Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : setelah panggung, sebelum perasaan
Keesokan harinya, Alya tidak bisa berhenti mendengar gumaman orang-orang di kampus. Setiap kali ia melewati lorong, ada saja yang tertawa kecil atau memandangnya sambil berbisik.
“Eh, itu Alya, kan? Yang jatuh di panggung sama Reyhan.”
“Romantis banget, ya. Mereka cocok, sumpah!”
“Aduh, kalo aku jadi Alya, mungkin udah baper duluan tuh.”
Alya menggertakkan giginya sambil mempercepat langkah menuju perpustakaan. Ia berharap bisa menghindari Reyhan hari ini. Tapi tentu saja, seolah tahu apa yang ia pikirkan, Reyhan sudah menunggunya di dekat rak buku, dengan senyum penuh kemenangan.
“Aduh, artis kampus kita dateng juga!” seru Reyhan pelan, tapi cukup untuk membuat Alya melotot tajam.
“Lo ngapain di sini?” tanya Alya, setengah berbisik agar tidak menarik perhatian lebih banyak.
Reyhan menyandarkan tubuh ke rak, santai seperti biasa. “Cuma mau ngecek, gimana rasanya jadi trending topic?”
Alya mendengus, menaruh buku yang ia bawa ke meja. “Gara-gara lo, sekarang semua orang mikir gue beneran pacaran sama lo. Lo puas, kan?”
“Puas banget,” jawab Reyhan dengan senyum lebar. “Tapi serius, lo nggak ngerasa keren? Kita bikin kampus jadi lebih seru.”
Alya memutar bola matanya. “Keren apanya? Gue jadi bahan gosip, Rey. Lo nggak mikirin perasaan gue sama sekali, ya?”
Reyhan terdiam sejenak. Untuk pertama kalinya, senyumnya sedikit pudar. “Eh… gue cuma bercanda kok. Kalau lo nggak nyaman, gue minta maaf.”
Alya tertegun. Mendengar permintaan maaf dari Reyhan adalah hal yang jarang—kalau bukan mustahil. Tapi ia tidak ingin terlihat lemah.
“Ya udah. Pokoknya jangan bikin masalah lagi,” gumamnya sambil menunduk.
Namun, sebelum suasana jadi canggung, salah satu teman Alya, Sarah, muncul dari ujung rak dengan wajah penuh antusias.
“Alya! Reyhan! Kalian berdua bener-bener bikin kampus gempar kemarin. Video kalian itu udah ditonton ribuan kali di grup kampus!”
Alya menutup wajah dengan kedua tangan, sementara Reyhan hanya tertawa kecil.
“Kalian beneran pasangan yang serasi,” tambah Sarah sambil terkikik.
“Serasi apanya?” potong Alya cepat. “Gue cuma—”
“—cuma pacaran sama gue,” sela Reyhan dengan nada ringan, membuat Sarah tertawa lebih keras.
Alya memandang Reyhan dengan tatapan marah. Tapi di dalam hati, ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh.
---
Malam harinya, di kamar, Alya memandangi ponselnya. Grup chat kampus dipenuhi dengan komentar tentang video mereka. Bahkan ada meme kocak yang dibuat dari momen mereka terjatuh.
Satu pesan pribadi dari Reyhan muncul di layar.
Reyhan: “Lo baik-baik aja kan? Maaf banget kalau kemarin keterlaluan.”
Alya: “Udah lah, gue nggak mau bahas lagi.”
Reyhan: “Tapi lo jujur deh, sebenernya seru kan? Pura-pura pacaran sama gue.”
Alya: “…Lo itu nyebelin banget.”
Alya melempar ponselnya ke kasur sambil mendesah. Tapi senyum kecil tanpa sadar muncul di wajahnya.
Hari berikutnya, kampus masih saja heboh. Alya mencoba mengabaikan semua komentar dan tatapan usil dari teman-temannya, tapi tetap saja sulit. Apalagi dengan Reyhan yang terus mendekatkan diri seolah mereka memang benar-benar pasangan.
Namun, ada yang berbeda hari ini. Alya merasa Reyhan sedikit lebih tenang—tidak terlalu banyak mengolok-olok atau membuat lelucon seperti biasanya. Saat mereka duduk bersama di taman kampus, Alya akhirnya tidak tahan untuk bertanya.
“Lo kenapa? Kok tumben nggak nyebelin?” tanyanya sambil mengaduk minuman dinginnya.
Reyhan tertawa kecil, tapi tidak dengan nada jahil seperti biasanya. “Nggak kenapa-kenapa. Gue cuma lagi mikir.”
“Mikir? Lo?” Alya menyipitkan mata, setengah bercanda. “Apa dunia mau kiamat?”
Reyhan tersenyum tipis. Ia memandang jauh ke arah lapangan, ekspresinya berubah serius. “Gue cuma kepikiran, sih. Kalau ini semua terlalu jauh, gue nggak mau lo beneran ngerasa dirugiin.”
Alya terdiam. Itu adalah hal terakhir yang ia duga akan keluar dari mulut Reyhan.
“Gue nggak tahu lo bisa mikirin perasaan orang,” jawabnya pelan.
Reyhan menoleh, menatap Alya dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya. “Hei, gue emang nyebelin, tapi gue nggak seburuk itu.”
Alya merasa ada sesuatu yang hangat dalam caranya bicara. Ia berdeham kecil, berusaha mengalihkan perasaan aneh yang mulai muncul di dadanya.
“Tapi serius, kenapa lo tiba-tiba mikir kayak gitu?” tanyanya lagi.
Reyhan mengangkat bahu, tapi senyumnya berubah agak masam. “Mungkin karena gue sadar, di balik semua ini, lo sebenernya nggak pernah nyaman. Gue tahu gue kadang keterlaluan, dan gue nggak mau lo beneran benci gue gara-gara kesepakatan konyol ini.”
Alya tertegun. Kata-kata Reyhan terdengar tulus, dan itu membuatnya bingung.
“Gue nggak benci lo kok… sepenuhnya,” gumam Alya pelan. “Tapi lo harus tahu batas. Gue nggak mau jadi bahan gosip terus-terusan.”
Reyhan mengangguk. “Oke, gue janji bakal lebih hati-hati. Tapi kita tetep harus bikin ini kelihatan nyata di depan orang tua kita.”
Alya hanya mengangguk kecil. Ia tidak tahu kenapa, tapi melihat Reyhan dengan sisi yang lebih serius membuatnya merasa… nyaman.
---
Malam harinya, Alya mendapat pesan lagi dari Reyhan.
Reyhan: “Lo lagi ngapain?”
Alya: “Baru selesai tugas. Kenapa?”
Reyhan: “Gue cuma mau bilang, kalau ada yang bikin lo nggak nyaman, kasih tahu gue. Serius, ya.”
Alya: “…Oke. Makasih, Rey.”
Setelah mengirim balasan itu, Alya terdiam sejenak. Tangannya berhenti menggulir layar ponsel, dan perasaan aneh kembali muncul di dadanya.
“Kenapa dia bisa berubah gitu?” gumam Alya pada dirinya sendiri.
Tanpa sadar, ia tersenyum kecil sebelum mematikan ponselnya dan memutuskan untuk tidur.
Hari-hari berikutnya, Alya merasa semakin bingung dengan sikap Reyhan. Setelah kejadian di taman, Reyhan seolah mulai memperlakukan semuanya dengan lebih serius. Tidak ada lagi lelucon nyebelin atau pernyataan menggoda yang bikin Alya kesal. Sebaliknya, Reyhan malah lebih sering menawarkan bantuan dengan cara yang... agak perhatian.
Suatu sore, saat Alya sedang duduk di bangku taman, sedang menulis catatan untuk tugas kuliah, Reyhan tiba-tiba muncul di depannya, membawa dua kopi.
“Lo lagi sibuk, ya?” tanyanya sambil duduk di sebelah Alya tanpa menunggu jawaban.
Alya mengerutkan kening. “Lo kenapa, sih? Sejak kapan lo jadi peduli banget?”
Reyhan tersenyum, tidak seperti biasanya. “Bukan peduli banget sih, cuma… lo kelihatan lagi capek. Jadi, gue bawa kopi. Itu juga buat gue.”
Alya menatap Reyhan dengan pandangan bingung. “Kopi? Lo yang biasanya nggak pernah bawa kopi buat orang lain.”
Reyhan mengangkat bahu. “Mungkin gue lagi berubah.”
Alya terdiam, merasa sedikit canggung. Tidak tahu kenapa, sikap Reyhan yang lebih tenang ini justru membuatnya merasa lebih nyaman, meskipun ia masih bingung dengan perasaan yang muncul.
“Makasih,” kata Alya pelan, menerima kopi yang Reyhan tawarkan. “Tapi jangan bikin kebiasaan. Gue nggak butuh perhatian lebih dari lo.”
Reyhan tertawa kecil. “Oke, kalau itu yang lo mau.”
Keduanya duduk dalam diam, sesekali saling menatap, tapi tanpa ada kata-kata. Ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka. Alya merasa seolah ada jarak yang perlahan semakin dekat.
---
Minggu itu, mereka berdua diminta untuk ikut dalam kegiatan sosial kampus. Kegiatan itu melibatkan kerja sama antara beberapa fakultas untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak kurang mampu. Reyhan dan Alya ditugaskan untuk menjadi bagian dari tim presentasi.
Ketika tiba saatnya presentasi dimulai, Reyhan tiba-tiba mendorong Alya ke depan untuk memimpin bagian awal. Alya yang tidak siap, merasa cemas.
“Gue nggak bisa mulai duluan, Rey. Lo yang harusnya…”
Reyhan menatapnya dengan tatapan penuh percaya. “Lo bisa kok, gue yakin. Gue ada di belakang lo.”
Alya menghela napas, merasa aneh karena Reyhan justru memberi kepercayaan kepadanya. Tanpa berkata apa-apa, ia akhirnya mengambil mikrofon dan mulai berbicara di depan audiens.
Selama presentasi berlangsung, Alya mulai merasa lebih nyaman. Reyhan, meskipun tidak banyak bicara, tetap berdiri di sampingnya, memberi dukungan dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Reyhan memperhatikannya.
Begitu acara selesai, Reyhan menghampiri Alya dengan senyum lebar. “Keren banget, lo tadi. Lo bahkan bikin gue terkesima.”
Alya mengernyitkan dahi. “Gue cuma ngomongin presentasi doang. Jangan lebay, deh.”
Tapi di mata Reyhan, ada kebanggaan yang sulit ia sembunyikan. “Serius, Alya. Lo hebat. Gue bener-bener kagum.”
Alya merasa dada nya sedikit berdebar. Tidak seperti biasanya, Reyhan membuatnya merasa lebih dari sekadar teman palsu. Ada sesuatu yang menghangatkan perasaannya.
---
Beberapa hari setelah kegiatan itu, Alya duduk di kafe, sibuk mengerjakan tugas. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Pesan dari Reyhan muncul di layar.
Reyhan: “Lo sehat, kan? Kok nggak ada kabar akhir-akhir ini?”
Alya: “Lagi sibuk, nih. Gue baru aja selesai presentasi minggu lalu.”
Reyhan: “Makasih udah ngebantu gue juga. Lo hebat.”
Alya: “Iya, iya. Lo juga, kok.”
Alya menatap layar ponselnya. Ada sesuatu dalam kata-kata Reyhan yang membuatnya merasa berbeda. Tapi ia buru-buru menutup pesan itu dan melanjutkan pekerjaannya.
Namun, ia tak bisa menghindari kenyataan—perasaannya terhadap Reyhan mulai berubah.
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁