Shakila Anara Ainur adalah gadis yang sedang dalam proses hijrah.
Demi memenuhi permintaan wanita yang sedang berjuang melawan penyakitnya, Shakila terpaksa menjadi istri kedua dai muda bernama Abian Devan Sanjaya.
Bagaimana kehidupan Shakila setelah menikahi Abian? ikuti terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Alquinsha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Setuju Menikah
Adam menatap perempuan yang katanya calon istri kedua kakaknya. Ia shock dan tidak percaya bahwa perempuan ini benar-benar pujaan hatinya.
Hampir setiap malam Adam merayu Allah SWT supaya dijodohkan dengan pujaan hatinya ini. Bisa-bisanya sekarang pujaan hatinya disana sebagai calon istri kedua kakaknya.
"Mas, ini tidak benar kan?" tanya Adam kepada Abian.
Bukan, ini bukan tentang Abian yang akan menikah lagi. Tapi tentang Abian yang katanya akan menikah dengan pujaan hati Adam.
Adam tidak mau berebut perempuan dengan kakaknya sendiri, tapi Ia juga tidak bisa ikhlas pujaan hatinya menikah dengan kakaknya.
"Ya, mba mu hanya asal bicara," ucap Abian menjawab pertanyaan Adam. Tanpa mengetahui apa yang tersirat dari pertanyaan adiknya itu.
"Aku tidak asal bicara, kamu akan menikah dengan Shakila."
"Kamu tidak dengar tadi? Shakila bilang poligami bukan hal mudah dan mas juga tidak sanggup untuk memiliki dua istri!"
"Mas!" Adiba menegur Abian karena Abian sudah mulai meninggikan suaranya. Beruntung suara Abian tidak sampai membangunkan Khansa.
Adiba mulai memahami yang terjadi. Ia tahu kakaknya emosi, tapi tidak seharusnya kakaknya bicara dengan nada tinggi seperti itu. Apalagi kakaknya sekarang sedang menggendong keponakannya.
"Astaghfirullahalazim," Abian berusaha untuk meredam emosinya dengan beristighfar kepada Allah SWT.
"Tolong kamu bawa Khansa pulang. Mas titip lagi Khansa, nanti besok pagi mas jemput."
Adiba mengangguk dan segera mengambil alih Khansa dari gendongan Abian.
"Mas harus kontrol emosi mas, kami pergi dulu. Ayo, kak," Adiba mengajak Adam pergi, tapi Adam nampak enggan pergi dari sana.
Abian mengangguk. Ia akan berusaha mengontrol emosinya meskipun rasanya sulit mengontrol emosi dalam situasinya saat ini.
"Kak, aku duluan ya," Adiba tidak lupa pamit pada perempuan yang sudah berbaik hati mengantarkannya ke rumah sakit.
Shakila menganggukkan kepalanya sebagai respon. Ia juga sebenarnya ingin pergi, tapi situasinya tidak memungkinkan untuknya pergi dari sana.
"Mba Zahra, kami pulang dulu ya," sekarang Adiba pamit pada kakak iparnya.
Adiba tidak mengerti apa yang ada dipikiran kakak iparnya sampai ingin kakaknya menikah lagi, tapi Ia merasa tidak berhak untuk mempertanyakan itu.
"Iya, hati-hati. Maaf merepotkan kalian lagi," ucap Zahra merasa tidak enak pada adik ipar dan semua anggota keluarga suaminya.
Zahra belum memberitahu keluarganya tentang penyakitnya. Hanya keluarga Abian yang tahu dan hanya keluarga Abian juga yang disusahkan oleh penyakitnya selama ini.
Zahra ingin memberitahu keluarganya, tapi Ia tidak ingin membuat orang tuanya sedih. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana terpukulnya orang tuanya saat tahu putri satu-satunya menderita penyakit yang bisa merenggut nyawa kapan saja.
"Tidak apa-apa, aku malah senang ada teman di rumah," ucap Adiba disertai senyuman supaya kakak iparnya tidak perlu merasa tidak enak terhadapnya.
Keluhan Adiba sebelumnya bukan untuk membuat Zahra merasa tidak enak. Tapi supaya Abian tahu dan bisa memberikan sedikit perhatiannya terhadap Khansa.
Selama Zahra dirawat di rumah sakit, Abian tidak pernah menemui Khansa. Bahkan, Abian tidak bertanya keadaan putrinya selama dititipkan di rumah orang tuanya karena terlalu fokus dengan Zahra.
"Kak, ayo. Mas Abian dan mba Zahra perlu menyelesaikan masalah mereka, kita tidak pantas berada disini. Kasihan Khansa."
Adam menghela nafasnya setelah mendengar nama keponakannya disebut. Ia tidak boleh dikalahkan oleh perasaannya terhadap perempuan.
"Iya, ayo," dengan berat hati Adam pergi meninggalkan tempat itu. Ia hanya bisa berharap kakaknya tidak menuruti keinginan kakak iparnya.
"Ya Allah, jika aku tidak diperkenankan untuk berjodoh dengannya, setidaknya jangan biarkan dia menikah dengan kakakku," sebelum benar-benar pergi dari ruangan Zahra, Adam sempat memohon hal itu pada Tuhannya.
Tidak apa-apa jika Adam tidak berjodoh dengan perempuan yang Ia sebut dalam sepertiga malamnya, tapi setidaknya jangan biarkan perempuan itu menjadi kakak iparnya.
"Bagaimana jika ini permintaan terakhirku?" tiba-tiba Zahra melontarkan pertanyaan itu setelah Adiba dan Adam pergi membawa Khansa.
"Berhenti bicara omong kosong, Almeera!"
"Aku tidak bicara omong kosong! mas tidak lihat kondisiku sekarang?"
Shakila memejamkan matanya sejenak. Melihat Zahra dan Abian berdebat mengingatkannya pada pertengkaran orang tuanya.
Rasa takut tiba-tiba saja menyelimuti diri Shakila saat ini. Ia tidak bisa melihat orang berdebat karena dalam ingatannya perdebatan selalu berakhir dengan kekerasan.
"Tolong berhenti," ucap Shakila sambil merasa lemas di sekujur tubuhnya.
Tatapan Zahra dan Abian kini tertuju pada Shakila. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan Shakila karena pakaian yang menutupi ujung kepala sampai ujung kakinya.
Shakila pucat, badannya berkeringat dingin, tapi baik Zahra maupun Abian tidak bisa melihat itu. Mereka hanya melihat tubuh Shakila yang sedikit bergetar.
"Shakila, kamu baik-baik saja?" tanya Zahra khawatir melihat tubuh Shakila yang tertutup kain itu bergetar.
"Saya baik-baik saja," jawab Shakila cepat. Dengan ajaibnya tubuhnya langsung berhenti bergetar setelah mengatakan baik-baik saja.
Shakila memiliki pengendalian terhadap dirinya sendiri. Setiap kali merasakan getaran tidak biasa pada tubuhnya, Ia selalu meminta dirinya tenang dengan menyebut nama Allah SWT.
"Tenang Shakila, tenang, ada Allah," kalimat itulah yang selalu Shakila katakan saat merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
"Mba, saya sangat mengerti perasaanmu. Pasti tidak mudah membayangkan akan meninggalkan orang yang kita sayang. Tapi mba tidak bisa memaksa suami mba untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya."
Zahra dan Abian saling memandang. Untuk beberapa saat tidak ada pembicaraan diantara mereka. Sampai akhirnya Zahra kembali bicara.
"Aku bukan mau memaksamu, mas. Aku -aku hanya ingin ada yang menjagamu dan Khansa setelah aku meninggal nanti," entah sudah berapa kali Zahra mengatakan itu supaya suaminya mengerti alasannya ingin suaminya menikah lagi.
"Anak kita butuh sosok ibu, mas. Dan cuma Shakila yang aku percaya untuk menjadi ibu Khansa."
"Kenapa mba bisa percaya pada saya sementara kita saja tidak saling mengenal?" Shakila tidak bisa menahan dirinya untuk menanyakan itu.
Shakila masih tidak mengerti bagaimana Zahra bisa begitu percaya terhadapnya.
"Jangan menilai saya dari pakaian yang saya kenakan, mba. Saya bahkan bukan orang baik."
"Aku tidak salah menilaimu, kamu orang baik. Kita mungkin tidak saling mengenal, tapi aku mengenalmu."
Shakila tidak tahu bagaimana Zahra bisa mengenalnya sementara mereka saja bertemu pertama kali saat Zahra meminta Shakila menikahi suaminya. Tapi Ia juga tidak berniat mempertanyakannya.
Zahra kemudian menatap Abian yang dari tadi diam, "tolong, mas. Demi aku, demi anak kita, tolong menikahlah dengan Shakila. Aku tidak akan meminta apapun lagi padamu setelah itu."
"Mas Abian," Zahra memanggil Abian lembut seraya meraih tangan suaminya itu.
"Jika kamu mau menikahi Shakila, aku bisa fokus dengan pengotakanku dan berusaha untuk sembuh."
Abian menatap Zahra yang sedang memohon padanya tepat di matanya, "baiklah, mas akan menurutimu jika Shakila bersedia menikah dengan mas."
trus lanjutan sugar mommy knp gk lanjut kk