NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:565
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 13

Kicauan burung menyambut langkah Kelompok Monasphatika dan Pasukan Badung yang sedang bergerak menuju Kota Tabanan. Udara pagi hari yang menusuk perlahan menjadi lebih bersahabat ketika sang surya memancarkan sinar hangatnya.

Meski tubuh mereka masih menanggung banyak luka imbas pertempuran kemarin, semangat mereka terasa membara. Dua kelompok yang semula bertarung satu sama lain, kini sedang berjalan bersama menyusuri jalur berhutan untuk memberikan Cipta, sang Bupati Tabanan, sebuah kejutan yang tak terduga.

Para warga desa, yang kemarin turut bertempur di bawah komando Indra, juga ikut serta. Sebenarnya, Indra sudah melarang mereka untuk ikut. Akan tetapi, perasaan kesal warga desa sudah tidak bisa dibendung lagi.

Mereka ingin bertatap muka dengan Cipta untuk mengutarakan isi hati yang telah lama terpendam. "Kami tidak akan diam lagi!" Seru salah satu warga desa saat Indra melarang mereka untuk ikut dini hari sebelumnya.

Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu tiga jam, kini molor menjadi lima jam. Luka-luka di tubuh mereka membuat setiap langkah terasa berat. Akan tetapi, tekad mereka jauh lebih kuat daripada rasa sakit yang dirasakan.

Meski harus beberapa kali berhenti untuk mengistirahatkan badan yang belum pulih, mereka terus melanjutkan perjalanan tidak peduli apa pun yang terjadi.

Saat tiba di gerbang kota, Pasukan Keamanan Tabanan yang sedang berjaga menyambut mereka dengan wajah-wajah penuh keheranan dan ketidakpercayaan. "B-bagaimana mungkin? Mereka kembali dengan lebih banyak orang, bahkan warga desa juga ikut serta!" Salah seorang penjaga bergumam dengan nada sedikit ketakutan.

Aryandra menghentikan langkah kudanya, lalu menyapa mereka dengan suara yang tegas dan berwibawa. "Biarkan kami lewat. Bupati Cipta sudah mengatakan bahwa ia akan menyetujui perjanjian ini setelah kami berhasil mempertahankan wilayahnya di ujung utara Kecamatan Penebel."

Salah seorang penjaga mencoba menolak dengan garang. "Tidak bisa! Bupati Cipta sedang tidak berada di posisinya saat ini!"

Tiba-tiba, Indra mengeluarkan pistol dari balik jubahnya, lalu menodongkannya ke dahi penjaga itu. "Biarkan kami lewat dan panggil Bupati tololmu itu." Ujarnya dengan nada penuh ancaman.

Penjaga itu terdiam, lalu mengangguk patuh. Mereka pun diizinkan masuk dan dituntun menuju kantor Bupati Tabanan. Salah seorang penjaga segera memacu kudanya menuju kediaman Cipta untuk melaporkan kedatangan Pasukan Badung, Monasphatika, serta para warga.

Di tengah perjalanan menuju kantor Bupati, Aryandra memecah keheningan dengan tawa kecil.

"Kau memang jago memaksa orang, ya. Selain itu, sepertinya kau menyembunyikan banyak senjata di balik jubah itu." Ujarnya pada Indra dengan senyum hangat.

Indra tersenyum tipis, lalu membalas. "Pelajari itu, kawan. Sebagai pemimpin, kau akan membutuhkannya suatu hari nanti."

...***...

Tak lama setelah mereka tiba di halaman Kantor Bupati Tabanan, Cipta muncul dengan wajah baru bangun tidur. Rambutnya acak-acakan, meski bajunya terlihat rapi. Ia baru saja terbangun dari tidurnya, terlihat dari mata yang masih sembab dan cara berjalan yang sempoyongan.

Cipta terkejut melihat Aryandra dan Pasukan Badung sudah berdiri di hadapannya. Ia tidak menyangka bahwa dengan luka-luka yang begitu parah, mereka masih mampu kembali ke Tabanan. "Tidak mungkin! B-bagaimana bisa?!" Gumamnya diiringi rasa was-was yang mulai menggerogoti pikirannya.

Dengan langkah gontai, Cipta menghampiri Aryandra. "Se-selamat datang kembali, Aryandra." ujarnya terbata-bata, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "K-Kau terlihat kacau sekali setelah berperang di sana. Dasar penjarah sialan, merepotkan saja, ya. Ahahaha."

Tawa Cipta terdengar canggung. Selain itu, ia sama sekali tidak menyadari bahwa kelompok yang ia sebut "penjarah" itu justru berdiri tepat di belakangnya.

Tiba-tiba, Indra muncul begitu saja dari belakang dan menodongkan pistolnya ke kepala Cipta. "Oi, cebol, perhatikan omonganmu itu." Ujar Indra dengan nada dingin. "Orang yang kau ejek tadi ada di sini, lho."

Wajah Cipta seketika berubah pucat. Tubuhnya seakan membeku hingga membuatnya tidak bisa menoleh ke belakang. "S-Siapa—" Suaranya tercekat, seperti terperangkap dalam ketakutan.

Aryandra melangkah maju untuk menengahi situasi yang mulai memanas. "Sudahlah, Indra. Kita datang untuk membuat perjanjian, bukan untuk berperang lagi." Ujarnya dengan suara tenang namun penuh wibawa.

Indra menghela napas, lalu menyimpan pistolnya. Dengan senyum jahil, ia memperlihatkan bahwa pistol itu kosong. "Tenang aja, ini nggak ada pelurunya kok." Ujarnya sambil tertawa seperti anak nakal. "Maaf, ya, cebol. Aku hanya bercanda sedikit tadi. Hihihi."

Cipta masih terlihat ketakutan, tetapi ia mencoba menenangkan diri. Aryandra kemudian menatapnya dengan tatapan tajam, seolah bisa menembus jiwa.

"Pak Cipta," Panggil Aryandra dengan suara tegas. "Pihak Badung sudah berhasil mempertahankan wilayah Anda. Aku juga telah membawa pihak yang 'menyerang' wilayahmu kemarin. Mereka akan ikut dalam pembuatan perjanjian ini karena mereka adalah salah satu pihak yang dirugikan. Jadi, mari kita buat perjanjiannya."

Aryandra kemudian menoleh ke arah warga desa yang ikut bersamanya. "Selain itu, para warga desa yang sempat 'diserang' kemarin juga datang untuk mengutarakan aspirasi mereka. Setelah perjanjian selesai, tolong dengarkan lah mereka."

Kening Cipta berkerut dan wajahnya memerah karena kesal. Niatan untuk menghabisi Aryandra saat ia kembali dalam kondisi terluka, tiba-tiba lenyap ke dasar hatinya. "Sialan! tak kusangka mereka sekuat ini." Ucap Cipta di benaknya. "Jika aku nekat memicu pertempuran, pasukanku pasti akan kalah."

Di tengah lamunannya, Citpa tiba-tiba dirangkul oleh Luthfi dan Chakra dengan gaya yang sedikit mengejek. "Ayo, cebol," Ujar Chakra dengan senyuman jahil. "Tunjukkan kami di mana tempat yang kondusif untuk menyusun perjanjiannya."

Cipta mengangguk patuh dengan wajah yang masih dipenuhi ketakutan. "O-oh, i-iya. Ikuti aku." Ujarnya dengan suara lemah, lalu berjalan didampingi oleh Luthfi dan Chakra.

...***...

Setelah berjam-jam menyusun perjanjian tertulis, mereka akhirnya berkumpul kembali di halaman Kantor Bupati. Matahari sudah mulai condong ke barat, menebarkan cahaya keemasan yang menyelimuti suasana perpisahan. Ketiganya memegang erat selembar kertas yang berisi klausul-klausul perjanjian sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka capai.

Indra melangkah mendekati Cipta dengan mata menyiratkan ancaman yang tersamar. "Ingat, ya, Cebol," Ujarnya dengan nada tegas. "Wilayah Desa Batunya di Kecamatan Baturiti akan tetap menjadi milikku sampai kau berhasil mengganti rugi kerusakan yang kau timbulkan di Pancasari."

Cipta mengangguk pelan dengan wajah terlihat tenang meski hatinya bergolak. "Iya, aku mengerti. Tapi ingat, proses ini akan berjalan lancar hanya jika Badung tetap melindungi kami dengan 500 orang pasukannya." Balasnya sambil menekankan poinnya sendiri.

Aryandra, yang berdiri di antara mereka, melangkah maju. "Baiklah, semua akan berjalan lancar jika kalian mau kooperatif. Ingat, pelanggaran terhadap perjanjian ini berarti mendeklarasikan perang kepada Badung dan aliansinya." Ucapnya lantang dan penuh wibawa.

Keduanya mengangguk, menunjukkan kesediaan mereka untuk bekerja sama. Meski begitu, ketegangan masih terasa di udara, seolah setiap kata yang diucapkan bisa memicu percikan api baru.

Setelah saling memberikan salam perpisahan, Indra dan Aryandra berangkat menuju wilayah mereka masing-masing. Sementara itu, Cipta tetap berdiri di halaman untuk mendengarkan aspirasi rakyatnya yang sudah menunggu sejak tadi. Wajahnya terlihat lelah, tetapi ia tahu ini adalah konsekuensi dari kelakuannya.

Saat tiba di sebuah pertigaan, Aryandra dan Indra berhenti sejenak. Mereka saling berpandangan, seolah ingin tahu isi pikiran satu sama lain. "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Tanya Aryandra dengan suara lembut yang penuh rasa ingin tahu.

Indra menghela napas, lalu menatap jauh ke arah langit. "Entahlah," jawabnya, "aku rasa aku akan bertahan hidup dan mencoba mengganti kerugian yang kau alami akibat seranganku kemarin."

Aryandra tersenyum hangat ketika mendengar keseriusan Indra dalam menjalani perjanjian mereka. "Aku rasa, dalam waktu dekat, kami akan terjun lagi ke medan pertempuran." Ujarnya sambil menoleh ke arah Alex dan pasukannya yang sedang menunggu di belakangnya.

Indra mengangguk dengan wajah serius. "Aku tahu. Doa terbaik dariku untuk kemenanganmu.” Ucapnya datar, namun penuh ketulusan.

"Terima kasih." Balas Aryandra hangat.

“Keselamatan wilayah Buleleng secara tidak langsung ada di tanganmu, Aryandra. Aku mohon, menangkanlah pertempuran itu." Tambahnya lagi dengan suara yang penuh harapan.

“Aku mengerti. Serahkan semuanya padaku!” Sahut Aryandra penuh tekad dan keyakinan.

Mereka kemudian berpisah, masing-masing menuju jalan yang berbeda. Langkah mereka terasa berat, seolah membawa beban baru yang tak terlihat. Namun, mata mereka tetap optimis untuk menghadapi segala sesuatu yang akan datang.

Tiba-tiba, suara Luthfi memecah keheningan. "Oi, Hulk Albino!" Teriaknya memanggil Alex. "Kalau kita ketemu lagi, aku akan tendang selangkanganmu lebih keras! Hahaha!" Ucap Luthfi bercanda.

Alex, yang sedang berjalan menjauh, menoleh ke belakang. Wajahnya menyunggingkan senyum yang menantang. "Bacot! Aku juga akan membantingmu lebih keras lagi!" Balasnya dengan nada bercanda.

Tawa mereka menggema di udara, menghilangkan ketegangan sejenak. Akan tetapi, di balik candaan itu, tersimpan tekad untuk saling membalas jika bertemu lagi di medan pertempuran yang berbeda.

...***...

Sesampainya di Buleleng, bukan sambutan hangat yang mereka terima, melainkan omelan keras dari Kiara. Suaranya yang nyaring terasa menusuk telinga seperti sebuah petir yang menggelegar. Indra yang duduk santai di meja lesehan, hanya menanggapi omelan Kiara dengan tenang sambil menyantap ayam bakar dan menyeruput air hangat.

“Gimana, sih, Indra!” Teriak Kiara dengan mata yang menyala-nyala. “Kau sudah perang sampai babak belur gini, tapi malah mengembalikan desa itu ke pihak Tabanan lagi? Apa maksudmu?!”

Indra mengunyah perlahan, lalu menjawab dengan santai. “Yah, begitulah.”

Kiara menjadi semakin panas mendengar respon Indra yang ogah-ogahan. “Bego banget, sih! Harusnya kau bilang kalau kau nggak mau melepas wilayah itu, dong!” Bentaknya dengan suara yang nyaris memecahkan gendang telinga.

Indra mengangkat bahunya dengan malas. “Kalaupun aku bersikeras, wilayah itu juga bakal tetap dikembalikan kalau mereka sudah lunas membayar kompensasinya. Jadi, buat apa repot-repot?”

Kiara menghela napas panjang. “Kalau gitu, operasi penyerangan kalian kemarin sia-sia aja, dong! Buang-buang tenaga aja!” Hujatnya dengan wajah merah padam.

Luthfi tak tahan lagi. Ia kemudian berdiri dan menghadapi Kiara langsung. “Heh, asal kau tahu, ya,” ujarnya sambil mendorong dahi Kiara dengan telunjuknya, “kami berhasil mengamankan pertanian kita dengan perjanjian itu, lho. Jadi, nggak sia-sia, dong!”

Berbanding terbalik dengan Indra yang meladeni Kiara dengan ogah-ogahan, Luthfi justru meladeninya dengan penuh semangat. Sepertinya, tenaganya masih tersisa banyak untuk digunakan beradu argumen dengan singa betina itu.

Kiara tak terima. Ia menarik jubah Luthfi dengan kasar, seolah sedang menantangnya. “Kalau gitu, ngapain kalian perang, tolol?! Kan bisa langsung bikin perjanjian aja!” Teriaknya sambil mencondongkan wajahnya ke arah Luthfi.

Luthfi tidak gentar dan terus mengutarakan argumennya. “Kau pikir kelompok kecil seperti kita bakal didengar? Nggak lah! Kita harus tunjukkin kekuatan kita dulu biar didengar!”

Di sisi lain, Chakra, Devi, dan Handayani hanya memakan makanan mereka dengan kepala yang tertunduk lesu. Mereka lebih memilih untuk diam karena takut menjadi sasaran amarah Kiara yang sedang menggebu-gebu.

Sadar bahwa perdebatan ini tidak akan usai, Luthfi lalu memegang wajah Kiara dengan kedua tangannya. “Yang terpenting, kita bisa hidup tenang sekarang tanpa khawatir pertanian kita diserang lagi.” Tambahnya mencoba menenangkan amarah Kiara dengan suara lembut.

Mendengar hal itu, Indra yang baru saja menghabiskan makanannya tiba-tiba angkat bicara. “Nggak juga.” Bantahnya terhadap pernyataan Luthfi. “Asal kalian tahu, Karangasem saat ini sedang berambisi untuk menguasai seluruh Pulau Bali.” Tambahnya dengan nada serius.

Kiara melotot karena terkejut mendengar ucapan Indra. “Karangasem?” Tanyanya penuh kebingungan.

Indra mengangguk. “Iya, berdasarkan informasi yang aku dengar dari pemimpin Badung, mereka berniat menguasai seluruh Bali dengan memanfaatkan situasi krisis ini.”

Indra kemudian berdiri dan menatap kedua sahabatnya. “Saat ini, perang besar sedang terjadi di bagian selatan Pulau Bali. Perang itu melibatkan wilayah Badung, Gianyar, dan Bangli yang membentuk aliansi untuk melawan Karangasem. Bisa kau bayangkan betapa kuatnya mereka sampai tiga wilayah harus bersatu untuk melawannya.”

Kiara terdiam dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran. “Lalu, kenapa mereka belum menyerang kita? Padahal, jarak antara Buleleng dan Karangasem sangat dekat.” Tanyanya dengan suara pelan yang penuh kecemasan.

Indra mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi ketidaktahuan. “Aku juga nggak tahu, sih. Tapi pada intinya, kita harus tetap waspada. Mereka bisa nyerang kita kapan aja kalau mereka mau.”

Kiara menatap Indra dengan serius. Matanya terlihat menyiratkan sebuah pertanyaan yang penting. “Lalu, apa yang akan kau lakukan untuk menghadapi mereka?”

Indra tersenyum kecil, lalu mengutarakan idenya dengan tenang. “Aku akan membangun benteng pertahanan.”

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!