PLAK
Dewa menatap kaget campur kesal pada perempuan aneh yang tiba tiba menampar keras pipinya saat keluar dari ruang meeting.
Dia yang buru buru keluar duluan malah dihadiahi tamparan keras dan tatapan garang dari perempuan itu.
"Dasar laki laki genit! Mata keranjang!" makinya sebelum pergi.
Dewa sempat melongo mendengar makian itu. Beberapa staf dan rekan meetingnyaa pun terpaku melihatnya.
Kecuali Seam dan Deva.
"Ngapain dia ada di sini?" tanya Deva sambil melihat ke arah Sean.
"Harusnya kamu, kan, yang dia tampar," tukas Sran tanpa menjawab pertanyaan Deva.
Semoga suka ya... ini lanjutan my angel♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di kantor papa
Juhandono tersenyum melihat putrinya Emily sedang menunggunya saat dia memasuki ruangannya.
"Sudah lama?" tanya Juhandono sambil mendekatinya dan duduk di samping Emily.
"Ada apa papa memanggilku ke sini?" Emily langsung bertanya. Karena dia ngga mau keluarga papa yang tidak menyukainya tiba tiba datang.
"Maaf papa ngga bisa membela kamu tadi pagi," sesal Juhandono dengan raut penyesalan yang amat sangat terlihat.
"Mungkin aku tinggal di apartemen aja, Pa," mohon Emily.
"Tidak, sayang. Terlalu berbahaya kalo kamu tinggal sendirian. Kamu anak perempuan. Kamu baru bisa meninggalkan rumah apabila udah menikah. Tapi sementara ini, papa mohon acuhkan saja perkataan yang menyakitkan itu." Juhandono ngga mungkin membiarkan anak perenpuannya tinggal sendirian. Terlalu banyak resikonya.
Seain keluarganya yang mungkin akan mempunyai kesempatan melukai putrinya, juga ada lawan bisnisnya.
Selama ini, dirinya ngga mempermasalahkan kemana putrinya pergi, karena malamnya tetap pulang ke rumah.
Lagi pula tanpa setau Emily, Wira ditugaskannya untuk selalu mengikuti kemana Emily pergi, demi keselamatannya.
Emily hanya bisa menghela nafas panjang. Selalu itu alasan papanya.
Melihat wajah murung putrinya, Juhandono mencoba meledeknya
"Kamu sudah punya kekasih? Kalo belum akan papa carikan."
Dan Juhandono senang melihat senyum tipis yang sudah terbit di bibir putrinya.
"Aku nyari sendiri, pa," tolaknya cepat.
"Papa, punya banyak loh calon calon yang berkualitas," ledek Juhandono dengan makna serius..
Empat anak muda jomblo itu menarik pikirannya
Dia juga tau keluarga konglo itu tidak membatasi dengan bibit, bebet dan bobot untuk pasangan putra putranya.
Emily pasti juga bisa menjadi pilihan mereka.
"Papa sebenarnya nyuruh aku ke sini buat apa? Buat bukan jodohin aku, kan." Emily gerah juga melihat wajah papanya yang nampak penuh dengan rencana.
Juhandono terkekeh.
"Oh, iya. Kamu nanti ke perusahaan teman papa, ya. Desain rest area kamu disukai mereka," ucapPapanya bangga setelah tawanya reda.
"Oh iya, pa. Tapi desainnya biasa aja, loh," ucap Emily dengan wajah senang bercampur malu. Dia masih agak kurang pede.
Mungkin karena dia masih membawa bawa nama papanya, jadi beberapa desainnya agak mudah digolkan
Kalo dia hanya membawa namanya, mungkin desainnya akan dilempar di depan mukanya.
"Kamu harus percaya diri, Mily. Kamu berbakat." Juhandono menatap putrinya lembut
Emily hanya tersenyum.
"Papa udah transfer uang mukanya."
"Oh iya, pa." Senyum Emily full merekah senang. Dia lebih suka menerima uang hasil kerjamya. Walau uang dari papanya lebih besar dari ini.
"Om Wira akan mengantar kamu. Kamu belum makan, kan? Kita makan bareng, ya. Sudah lama kita ngga makan berdua."
"Ya, pa." Emily ngga tega menolak keinginan papanya. Apalagi mata papanya tampak penuh harap
"Oke. Om Wira bentar lagi datang dengan makanan kesukaan kita. Dia juga nanti ikut makan bersama kita," senyum papanya sangat lebar.
Emily tertawa pelan. Memang hanya sesekali dia bisa menikmati makanan kesukaannya bersama papanya.
Kalo pun sedang magang, istri papanya selalu datang. Kadang kadang juga kakek dan neneknya juga ikut datang
Seakan akan dia ngga boleh memiliki waktu berdua saja dengan papanya.
Ngga lama kemudian Om Wira datang dengan kedua tangannya yang penuh paper bag yang berisi banyak makanan.
"Ayo, wajib dihabiskan," tawa Om Wira sambil menaruh isi paper bag di atas meja.
Emily pun tergelak bersama papanya.
Emily bersyukur karena dia belum makan sama sekali, jadi bisa melahap berbagai banyak makanan yang tersedia di atas meja.
Selain rawon, lamb, pecel, sop daging, juga ada berbagai puding dan cake. Minumannya pun ada es buah, jus jeruk dan air mineral. Ngga lupa buah buahannya.
Hebatnya semua makanan ludes. Dan kedua laki laki paruh baya itu pun nampak kekenyangan.
*
*
*
"Sorry, Wa. Aku cuma nyium dia aja. Di pipinya, bukan bibirnya," tukas Deva saat menemui kembarannya di ruangannya.
Hatinya merasa tercubit karena melihat Dewa yang sedang mengompres pipinya sambil melihat laptopnya.
Dewa mengacuhkannya.
"Sakit banget, ya, Wa?" tanya Deva tampak khawatir. Warna merahnya masih belum pudar.
Gadis itu melakukannya dengan sepenuh hati.
"Pikir lo," liriknya kesal.
"Ya maaf. Baru kali ini juga ada yang separah ini." Wajah Deva benar benar menunjukkan penyesalannya.
Padahal dia cuma nyium sekilas aja.
"Kamu nyium cewe itu dimana?" Dewa kepo juga.
Kali anak pesantren.
"Di club."
Haah? Dewa sudah salah menilai perempuan itu.
"Dia lagi nge dance seru seruan sama teman temannya. Aku cium pipinya sambil lewat. Waktu itu dia ngga marah. Tapi kenapa marahnya baru sekarang," ungkap Dewa menjelaskan. Sampai sekarang dia juga masih ngga percaya kalo ada yang marah hanya karena dia cium pipinya.
IQ nya pasti rendah, celamya dalam hati.
Dewa ngga menjawab
Iya juga, ya. Kenapa marahnya telat? Batinnya juga bertanya tanya.
CKLEK
Keduanya menoleh pada pintu yang terbuka.
Daddynya.
"Dewa, kenapa dengan pipi kamu?" tanya Nathan yang kemudian melangkah cepat mendekati kedua putranya.
Dewa dan Deva saling tatap
"Kamu ditampar perempuan? Kok, bisa?" Nathan langsung tau karena bisa melihat cap lima jari di pipi Dewa yang sedang dikompres.
Kalo Deva yang ditampar perempuan menurutnya wajar. Nathan tau jejak nakalnya. Tapi Dewa? Jelas sekali tidak mungkin
"Sebenarnya itu salahku, dad." Deva menjawab jujur.
"Maksudnya?" Nathan ganti menatap Deva dengan tatapan heran.
"Emm.... Aku nyium perempuan di club. Tapi perempuan itu mengira Dewa yang melakukannya."
Nathan terdiam sesaat sebelum melebarkan senyumnya.
"Ada ada aja." Dalam hati kasian melihat penderitaan Dewa akibat kesalahan kembarannya.
"Kamu juga jangan asal cium perempuan, Deva. Kalo diijinkan baru boleh," saran Nathan dengan senyum gelinya.
"Iya, dad," kekeh Deva sambil menggaruk kepalanya.
Mana berlaku aturan begitu buat Deva, Dad, batin Dewa berkomentar.
"Oh iya, gimana menurut kalian tentang Nagita?"
"Nagita, siapa, dad?" tanya Deva lupa.
Dewa ngga menjawab.
Mereka akan dijodohkan?
"Anak yang daddy kenalkan tadi malam."
"Ooo...." Deva manggut manggut mengerti.
"Buat Dewa, ya, Dad?" todong Deva langsung.
Dewa menatap kembarannya kesal.
Dia kena apes aja...
"Kamu ngga tertarik?"
"Bukan begitu, Dad. Lebih baik sama Dewa aja. Anak baik gitu, kok, buat aku. Kasian," tolaknya sambil memberikan alasan klise.
"Hemm... Malah bagus, kan. Kamu bisa ketular jadi anak baik," kekeh Nathan.
"Lebih baik sama Dewa aja, Dad," tolaknya ngeyel.
"Oke, oke. Kamu gimana, Dewa? Mau?" tanya.Nathan yang kini beralih menatap Dewa yang masih menekan kompres di pipinya.
"Kenapa aku, sih, Dad." Dewa memilih fokus pada laptopnya.
"Putrinya ada dua. Nanti putrinya yang satu lagi akan datang, membawa secara lengkap desain rest areanya."
"Oooh, putri Om Juhandono yang satu lagi yang desain itu?" tanya Deva tertarik. Penasaran juga pengen lihat wajahnya.
"Iya."
"Daddy udah suruh Mirna agar mengantarkannya ke sini. Kita tunggu aja."
"Oke, dad," sahut Deva antusias. Isunya anak Om Juhandono yang satu lagi ngga diekspose.
Sementara Dewa tetap ngga bergeming dengan fokus pada laptopnya saja.
rasakan kau Baron.. sekarang rasakan akibatnya mengusik calon istrinya Dewa... 😫😫
sudah tahu bakal besan juhan orang berkuasa mlh cari masalah muluk baron
kalau mereka ketemu gimana ya...
DinDut Itu Pacarku ngasih iklan
atau nanti Agni juga ikut-ikutan bersandiwara... buat ngetes calon menantu... he he he he ..
DinDut Itu Pacarku ngasih iklan