara punggung lebar Niklas membelakangi, aku mengamatinya lamat-lamat. Perasaanku nyeri mengingat segala macam kenangan yang berkelebat.
"Jujur saja, Tsania. Kamu juga masih menginginkan Niklas, 'kan?"
Tiba-tiba aku teringat ucapan Tante Julia. Aku menggeleng, mengusirnya jauh-jauh. Tidak! Mana mungkin aku menginginkan Niklas?
"Kamu bisa keluar dan pikirkan lagi, Niklas. Aku akan tidur," ucapku. Karena lebih baik kami tidak melakukannya malam ini. Rasa canggung mengelilingi kami.
"Bukan kamu yang berhak mengatur apa pun di sini, Tsania," kata Niklas seraya menoleh ke arahku. Dia naik ke ranjang dan mendekatiku saat aku bangkit menatapnya. "Kita lakukan tanpa melibatkan perasaan apa pun. Saya ingin semuanya cepat selesai."
"Kamu gila, Niklas," gumamku yang nyaris tidak terdengar.
"Ya, dari dulu. Kamu pikir karena siapa saya menjadi gila seperti ini?"
Aku tersentak oleh pertanyaannya. Kutatap lamat-lamat kedua mata Niklas yang teduh dan menyimpan banyak luka. Perasaanku kembali terasa nyeri; akulah ... akulah yang melukainya.
Demi memutus ingatan tentang kenangan lama, aku melengos ke samping. Tangan Niklas terasa dingin saat menyentuh bahuku. Aku kembali menatapnya. Kami berbagi tatapan selama sekian detik.
Ingat, San ... jangan terbawa perasaan. Aku berusaha mengingatkan diri sendiri.
Ketika bibir Niklas menyentuh bibirku, aku terpaku di tempat. Ciuman ini membawaku melanglang jauh membongkar semua kenangan yang telah kami lewatkan. Aku memejamkan mata, mengusir kenangan dan memang tidak mau menatap wajah Niklas. Tubuhku perlahan rebah, Niklas berada di atasku. Ciumannya berubah kasar, aku mencengkeram lengannya.
Mata kami terbuka saling memandang satu sama lain. Napas kami berderu, Niklas tidak melepaskan tatapannya dariku. Dia membuka kaosnya yang tipis, hingga tubuh bagian atas Niklas terekspos sempurna. Aku menoleh ke samping, tidak mau menatapnya lama-lama.
"Apa yang kamu pikiran, Tsania?" tanya Niklas.
"Apa maksudmu? Tentu saja aku memikirkan Elma. Kenapa dia membuatku menjadi sangat jahat seperti ini? Tidur dengan lelaki yang sangat dia cintai? Ini benar-benar gila," jawabku.
Niklas tidak meladeni ucapanku. "Ayo kita selesaikan," katanya.
Aku melepas tanganku yang mencengkeram bahunya. Niklas kembali mencium aku dengan lebih panas. Semua kain yang menutupi tubuhku perlahan lepas. Begitu pula Niklas. Ini benar-benar memalukan.
Mataku memanas ketika kami sampai pada apa yang seharusnya dilakukan. Niklas bergerak di atas tubuhku dan aku tidak merasakan kebahagiaan apa pun. Bulir cairan asin keluar dari sudut mataku. Aku mengigit bibir, berusaha untuk tidak menangis kencang atau mendesah untuknya. Aku menghindar dari tatapan Niklas untuk ke sekian kali.
"Tsania ...." Ia mengerang lembut di tengah permainan kami. "Buka matamu dan lihat saya," pintanya.
Sesuai titahnya, aku membuka mata. Kulihat wajah Niklas yang memerah dan memacu gerak tubuhnya. Sementara aku hanya bisa menatapnya dengan lesu, menahan diri untuk tidak mendesah karena itu berarti aku menikmati permainan ini. Niklas menunduk dan mengecup keningku. Aku meremas seprei dengan kuat; bukan lagi karena permainan kami, tetapi karena perasaanku yang nyeri.
"Jujur saja, Tsania. Kamu juga masih menginginkan Nikas, 'kan?" Kata-kata Tante Julia kembali terdengar.
Air mataku merebak seketika, kutatap Niklas lamat-lamat. Dia masihlah Niklas yang sama; Niklas yang membuatku jatuh cinta; Niklas yang aku lukai; Niklas yang harus aku relakan bersama Elma. Lalu, dialah Niklas yang membenciku.
"N-Niklas ...," ujarku dengan suara parau.
"Sudah saya bilang, jangan terbawa perasaan, Tsania." Niklas menatapku yang tiba-tiba menangis.
Mungkin dia tahu bahwa sekarang kenangan lama kami muncul dalam ingatanku. Aku memejamkan mata rapat-rapat, membiarkan air mataku mengalir deras. Kata-kata Niklas melukai perasaanku; dia terdengar sangat jahat.
Sampai akhirnya kami mencapai puncak dari persetubuhan ini. Niklas mengerang kecil seiring tubuhku yang sedikit membusung ke atas. Seluruh tubuhku terasa sakit dan lemas. Niklas menyingkir ke samping, deru napasnya terdengar. Aku menyamping, enggan melihatnya.
"Kamu benar-benar terbawa masa lalu ya, Tsania?" tanya Niklas.
Aku tidak menjawab, hanya menarik selimut dan mengubah posisi menjadi menyamping. Perasaanku masih terasa sangat sakit dan air mataku berderai makin deras. Andai tidak ada Niklas, aku pasti sudah terisak kencang. Aku tidak mau menangis kencang di depan Niklas atau dia akan makin merendahkan aku.
"Terserahlah, itu memang balasan untukmu. Saya tidak peduli dengan perasaan atau apa pun yang kamu rasakan malam ini," imbuh Niklas.
Kurasakan sedikit gerakan, mungkin Niklas bangkit dari posisinya. Suara langkah kaki terdengar menjauh. Aku berbalik, melihat Niklas yang sudah memakai celana panjangnya menuju kamar mandi. Tubuh kekar Niklas menghilang di balik pintu kamar mandi.
Kepergian Niklas membuat tangisku makin deras. Aku terisak samar sambil meringkuk di atas kasur. Hatiku seperti diinjak-injak kasar oleh kaki tak bertuan. Bahkan setelah kematiannya, Elma tetap membuatku merasakan sakit; menjajah dan membuatku seperti wanita jahat.
"Kenapa kamu melakukan ini, El? Kamu bilang kamu menyayangi aku seperti adik kandungmu sendiri, lalu kenapa? Kenapa? Kamu pikir aku senang jika kamu menyerahkan Niklas lagi padaku? Kamu pikir hal-hal indah di antara aku dan Niklas akan kembali seperti dulu?" Aku menggeleng selama sekian detik. "Tidak, Elma. Ini hanyalah malam yang menyakitkan."