Istri mana yang tak bahagia bila suaminya naik jabatan. Semula hidup pas-pasan, tiba-tiba punya segalanya. Namun, itu semua tak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang mengangkat derajat keluarga justru melenyapkan kebahagiaan Jihan. Suami setia akhirnya mendua, ibu mertua penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya. Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula wanita masa lalu Aidan hadir bersamaan dengan mantan suami Jihan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan? Akankah Jihan dapat meraih kembali kebahagiaannya yang hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6~ HANYA WANITA TIDAK BERPENDIDIKAN
Pagi-pagi sekali Fahmi telah bersiap-siap untuk berangkat ke luar kota. Setelah memastikan tidak ada barang bawaannya yang tertinggal, ia pun keluar dari kamar tamu yang ditempatinya semalam bersama Windi.
Fahmi berjalan menuju dapur, mencari keberadaan Windi yang beberapa saat lalu ke dapur dan katanya ingin membuatkan sarapan untuknya sebelum pergi.
Mendengar derap langkah mendekat, Windi segera menggeser Jihan yang sedang memasak nasi goreng. Memasang badan di depan kompor seolah-olah dia yang telah memasak nasi goreng itu.
"Hem, aromanya wangi sekali. Aku jadi keroncongan," Fahmi mendekat, melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Windi. Bahkan bibir nya nyaris saja menyentuh pipi wanita itu.
Melihat pemandangan itu, Jihan langsung membuang pandangan ke arah lain. Kedua matanya seketika berkaca-kaca, tidakkah Fahmi melihat keberadaannya, tanpa perasaan bermesraan di depan matanya.
"Nasi gorengnya sudah jadi, Mas sarapan dulu ya sebelum berangkat." Ujar Windi seraya mematikan kompor.
Ketika ia hendak menuangkan nasi goreng itu ke dalam wadah, Fahmi langsung menahan pergelangan tangannya. "Kan kamu yang udah bikin nasi gorengnya, sekarang biar Jihan yang menyajikannya." Ucapnya lalu menoleh menatap Jihan.
"Kamu tuh apa-apaan sih, kenapa diam aja di situ gak bantuin Windi? Sekarang cepat sajikan nasi gorengnya, aku harus segera berangkat!" Setelah mengatakan itu, Fahmi langsung mengajak Windi ke ruang makan.
Jihan tersenyum getir menatap kepergian suami dan madunya, lalu berpindah menatap nanar nasi goreng buatannya. Apakah sudah benar-benar hilang perasaan Fahmi terhadapnya, sampai-sampai aroma masakannya pun sudah tak dikenali oleh suaminya sendiri.
Padahal, dulu Fahmi selalu hafal aroma masakannya. Bahkan ia dan ibu mertuanya pernah membuat masakan yang sama dan meminta Fahmi untuk menebak yang mana buatannya, dan Fahmi berhasil menebaknya dengan benar.
Setelah memindahkan nasi goreng itu kedalam wadah, Jihan gegas membawanya ke ruang makan. Sekali lagi, ia disuguhi pemandangan yang yang membuat dadanya sesak. Fahmi sedang bersimpuh di hadapan Windi sambil mengelus-elus perutnya. Sedang bu Neny tersenyum menatap keduanya.
"Sayang, Papa keluar kota dulu selama beberapa hari. Kamu baik-baik ya dalam perut Mama." Fahmi pun beranjak setelah melabuhkan kecupan di perut Windi, dan duduk di samping istri keduanya itu.
"Tadi Mas bilang mau ke luar kota, kenapa Mas tidak bilang padaku?" Tanya Jihan.
"Tapi sekarang kamu udah tahu, kan?" Ujar Fahmi tanpa melihat kearah Jihan.
"Iya, tapi kan seharusnya Mas bilang sejak awal kalau mau ke... ."
"Udah, gak usah bawel!" Potong Fahmi, "Aku bilang atau enggak sama kamu, gak ada bedanya."
"Iya, Mbak. Mas Fahmi udah bilang kok sama aku, kan aku juga istrinya Mas Fahmi sekarang. Jadi sama aja, kan?" Sahut Windi sambil tersenyum.
Jihan tak lagi menanggapi, ia menghidangkan nasi goreng ke piring suaminya, tak lupa untuk ibu mertuanya juga. Hal yang selalu ia lakukan selama ini.
"Sekalian ke piring Windi juga," titah Fahmi ketika Jihan hendak meletakkan kembali wadah nasi gorengnya.
"Mas, aku hanya berkewajiban melayani Mas dan ibu. Bukan orang lain!" Ucap Jihan, melirik Windi sekilas.
"Kamu itu kenapa sih? Pagi-pagi udah mau cari gara-gara!" Fahmi menggebrak meja makan lalu berdiri. Menatap Jihan dengan tajam. "Jangan lupa kalau Windi udah jadi bagian dari anggota keluarga ini. Dia istriku!" Tekannya.
Jihan mematung, kedua matanya tak berkedip menatap suaminya. Hanya perkara ia tidak menyajikan nasi goreng ke piring Windi, Fahmi sebegitu marahnya dan lagi-lagi mengingatkan tentang status Windi.
"Lalu, aku siapa kamu, Mas?"
"Kamu? Fahmi tersenyum sinis, "Biar aku ingatkan siapa kamu. Kamu itu hanya wanita tidak berpendidikan yang aku peristri. Seharusnya, sejak dulu aku sadar bahwa kamu itu tidak layak untukku, modal cinta saja tidak cukup, Jihan. Lihatlah dirimu, bahkan setelah kita memiliki segalanya kamu masih tidak pandai merawat diri. Kamu kemana kan uang yang tiap bulan aku kasih?"
Jihan terpejam, bersamaan dengan itu air matanya jatuh, namun dengan cepat ia hapus. Diantara semua cacian yang dilontarkan Fahmi, kali ini tak hanya melukai perasaannya, tapi juga hati dan harga dirinya.
Ia bukannya tak pandai merawat diri, hanya saja karena pekerjaan rumah yang tiada habisnya membuatnya tak memiliki waktu untuk memperhatikan dirinya sendiri. Teruntuk uang bulanan, selalu ia sisihkan sebab ingat bagaimana sewaktu hidup mereka yang hanya serba pas-pasan.
"Mas, kamu sadar tidak dengan apa yang sudah kamu katakan? Aku ini Ibu dari anak kamu. Aku yang sudah menemani kamu sejak 0. Setelah semua pengorbanan dan pengabdian ku, kamu tega melontarkan kata-kata menyakitkan itu."
Bukannya tersadar, Fahmi justru tersenyum sinis mendengarnya. "Sekarang kamu merasa dirugikan, begitu? Ingat Jihan, kamu itu bukan siapa-siapa. Dulu kamu menerima aku karena sadar kamu itu gak bisa apa-apa. Hidupmu itu bergantung padaku, jadi terima saja semua yang ada. Jangan banyak protes!" Tatapannya berubah dingin.
"Selera makan ku jadi hilang gara-gara kamu," Fahmi lalu beralih menatap Windi. "Sayang, aku berangkat sekarang. Jaga diri kamu dan calon anak kita, jangan sampai terlalu kecapean." Ujarnya lalu melabuhkan kecupan, lalu berpindah menghampiri ibunya dan mencium punggung tangannya. Sementara Jihan dilalui begitu saja, tanpa dilirik sedikitpun.
"Ini semua gara-gara kamu. Lihat, Fahmi pergi tanpa sarapan dulu. Dasar istri gak tahu diri!" Hardik bu Neny, menatap tajam sambil mendorong bahu Jihan, kemudian segera menyusul Fahmi dan Windi yang sudah lebih dulu keluar.
Jihan yang tenang ya jangan gugup keluarga Aidan udah jinak semua kok paling Fio aja yang rada2🤭🤭🤭
makanya Jihan jangan meragu lagi ya Aidan baik dan bertanggung jawab kok g kayak sie onta
sampai rumah langsung ajak papa Denis ngelamar ya Ai biar g ditikung si onta lagi soalnya dia dah mulai nyicil karma itu