⚠️Warning⚠️
Cerita mengandung beberapa adegan kekerasan
Viona Hazella Algara mendapatkan sebuah keajaiban yang tidak semua orang bisa dapatkan setelah kematiannya.
Dalam sisa waktu antara hidup dan mati Viona Hazella Algara berharap dia bisa di beri kesempatan untuk menembus semua kesalahan yang telah di perbuatnya.
Keluarga yang dicintainya hancur karena ulahnya sendiri. Viona bak di jadikan pion oleh seseorang yang ingin merebut harta kekayaan keluarganya. Dan baru menyadari saat semuanya sudah terjadi.
Tepat saat dia berada di ambang kematian, sebuah keajaiban terjadi dan dia terbawa kembali ke empat tahun yang lalu.
Kali ini, Viona tidak bisa dipermainkan lagi seperti di kehidupan sebelumnya dan dia akan membalas dendam dengan caranya sendiri.
Meskipun Viona memiliki cukup kelembutan dan kebaikan untuk keluarga dan teman-temannya, dia tidak memiliki belas kasihan untuk musuh-musuhnya. Siapa pun yang telah menyakitinya atau menipunya di kehidupa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Gloretha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
"Papa, Viona sama sekali ga bermaksud ngelepasin pakaian Maya, tapi Viona cuma mau ambil lagi apa yang seharusnya jadi punya Viona." Katanya dengan tenang sembari melirik ke arah Maya. "Dan karena Maya ga mau, jadi aku harus ambil tindakan sendiri."
Arga menoleh ke arah Maya. "Jadi, baju kamu itu dari Viona?."
"Baju itu... ya, itu pemberian dari Viona untuk saya, Tuan. Tapi, setelah di kasih ke saya... baju itu ga bisa di kembalikan lagi." Jawab Maya sebelum Viona sempat menjawab.
"Gue belum ngomong apa pun dan lo udah berdebat buat nyelamatin diri sendiri. Sejak kapan seorang pelayan di kediaman Algara punya hak semena-mena sebelum gue?." Kata-kata Viona membuat raut wajah Maya berubah. Dia menggunakan kata 'pelayan'
"Papa, Viona satu-satunya putri di keluarga Algara dan dia cuma seorang pelayan. Kalau Viona kasih dia sesuatu, itu berarti karena kebaikan Viona dan kalau Viona pengen itu di kembaliin, apa yang salah sama itu? Lagipula, Maya selalu ngambil pakaian dan barang-barang Viona tanpa izin. Viona juga udah berbaik hati karena ga kasih dia pelajaran setelah dia ga sopan selama ini, tapi liat dia malah berani ngelawan Viona." Ketika Viona angkat bicara, semua orang terdiam.
Melihat Viona dan Maya selalu bermain bersama setiap hari, semua orang hampir lupa bahwa Maya hanyalah seorang pelayan
"Viona, tapi kamu ga boleh kayak gitu... apalagi di depan banyak orang. Itu benar-benar ga pantes. Kamu adalah anggota keluarga Algara dan kalau ini didengar sampai luar, itu pasti berdampak buruk buat keluarga kita." Kata Erina dengan lembut, tetapi dengan nada tak setuju.
Viona memiringkan kepalanya. "Tapi kalau Maya setuju buat ngembaliin semua baju-baju ku yang dia ambil... aku juga ngga perlu lakuin itu. Dia cuma pelayan dan dia pakai baju-baju yang lebih mewah dari aku. Dia juga udah nuding aku semena-mena, kalau ini terbongkar sampai di luar.... kira-kira apa yang mereka pikirin tentang dia?."
Erina terkejut mendengar jawaban Viona, tetapi dengan cepat ia mendapatkan ketenangannya dan kembali buka suara, menoleh ke arah Maya. "Viona ada benarnya. Maya, kalau Viona minta bajunya lagi, kamu harus kasih itu ke dia. Jangan terlalu mempermasalahkannya hal kecil kayak gini... di sini kamu yang salah."
Viona memutar matanya mendengar kata-kata Erina. Apa maksud Erina yang tidak perlu mempermasalahkannya? Jika memang begitu, maka Viona akan mempermasalahkannya!
Viona mendesah, lalu menatap Arga dengan raut wajah memelas. "Papa, papa cuma setuju kalau Maya tinggal di sini sebagai pelayan karena Tante Erina bilang dia itu keponakan yang pekerja keras dan bisa diandalin. Tapi keliatannya itu sama sekali ga bener... kalau Tante Erina berpikir aku bersaing sama Maya dan kalau dia merasa di perlakukan ga baik sebagai pelayan di rumah ini, jadi lebih baik kalau kita kirim dia pulang ke rumahnya lagi." Saran Viona.
"Ya, Pa... Raysa setuju sama adek! Dirumah ini udah ada banyak pelayan. Kalau Maya ga suka jadi pelayan... ya udah ga perlu di paksain!." Kata Raysa ikut menimpali.
Gio mengangguk setuju. "Gio juga setuju, Pa." Katanya. "Jadi pelayan kok ngerasa sultan." Sindirnya pelan, tetapi masih jelas terdengar semua orang.
Maya langsung terlihat panik dengan kejadian yang tiba-tiba berbalik seperti ini. Ia tidak ingin kembali ke tempat terkutuk itu. Bahkan jika dirinya harus membersihkan toilet di kediaman ini, itu lebih baik daripada kembali ke rumahnya sendiri. "Jangan, jangan, aku mohon jangan... aku ga mau pulang.." Maya menggelengkan kepalanya berulang kali, lalu meraih lengan Erina. "Tante.... aku ga mau pulang! Aku mau tinggal di sini aja!."
Erina dipenuhi amarah. Keponakannya ini sudah berbohong padanya, bagaimana dia bisa sebodoh ini? Bahkan lebih bodoh dari Viona!.
Tetapi Erina memperlihatkan senyumnya ketika buka suara. "Sayang, Maya masih muda dan kadang dia memang kurang bijaksana, tapi kamu ga serius kan mau ngusir dia dari sini?."
Arga tetap terdiam, tatapannya jatuh pada Viona. "Viona, ini urusan kalian berdua. Gimana kamu menangani ini... itu terserah kamu."
Viona tidak perlu merasa bingung. Maya sudah jelas telah melupakan statusnya sebagai seorang pelayan dan meskipun dapat di mengerti untuk mendisiplinkan Maya, itu tidak perlu bagi Viona. Karena dia telah berselisih dengan Viona. Viona-lah yang harus mengatasinya.
Viona tersenyum kecut dengan kedua tangannya di lipat didepan dada sembari menatap Maya yang terduduk lemas di lantai.
Maya terkejut dengan sikap baru Viona dan dengan segera ia berlutut di hadapannya, ia terlihat panik. "Viona, maaf aku salah. Aku ngga seharusnya bertindak tanpa berpikir. Tolong jangan usir aku. Aku bener-bener tau kalau aku yang salah! Maafin aku...."
Viona mengernyitkan dahinya. "Tuh liat... lo masih kurang rasa hormat ke gue. Lo panggil gue apa tadi?."
"Nona... Nona Viona."
Viona tersenyum dan kemudian menunjukkan raut wajah baiknya. "Itu lebih baik!." Katanya. "Karena lo udah mengaku salah dan gue juga bukan orang yang suka bertindak ngga masuk akal. Mulai sekarang, lo akan berada di bawah pengawasan Bik Ida. Pelajari aturan dari dia dan mungkin setelah itu gue akan pikir-pikir lagi..." Viona berhenti berbicara, tetapi tatapannya yang tajam membuat Maya tidak berani menatap mata Viona.
"Terima kasih, Nona Viona. Aku pasti ngga akan ngecewain kamu lagi." Maya mengangguk berulang kali.
"Hm oke, sekarang lo boleh pergi. Ganti baju lo sama seragam pelayan hitam dan lakuin tugas lo dengan bener!." Kata Viona
Setelah mendengar perintah Viona, bukan hanya Maya, tetapi juga ekspresi Erina berubah.
Para pelayan di kediaman Algara di bagi menjadi tiga tingkatan. Mang Biman dan Bik Ida yang telah bekerja selama bertahun-tahun, memiliki seragam yang di buat khusus. Para pelayan yang di bawah pengawasan mereka pun juga memiliki seragam yang berbeda.
Para pelayan yang bertanggungjawab atas keberhasilan mansion mengenakan seragam biru tua. Seragam hitam diperuntukkan bagi para pelayan dengan pangkat terendah yang biasanya bertanggung jawab atas dapur dan toilet di luar mansion utama. Dan Viona sengaja memerintahkan Maya menjadi pelayan dengan pangkat terendah dalam kediaman ini.
Meskipun Viona memberi pelajaran pada Maya, tetapi Erina yang justru merasa seolah-olah dirinya telah di tampar wajahnya. Jari-jarinya yang telah diletakkan di lengan bajunya perlahan-lahan mengencang dan jejak keengganan melintas di matanya. Erina telah menikah dengan Arga selama beberapa tahun, tetapi Arga selalu bersikap acuh tak acuh padanya. Dan sekarang, kata-kata Viona tampaknya lebih berguna untuk mengurus urusan di kediaman Algara daripada urusannya sendiri!
Namun, tatapan Erina jatuh ke wajah Viona dan rasa bingung yang hebat menyelimuti dirinya. Sejak Viona kembali dari rumah sakit, dia tampak seperti orang yang benar-benar berbeda. Dulu Viona yang lebih mendengar apa yang dikatakan oleh Erina dan Ziya, seperti seekor anjing yang patuh pada tuannya.
Setelah menangani masalah tersebut, Arga mengobrol bersama dengan Viona secara pribadi tentang situasi keluarga Varell. Setelah yakin bahwa Viona tidak bertindak berdasarkan dorongan hatinya sendiri dan benar-benar setuju untuk menikah dengan Varellino Jonathan Bramasta, Arga akhirnya merasa tenang. Saat Viona keluar dari ruangan ayahnya, Gio langsung menghampirinya.
Gio dan Rasya menunggu Viona dengan cemas di luar ruangan ayah mereka.
"Dek, kamu baik-baik aja kan? Apa Papa marahin kamu lagi?." Tanya Gio dengan khawatir.
Rasya mengernyitkan dahinya. "Kamu jangan takut sama keluarga Bramasta, biar kakak sama kak gio yang ngurus mereka."
Merasa tak berdaya sekaligus tersentuh oleh perhatian kedua saudaranya, Viona mengulurkan tangannya dan memeluk tangan kedua kakaknya masing-masing dengan posisi Viona ada di tengah mereka. "Papa ngga marahin aku lagi kok, kakak ngga perlu khawatir. Dan aku bisa nyelesain masalah ini sendiri. Aku bukan anak kecil lagi, kak!." Katanya menyakinkan kedua kakaknya.
"Tapi dimata kami, kamu itu selalu jadi bocah yang belum bisa apa-apa." Kata Raysa menoel hidung Viona.
"Hmmm... Kak Rasya cuma satu tahun lebih tua dari aku dan karena itu kakak jadi kakakku." Balas Viona.
Rasya jarang berbicara sebanyak itu. Dalam ingatan Viona, sudah lama sekali mereka tidak berbicara sebahagia ini.
"Oh iya aku lupa. Aku besok mau beli baju, tapi aku belum minta uang ke Papa." Kata Viona.
Ia baru ingat bahwa besok dia berencana untuk bertemu dengan Varell dan ingin berdandan dengan baik. Meskipun Maya sudah mengembalikan pakaian dan barang-barang Viona, tetapi Viona tidak ingin mengenakan apa pun yang pernah Maya pakai sebelumnya. Ia telah berencana untuk menyumbangkan yang masih layak pakai ke badan amal.
Viona hendak kembali masuk ke ruang kerja ayahnya untuk meminta uang, tetapi Gio menarik lengannya. "Papa mungkin masih marah, kamu jangan masuk." Katanya.
"Tapi gimana sama uang ku?." Viona mengernyitkan dahinya.
Sebagai seorang mahasiswi, Viona jelas tidak memiliki sumber pendapatan. Ia biasanya menerima uang saku yang cukup besar setiap bulan, tetapi Arga mulai membatasi pengeluarannya karena perilakunya yang semakin sembrono. Sekarang Viona benar-benar tidak punya uang.
Gio adalah seorang peserta pelatihan di sebuah perusahaan film, dan Rasya juga seorang mahasiswa, jadi mereka juga tidak punya banyak uang.
"Adek ku yang cantik, liat apa yang kakak bawa." Gio merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu mengilap, lalu melambaikannya di depan Viona.
"Kartu tanpa batas? Kak Gio, dari mana kakak punya kartu ini?." Viona terkejut sekaligus gembira.
"Dari kak Dirga dong! Tadi dia kasih ke kakak sebelum dia berangkat ke kantor dan kak Dirga bilang kalau kamu pengen sesuatu... kamu bisa pake ini." Kata Gio menjelaskan.
'Astaga! Aku hampir lupa kalau kak Dirga kan punya perusahaan gede! Dan dia pasti tajir banget!.' Batin Viona.
"Dan kalau itu masih kurang, Kak Gio sama aku masih punya tabungan yang bisa kita kasih ke kamu." Imbuh Rasya.
"Udah cukup, kak! Ini lebih dari cukup!." Seru Viona sembari meraih kartu emas itu dan memeluk lengan masing-masing kedua saudaranya.
Viona tidak bisa berhenti berpikir tentang betapa brengseknya dirinya di kehidupan sebelumnya, dengan bodoh dirinya menolak cinta dari keluarganya dan malah menerima orang jahat sebagai keluarganya.
Rasya juga mengalami nasib buruk di kehidupan sebelumnya karena Erina. Rasya harus melepaskan mimpinya dan di nikahkan secara paksa dengan gadis kaya yang bahkan tidak disukainya hanya untuk memenuhi janji Erina pada keluarga gadis itu.
Viona merasakan penyesalan yang mendalam karena telah menghancurkan hidup mereka.
Tepat saat Viona tengah asyik dengan pikirannya sendiri, ia tiba-tiba melihat orang yang paling tidak ingin ditemuinya.
Ziya berdiri di lorong, mengenakan dress merah muda. Dress itu adalah hadiah dari Dirga untuk Viona di hari ulang tahunnya, tetapi kemudian Viona memberikannya pada Ziya.
Ketika Ziya melihat ke arah Viona, raut wajah Ziya tampak khawatir. "Viona, lo baik-baik aja kan? Gue khawatir kalau lo di marahi sama Tuan Arga." Katanya sembari berjalan mendekati Viona, bermaksud untuk meraih tangan Viona, tetapi menyadari bahwa Viona sedang memeluk tangan Gio dan Rasya dengan ke-dua tangannya, Ziya kembali menarik tangannya sendiri
Mengabaikan kekhawatiran Ziya yang jelas-jelas itu hanya palsu. Viona buka suara. "Gue baik-baik aja dan papa juga udah maafin gue."
"Wah! Lo serius? Itu hebat." Ziya memasang raut wajah bahagianya sebelum akhirnya kembali buka suara. "Viona, gue perlu ngobrol sama lo tentang sesuatu. Kita bisa ngobrol berdua, kan?."
Gio tampak tidak setuju dengan prospek Viona hanya mengobrol berdua dengan Ziya. Dia khawatir bahwa Ziya akan melakukan sesuatu yang buruk lagi pada adiknya.
Viona akhirnya sudah kembali pada dirinya sendiri yang normal dan Gio tidak ingin Viona kembali ke sifatnya yang suka membantah dan tidak dapat di atur. "Lo boleh ngomong apa pun sama adek gua, tapi di sini." Katanya.
Ziya terlihat ragu sejenak. "Kak Gio, ada beberapa hal yang lebih baik ngga di omongin di depan orang lain. Ini itu rahasia diantara para cewek."
Gio sedikit kesal dengan kata-kata Ziya, tetapi dia menahan rasa kesalnya, mengingat perilaku Viona yang penuh kasih pada Ziya.
Ziya melambaikan tangannya agar Viona mau mendekati nya. "Viona, ayo sini." Ajak nya.
Dulu, setiap kali Ziya memberi isyarat, Viona akan berlari menghampirinya. Namun, kali ini Viona memasang raut wajah cemberutnya dan mendongak untuk menatap Gio dan Rasya. "Akhirnya aku bisa ngabisin waktu sama dua kakakku yang ganteng dan aku punya banyak hal yang pengen ku ceritain ke kalian!."
Melihat hal itu, Ziya terdiam membeku.