"Aku dimana?"
Dia Azalea. Ntah bagaimana bisa ia terbagun di tubuh gadis asing. Dan yang lebih tidak masuk akal Adalah bagaimana bisa ia berada di dunia novel? Sebuah novel yang baru saja ia baca.
Tokoh-tokoh yang menyebalkan, perebutan hak waris dan tahta, penuh kontraversi. Itulah yang dihadapai Azalea. Belum lagi tokoh yang dimasukinya adalah seorang gadis yang dikenal antagonis oleh keluarganya.
"Kesialan macam apa ini?!"
Mampukah Azalea melangsungkan kehidupannya? Terlebih ia terjebak pernikahan kontrak dengan seorang tokoh yang namanya jarang disebut di dalam novel. Dimana ternyata tokoh itu adalah uncle sang protagonis pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queen_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMB! (25)
...Selamat Membaca...
...*****...
Tatapan dingin Alex berikan pada kedua putranya yang berada di hadapannya, Darren dan Zendra. Ia memijit pelan pelipisnya yang terasa berdenyut. "Bagaimana lagi papa harus memberitahu kalian berdua? Berhenti untuk berfoya-foya terutama kamu Zendra."
"Tidak bisakah kalian mencontoh Aron yang sudah mengembangkan cabang perusahaan yang papa berikan? Tidak bisakah contoh Aron yang bisa membanggakan papa? Kalian sama saja dengan adik perempuan kalian itu!"
Darren mendongak menatap Alex, "Auris seperti itu juga karena papa yang tidak pernah menghargainya! Papa selalu memperlakukannya berbeda dengan Caramel yang notabenenya hanya keponakan papa!"
"Lagipula apapun yang kami lakukan, pernahkan papa menghargainya? Mengapresiasinya? Atau setidaknya mendukung kami? Pernahkah?" Zendra menatap Alex kecewa, "Dari dulu yang papa pedulikan hanya Caramel atau Aron! Papa tidak pernah melihat kami terlebih Auris!"
"Aku senang Auris membenci papa. Aku senang dia sudah mendapatkan kebahagiaannya. Setidaknya dia terbebas dari papa bejat seperti papa!" ucap Zendra santai.
"Diam kamu Zendra! JIka kamu tidak tahu apa-apa lebih baik diam sebelum papa melenyapkanmu!" bentak Alex menunjuk Zendra.
Zendra terkekeh, "Lakukan pa. Bunuh aku! Aku sudah muak hidup di keluarga ini!"
Darren memegang tangan Zendra dan menggeleng pelan kemudian menatap Alex, "Jika papa hanya ingin mengatakan ini, lebih baik kami pergi. Papa membuang waktu kami yang berharga." Darren bangkit sambil memegang tangan Alex dan keluar dari ruangan Alex.
Darren dan Zendra masuk ke mobil milik Darren. "Dra, kita tidak bisa melawan papa. Sampai kapanpun kita hanya akan menjadi bonekanya saja." Darren tersenyum tipis, "Kakak bersyukur karena Auris sudah keluar dari neraka itu dan bebas dari papa."
"Kenapa kita harus lahir di keluarga itu kak?"
"Semua manusia sudah punya garis takdirnya masing-masing dra. Hanya tinggal bagaimana kita menjalankan takdirnya saja. Seharusnya sejak dulu kita menentang papa dan melindungi Auris. Bukan malah menurut sampai Auris membenci kita sekarang."
"Kau masih melakukan itu?"
Zendra mengangguk pelan.
"Bagaimana pengobatanmu?"
Zendra menoleh dan tersenyum, "Tidak usah pikirkan aku kak. Lagipula aku sudah mengurangi dosisnya. Dan sebaiknya kakak berhenti mengambil uang perusahaan untuk pengobatanku. Jika papa tahu, dia pasti akan menghabisimu kak."
"Tidak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada pengobatanmu agar kau bisa bebas dari obat-obatan itu. Kakak akan mengusahakan apapun agar kau sembuh." "Setidaknya kakak bisa menjadi kakak yang baik padamu." Darren merasakan penyesalan mengingat bagaimana perlakuannya pada Auris selama ini.
"Ku harap kita bisa bebas dari bajingan itu kak."
...*****...
Alex duduk di kursi kebesarannya sambil fokus memeriksa beberapa berkas di mejanya. Pertengkarannya dengan Darren dan Zendra membuat pikirannya sedikit kacau. Dua putranya itu selalu saja membuatnya marah dan kesal. Tidak seperti Aron yang selalu bisa membanggakannya sejak kecil.
Cklek!
Pintu ruangan terbuka menampilkan seorang wanita yang tersenyum pada Alex. Wanita itu menutup pintu dan menghampiri Alex lalu duduk di pangkuannya.
"Ada apa?"
"Aku merindukanmu mas," bisik wanita itu sambil mengelus rahang Alex.
Alex memalingkan wajahnya, "Turunlah Sofia, aku sedang sibuk."
Sofia turun dan berdecak kesal. Ia melipat tangannya di dada sambil menatap Alex sinis. "Kau lebih mementingkan berkas itu dari pada aku mas?! Kau jahat!"
Alex menghela napas pelan, "Bukan seperti itu sayang, aku memang sedang sibuk. Banyak berkas yang harus aku tandatangani sekarang."
Sofia mendudukkan dirinya di sofa yang berada tidak jauh dari meja Alex. Ia menyilangkan kakinya dan menatap Alex. "Kapan mas akan menceraikan Zanna?"
"Menceraikan? Kapan aku mengatakan padamu jika aku akan menceraikan Zanna?"
Alis Sofia menukik tajam mendengar ucapan Alex barusan. "Maksudnya mas tidak akan menceraikan Zanna?"
ALex mengangguk. "Dia istriku."
"Tidak! Mas tidak bisa melakukan itu! Mas mengatakan padaku akan melakukan apapun untukku! Mas bilang mas mencintaiku! Tapi apa ini?!" Sofia memekik kuat pada Alex. "Mas tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Aku sudah berusaha melakukan apapun untuk hubungan kita sampai aku membunuh suamiku sendiri demi bisa bersamamu! Seharusnya kamu juga bisa menceraikan Zanna untukku mas!"
Alex tetap fokus pada berkas di tangannya, "Itu urusanmu, tidak ada urusannya denganku. Aku tidak pernah menyuruhmu untuk membunuh Arzan saat itu." Alex menatap Sofia datar, "Dari awal kau menyetujui jika hubungan kita hanya sebatas kekasih, kau bahkan tidak masalah jika kita tidak harus menikah. Kenapa sekarang malah menyuruhku untuk menceraikan Zanna?"
Sofia mengepalkan tangannya marah. "Kau jahat mas! Aku benci padamu!"
"Kalua begitu akhiri saja hubungan kita dan silahkan pergi dari kediamanku."
Sofia terdiam. Mulutnya mendadak terkunci mendengar ucapan Alex. *"Tidak boleh! Aku tidak bisa mengakhiri hubungan ini! Jika aku keluar dari kediaman itu, berarti aku akan hidup miskin. Sial! Aku tidak mau." *Sofia berjalan menghampiri Alex dan memeluk leher pria itu dari belakang. "Maafkan aku mas. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku cuma...merasa jika akhir-akhir ini mas tidak lagi mencintaiku. Aku takut mas akan mencampakkanku."Sofia mengecup pipi Alex, "Aku tidak akan menuntut mas lagi untuk menceraikan Zanna."
...*****...
Zanna duduk di pinggir kasur. Membuka laci nakas yang berada di kamarnya. Mengeluarkan sebuah foto dan menatapnya dengan datar. "Teruslah bermain sampai kalian jatuh ke perangkap kalian sendiri."
Zanna mengambil hp nya dan menghubungi seseorang, "Katakan pada Oman jika aku akan kembali." Zanna memutuskan panggilan itu dan menyeringai tajam. "Aku tidak akan membiarkan putra dan putriku menderita."
Zanna berjalan menuju balkon kamarnya. Langit yang mulai gelap menjadi temannya sehari-hari saat Alex masih berada di kantor. Setiap harinya ia akan memandangi langit gelap di dari balkon kamarnya sambil menikmati secangkir teh.
Helaan napas kasar Zanna keluarkan dari mulutnya berkali-kali. Tatapan datarnya kini berubah sendu dan penuh penyesalan. "Kalau saja aku mendengarkan nasihat papa, mungkin keluargaku tidak akan berantakan dan Auris tidak akan membenciku seperti ini."
"Aku menyesal. Aku membiarkan Alex menyiksa Auris sampai Auris enggan menganggapku ibunya lagi sekarang. Dia bahkan menganggap bi asih jauh lebih baik dari ku." Zanna mengingat bagaimana untuk pertama kalinya Auris mengabaikannya dengan lebih memilih berpamitan pada bi Asih daripada dengannya. Saat itu ia mengira jika Auris hanya ingin menarik perhatiannya agar ia merasa cemburu. "Mama menyesal Auris, maafkan mama."
...*****...
Komen like sama vote jangan lupa dong😚😚