Rahasia Sang Wanita Besi
Sebagai sekretaris pribadi, Evelyn dikenal sempurna—tepat waktu, efisien, dan tanpa cela. Ia bekerja tanpa lelah, nyaris seperti robot tanpa emosi. Namun, di balik ketenangannya, bosnya, Adrian Lancaster, mulai menyadari sesuatu yang aneh. Semakin ia mendekat, semakin banyak rahasia yang terungkap.
Siapa sebenarnya Evelyn? Mengapa ia tidak pernah terlihat lelah atau melakukan kesalahan? Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, misteri di balik sosok "Wanita Besi" ini pun perlahan terkuak—dan jawabannya jauh lebih mengejutkan dari yang pernah dibayangkan Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Menggali Kebenaran
Evelyn terdiam. Kata-kata Damian bergema di kepalanya.
"Orang yang kita cari selama ini… dia lebih dekat dari yang kau kira."
Tangannya mengepal di atas meja. Selama ini, dia percaya bahwa pengkhianatan lima tahun lalu adalah ulah musuh di luar lingkaran mereka. Namun, jika Damian benar… maka ada seseorang di dalam tim mereka yang telah menusuk dari belakang.
Adrian menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya dingin seperti biasa. “Katakan siapa dia.”
Damian menghela napas, terlihat ragu sejenak. Matanya menatap Evelyn dengan dalam, seolah menimbang apakah dia harus mengatakannya atau tidak.
“Tidak bisa,” katanya akhirnya. “Belum saatnya.”
Evelyn langsung bangkit berdiri. “Apa maksudmu belum saatnya? Jika kita punya nama, kita bisa bertindak sekarang!”
Damian menatapnya tajam. “Kau pikir aku tidak ingin mengatakannya? Tapi jika aku menyebut namanya sekarang, kita semua akan mati sebelum sempat mengambil langkah.”
Ruangan itu menjadi sunyi.
Adrian mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Jadi kau bilang, orang ini punya kuasa cukup besar?”
Damian mengangguk. “Tidak hanya itu. Dia juga punya mata dan telinga di mana-mana. Jika dia tahu bahwa kita sudah menyadarinya, kita akan menjadi target berikutnya.”
Evelyn menggeram pelan. “Lalu apa rencanamu?”
Damian menatapnya dengan penuh keseriusan. “Kita butuh bukti. Kita tidak bisa asal menuduh tanpa sesuatu yang konkret. Jika kita salah langkah, orang itu akan menghapus jejaknya dan kita kehilangan kesempatan selamanya.”
Evelyn ingin membantah, tetapi dia tahu Damian benar. Ini bukan sekadar masalah menangkap pengkhianat—ini tentang menjatuhkan seseorang yang mungkin lebih berbahaya daripada yang mereka duga.
Adrian akhirnya angkat bicara. “Baiklah. Kalau begitu, kita mulai dari mana?”
Damian tersenyum tipis. “Aku punya ide.”
Damian membuka laptopnya dan mulai mengetik dengan cepat. Layar menampilkan serangkaian kode dan jalur komunikasi terenkripsi.
“Aku pernah mengakses beberapa data rahasia sebelum tertangkap,” katanya. “Ada sesuatu yang aneh dalam catatan keuangan organisasi lima tahun lalu—jumlah besar uang yang berpindah tangan ke rekening yang tidak dikenal.”
Evelyn mendekat untuk melihat lebih jelas. “Dan kau pikir ini ada hubungannya dengan pengkhianatan?”
Damian mengangguk. “Uang sebanyak itu tidak mungkin hilang begitu saja tanpa alasan. Aku yakin itu adalah pembayaran untuk sesuatu—mungkin sebagai imbalan atas informasi atau pengkhianatan.”
Adrian mengangkat alis. “Dan kau bisa melacaknya?”
Damian tersenyum kecil. “Aku bisa mencoba.”
Jari-jarinya bergerak cepat di keyboard, mengakses data lama yang telah terkubur dalam sistem. Namun, saat dia mulai membuka jalur keuangan yang mencurigakan—
Bip!
Tiba-tiba, layar laptopnya menjadi gelap.
Damian mengumpat. “Sial! Seseorang menghapus datanya!”
Evelyn menegang. “Apa ini berarti dia tahu kita sedang mencari tahu?”
Damian mengetik cepat lagi, mencoba mengembalikan jejak yang hilang. Wajahnya semakin tegang. “Tidak. Ini bukan sekadar penghapusan data biasa. Ini sudah direncanakan sejak lama.”
Adrian bersandar di kursinya, wajahnya tetap tenang meski situasi semakin berbahaya. “Jadi, kita berhadapan dengan seseorang yang sudah memprediksi bahwa rahasianya akan terbongkar.”
Damian mengangguk. “Tepat. Dan ini berarti dia benar-benar orang yang sangat kuat.”
Evelyn mengepalkan tangan. “Lalu apa langkah selanjutnya?”
Damian terdiam sesaat sebelum menjawab, “Kita harus menemui seseorang.”
Malam itu, mereka meninggalkan persembunyian dan pergi ke sebuah apartemen tua di pinggiran kota. Evelyn tidak tahu siapa yang akan mereka temui, tetapi Damian bersikeras bahwa orang ini adalah kunci untuk mengungkap kebenaran.
Saat mereka sampai di depan pintu apartemen, Damian mengetuk tiga kali dengan pola tertentu.
Hening.
Kemudian, suara langkah kaki terdengar dari dalam.
Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang pria tua dengan mata tajam yang penuh kehati-hatian.
Damian berbicara dengan suara rendah, “Kita butuh bantuanmu.”
Pria itu menatap Damian sejenak, lalu mengangguk kecil sebelum membuka pintu lebih lebar. “Masuk.”
Evelyn melangkah masuk bersama yang lainnya. Apartemen itu berantakan, dengan dokumen berserakan di mana-mana.
Pria itu duduk di kursi usang dan menatap mereka satu per satu. “Jadi… akhirnya kalian menemukan sesuatu?”
Damian mengangguk. “Kami butuh informasi tentang seseorang yang menghilangkan data dari lima tahun lalu.”
Pria itu menghela napas. “Aku sudah menduga hari ini akan tiba.”
Evelyn menatapnya dengan tajam. “Apa maksudmu?”
Pria itu mengangkat kepalanya, matanya penuh dengan keseriusan.
“Karena orang yang kalian cari… ada di dalam organisasi kalian sendiri.”
Evelyn merasakan napasnya terhenti sejenak.
Damian mengepalkan tangannya. “Siapa?”
Pria itu diam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan.
“Seseorang yang selalu berada di dekat kalian. Seseorang yang kalian percaya.”
Hati Evelyn mulai berdegup kencang. Dia mulai memikirkan semua orang yang selama ini bekerja dengannya.
Dan saat dia mulai menyadari siapa yang paling mencurigakan, ponselnya tiba-tiba berdering.
Sebuah pesan masuk.
Pesan tanpa nama.
“Berhenti mencari. Atau kalian semua akan mati.”
Evelyn menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam.
Pertarungan ini baru saja dimulai.
Evelyn menatap layar ponselnya. Pesan itu terasa seperti peringatan yang dingin dan menusuk.
“Berhenti mencari. Atau kalian semua akan mati.”
Tangannya mengepal. Siapa pun yang mengirim pesan ini, dia jelas tahu bahwa mereka sedang menggali sesuatu yang berbahaya.
Adrian, yang berdiri di sampingnya, membaca isi pesan itu dengan ekspresi datar. Namun, Evelyn bisa melihat kilatan tajam di matanya.
“Sepertinya kita benar-benar sudah mengusik sarang ular,” gumamnya pelan.
Pria tua di depan mereka, yang disebut Damian sebagai informan, menghela napas berat. “Aku sudah memperingatkan kalian. Orang ini bukan seseorang yang bisa dianggap remeh.”
Evelyn mendongak menatap pria itu. “Kalau begitu, katakan siapa dia.”
Pria itu menatap mereka dengan mata tajam sebelum akhirnya berbisik, “Iblis yang bersembunyi di balik cahaya.”
Damian mendecak pelan. “Jangan bicara dengan teka-teki.”
Pria itu menggeleng. “Aku tidak bisa menyebut namanya sekarang. Tapi aku bisa memberimu petunjuk.”
Dia mengambil selembar kertas tua dari laci, mengusap permukaannya dengan hati-hati, lalu meletakkannya di atas meja.
Evelyn menatap lembaran itu. Ada sebaris angka yang tertulis di sana.
2020-0101-556
Matanya menyipit. “Apa ini?”
Pria itu menatapnya dalam. “Itu adalah nomor kode dari sebuah transaksi gelap yang terjadi lima tahun lalu. Transaksi ini berkaitan dengan pengkhianatan besar yang hampir menghancurkan organisasi kalian.”
Damian meraih kertas itu dan menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Apakah ini terkait dengan uang yang menghilang dari catatan keuangan?”
Pria itu mengangguk. “Dan yang lebih penting, orang yang menyetujui transaksi ini… dia masih ada di dekat kalian.”
Adrian bersandar di dinding, ekspresinya tetap tenang meski ketegangan di ruangan itu semakin memuncak. “Jadi, kita harus melacak transaksi ini?”
Pria itu tersenyum samar. “Jika kalian bisa melacaknya, kalian akan menemukan identitas pengkhianat itu.”
Evelyn menatap angka-angka itu lekat-lekat. Dalam hatinya, dia bersumpah akan menemukan kebenaran, tidak peduli seberapa berbahayanya.
Malam itu, mereka kembali ke markas dengan pikiran penuh kecurigaan.
Damian segera duduk di depan komputernya, jari-jarinya bergerak cepat di keyboard. Layar menampilkan serangkaian data terenkripsi, jejak transaksi lama yang hampir tidak mungkin ditemukan.
Evelyn berdiri di belakangnya, memperhatikan dengan saksama. “Bisakah kau membuka kode itu?”
Damian menghela napas. “Ini bukan kode biasa. Sepertinya ada lapisan enkripsi tambahan. Tapi aku bisa mencoba menembusnya.”
Adrian duduk di sofa, menyilangkan tangan di dada. “Kita harus hati-hati. Jika orang ini menyadari kita sedang melacaknya, kita bisa menjadi target berikutnya.”
Evelyn mengangguk. “Aku sadar.”
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya suara ketikan Damian yang memenuhi ruangan. Hingga akhirnya—
Bip!
Layar komputer menampilkan serangkaian angka yang lebih panjang. Damian menyipitkan mata.
“Ini bukan hanya satu transaksi,” katanya pelan. “Ini jaringan penuh dengan aliran dana mencurigakan.”
Evelyn menatap layar itu dengan perasaan tidak nyaman. “Dan siapa yang terhubung dengan semua transaksi ini?”
Damian mengetik lebih cepat, mencoba menelusuri jalur uang itu. Namun, tiba-tiba—
Bip!
Layar menjadi hitam.
Pesan muncul di layar:
“Aku sudah memperingatkan kalian.”
Evelyn langsung meraih ponselnya, tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, listrik di ruangan itu mati seketika.
Adrian langsung berdiri dan menarik pistolnya. “Kita tidak sendirian.”
Jantung Evelyn berdegup kencang. Dalam kegelapan, dia bisa merasakan hawa bahaya yang mengintai.
Damian dengan cepat menarik pisau kecil dari sakunya, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin muncul.
Ketegangan memenuhi udara.
Kemudian—
BRAK!
Pintu ruangan mereka didobrak dengan keras.
Seseorang masuk, wajahnya tersembunyi di balik masker hitam.
Evelyn langsung bergerak cepat, menendang kursi ke arah orang itu. Namun, penyusup itu menghindar dengan lincah dan menyerang balik dengan gerakan cepat.
Damian melompat ke belakang, menghindari serangan yang hampir mengenainya.
Adrian menembakkan satu peluru ke arah penyusup, tetapi dia dengan cekatan menunduk dan menghilang dalam bayangan.
Lalu, suara pelan terdengar di udara.
“Kalian seharusnya tidak mencari tahu.”
Dan dalam sekejap, penyusup itu lenyap.
Ruangan kembali sunyi.
Evelyn berdiri dengan napas memburu. Dia menatap Damian dan Adrian, lalu berbisik pelan,
“Kita sudah masuk ke dalam permainan yang lebih besar dari yang kita duga.”
Setelah listrik kembali menyala, Damian segera memeriksa sistem mereka.
“Sebagian besar data kita telah dihapus,” katanya dengan nada frustrasi. “Orang itu jelas tahu apa yang kita lakukan.”
Adrian bersandar di dinding, matanya berkilat tajam. “Mereka ingin kita mundur.”
Evelyn mengepalkan tangannya. “Tapi kita tidak akan mundur.”
Damian menatapnya. “Lalu apa rencanamu?”
Evelyn menarik napas dalam-dalam. “Jika kita tidak bisa melacak pengkhianat ini melalui jalur biasa… kita akan memancingnya keluar.”
Adrian menyeringai kecil. “Aku suka rencana ini.”
Damian mengangkat alis. “Dan bagaimana caranya?”
Evelyn tersenyum tipis, matanya penuh tekad.
“Dengan menjadikan diriku sendiri umpan.”
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗