Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelas
“Nyonya, ... saya ingin menagih janji Nyonya.”
Belum apa-apa, Mendung sudah bingung. Sebab Yanti yang seharian ini selalu menunda pertemuan empat mata mereka, menunjuk-nunjuk lantai di depan sofa yang Yanti tuju.
Mendung pikir, pelakor yang telah menghancurkan hidupnya itu mempermasalahkan kondisi lantai yang ditunjuk. Khususnya itu kebersihan lantai dan harusnya sudah tidak perlu dipermasalahkan. Sebab kondisi lantai rumah, semuanya sudah Mendung pel. Apalagi tak ada yang masuk rumah selain Yanti, Andika, dan juga dua pengawal kemayu Yanti, selain Mendung sendiri.
“Nih nenek-nenek ya, dikasih tahu enggak ngerti-ngerti!” omel Yanti, tapi yang diberi tahu makin kebingungan saja.
“Cepat duduk! Berlutut! Ngapain kamu berdiri begitu? Kalau mau bicara sama saya kamu harua berlutut! Yang sopan!” Yanti makin berteriak.
Andika yang awalnya akan melangkah keluar dari kamar tak jauh dari tangga, refleks tak jadi. Dari bibir pintu, Andika melongok kebersamaan di ruang keluarga lantai bawah, dan tidak begitu jauh darinya. Ia mendapati punggung Yanti yang perlahan menempati sofa panjang yang ada di sana. Sementara di lantai depan karpet sofa Yanti duduk, tampak Mendung yang perlahan berlutut. Mendung melakukannya sambil terus menunduk. Wajah Mendung yang masih pucat layaknya mayat hidup, terlihat menahan banyak luka.
“Ada apa lagi, sih?” lirih Andika ketar-ketir. Namun, ia tak berani ikut campur. Ia takut kepada Yanti, meski hati kecilnya juga selalu mengkhawatirkan Mendung sang istri.
“Sudah cepat ngomong. Enggak pake lama. GPL!” ucap Yanti sambil meletakan kaki kirinya di atas lutut kaki kanannya.
Jujur, Mendung sudah sangat muak pada drama Yanti. Namun apa daya, dari sekian banyaknya anak tangga kehidupan dan sangat menguras kesabaran, ia tetap harus melaluinya satu persatu.
“Nyonya, ... saya ingin menagih janji Nyonya—” Seharian penuh Mendung menunggu momen ini. Bahkan kini sudah malam. Suasana rumah juga sudah kembali ke setelan awal, dan tak ada lagi sisa hajatan walau itu hanya jejaknya berupa sehelai sam pah.
“Dasar nenek-nenek SDM ren dah!” ketus Yanti. Ia dapati, di hadapannya, Mendung refleks menatapnya. Istri pertama dari pria yang baru menikahinya itu baru saja menagih kebebasan Pelangi.
“Dikiranya segampang itu keluarin orang dari penjara?!”
“Maksud Nyonya bagaimana? Nyonya sendiri loh yang menjanjikan kepada saya!”
“Kamu berani ngatur bahkan ngancam saya?!”
Padahal, Mendung masih bertutur penuh pengertian. Mendung masih sangat santun. Ia hanya menagih janji Yanti. Namun, pelakor yang sudah dinikahi Dika suaminya itu, merasa harga dirinya sudah diinjak-injak Mendung.
Adegan keke rasan kembali Mendung alami. Mendung disiram menggunakan satu teko teh herbal beraroma bunga mawar, dan sebelumnya Yanti pesan untuk dibuatkan. Bisa jadi, alih-alih untuk diminum, Yanti memang sengaja memesan itu untuk mengguyur Mendung.
Di bibir pintu kamar, Andika maju mundur. Andika terlalu takut menghentikan keadaan yang ada. Padahal, Kenyataan Mendung yang tetap saja diam meski wajah dan kepalanya disiram air panas, menegaskan bahwa Mendung sudah hilang arah.
“Jika begini caramu, ... jangan salahkan aku. Luka dibalas luka! Penjara dibalas penjara! Nyawa dibalas nyawa!” batin Mendung seiring kedua tangannya yang mengepal kencang.
Mendung memang hanya diam, menerima setiap ulah Yanti, termasuk itu ketika poci berbahan stainless yang isinya diguyurkan ke wajah dan juga kepala Mendung secara tuntas, juga berakhir dihanta mkan ke kepala Mendung.
Gemuruh dan angin kencang di luar sana seolah mewakili perasaan Mendung sekarang. Mendung susah payah mengatur emosinya. Mendung memaksa diriya agar tidak meledak sekarang juga. Karena andai ia kalah melawan emosinya sendiri, itu juga akan menjadi kekalahannya untuk selama-lamanya.
“Cepat pergi ... gedeg lama-lama lihat wajahmu!”
Teriakan Yanti kali ini disertai guntur yang menyambar dan seolah pecah atas kepalanya. Yanti refleks berteriak karena kaget, seiring resonansi dari guntur yang membuat seisi rumah bergetar. Anehnya, Mendung yang ia siram dan hanya diam meski wanita tua itu menangis sampai sesenggukan, tetap damai.
Mendung tetap melangkah pasti menuju belakang. Padahal, Yanti nyaris jantungan. Yanti memilih lari lantaran guntur kembali menyambar-nyambar. Kamar menjadi tujuannya, tetapi Andika yang sedari di sana, sengaja masuk dan seolah tidak tahu apa-apa. Andika bahkan bersandiwara dan langsung memeluk sekaligus menenangkan istri mudanya.
“Baiklah ... baik ayo kita akhiri sampai di sini!” batin Mendung. Meski ia berbicara dalam hati, suara hatinya juga turut bergetar akibat ketidakadilan yang ia rasakan.
Tanpa pikir panjang, Mendung sengaja keluar rumah dari dapur. Di tengah hujan lebat disertai angin sekaligus petir, Mendung membiarkan tubuhnya terguyur hujan. Mendung mematikan MCB listrik. Suasana yang sedang hujan deras menjadi alasan apa yang Mendung lakukan tidak ketahuan. Ditambah lagi, kedua pengawal kemayu Yanti sedang ada acara di luar. Keduanya yang berprofesi sebagai ketua senam, sedang ada lomba. Sebelum pukul dua belas siang tadi, keduanya pamit kepada Yanti sekalian meminta uang jajan.
“Ini coba kamu cek ke tetangga. Beneran pemadaman listrik, bukan?” Suara Yanti, Mendung dengar. Kebetulan, Mendung sedang memasuki ruang keluarga.
Kondisi Mendung tak ubahnya mereka yang mengalami kelainan psikopat. Wajah datar, bibir terkunci rapat, tetapi dari kedua matanya kerap menghasilkan butiran bening.
“Bis jadi itu lampu otomatis loh Sayang. Sudahlah tunggu saja. Kalau waktunya nyala, pasti nyala. Lagian kalau hujan gini kan identik dengan mati lampu. Petir dan anginnya mendukung!” Suara Andika juga terdengar jelas karena Mendung menyimaknya tepat di depan pintu kamar.
“Kalau gitu, mending kita kelona n saja. Soalnya aku takut banget ke petir. Namun sebelum itu, kamu bilangin tuh ke istrimu yang nenek-nenek, buat nyalain lilin karena ini sudah gelap dan takutnya, listriknya baru nyala besok!” ucap Yanti benat-benar manja.
Mendung yang sadar sang suami pasti akan keluar dari kamar, buru-buru lari. Taj lama kemudian, Andika sungguh keluar dari kamar. Mendung tengah jongkok membersihkan air teh herbal di lantai. Niatnya, Andika ingin memastikan kondisi istri tuanya. Namun, belum juga jadi melangkah keluar, Yanti sudah wanti-wanti, memintanya menjaga jarak dari Mendung.
“Ya ampun ini orang ya ... cinta banget apa gimana sih, ke aku,” batin Andika yang kemudian menyuruh Mendung untuk menyalakan beberapa lilin.
“Cepat, sebelum kamu dimarahi nyonya lagi.” Gaya Andika benar-benar mirip bos. Tak beda dengan Yanti. Tak lama kemudian, tawa Yanti terdengar. Yanti memuji gaya bicara Andika.
Padamnya listrik dan membuat mesin-mesin di sekitar sana tak menyala, memang membuat suasana rumah menjadi sunyi. Hingga setiap suara yang ada jadi terdengar lebih jelas.
Tak lama kemudian, Mendung membawa satu kotak lilin. Empat piring juga menyertai tangan kiri Mendung. Senyum licik menarik sudut bibir kiri Mendung. Kemudian, lirikan Mendung tertuju pada botol berisi bensin, khas yang dijual secara eceran.
“Tidak, ... aku tidak akan langsung membuat kalian kehilangan semuanya apalagi kehilangan nyawa.” Niat Mendung seolah membuat dunianya berputar lebih lambat. Namun bersamaan dengan itu, Mendung sangat bersemangat.
(Yuk ramaikan. Biar perfomanya bagus ❤️)