Selama 10 tahun lamanya, pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tapi, tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni Dean, mantan kekasih serta calon tunangannya dimasa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#23•
#23
Dikamarnya, Dean mondar mandir kebingungan, karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 siang, tapi Adhis belum juga kelihatan keluar dari kamarnya. Padahal sejak semalam, ia bahkan tak bisa memejamkan mata hanya karena sadar bahwa Adhis sedang berada di dekatnya, walau terpisah kamar.
Pukul 06.00 pagi, Dean mengetuk pintu kamar Adhis, setelah memastikan bahwa cuaca aman untuk kembali berkendara ke kota. Namun yang ditunggu belum juga membuka pintu kamar, ‘ah … mungkin Adhis masih tidur’ begitu pikir Dean, maka pria itu pun kembali ke kamarnya, untuk kembali menunggu.
Pukul 07.00 pagi, Dean kembali mengetuk, dan lagi-lagi ia tak memperoleh jawaban. Hingga Dean bahkan menghubungi operator, jangan-jangan Adhis sudah checkout. Syukurlah itu tidak terjadi, karena petugas memastikan bahwa Adhis masih berada di kamarnya.
Tak betah lama menunggu, Dean bahkan mondar-mandir di depan pintu kamar Adhis, tak jauh beda dengan tingkah para suami yang sedang resah karena menunggu proses persalinan istrinya. Kadang ia duduk, kadang mengusap wajah, kadang mengacak-acak rambutnya, kadang menggigiti kukunya sambil mengerang kesal tanpa sebab.
Dean tak peduli dengan orang-orang yang tertawa kala melewatinya, mereka pasti berpikir bahwa dirinya kurang waras dan kurang kerjaan.
Andai ia punya nomor ponsel wanita itu, pasti sudah di terornya sejak pagi, “Mommy punya nomor ponsel Adhis, yah, lebih baik aku bertanya, daripada gila karena penasaran,” monolog Dean.
Akhirnya Dean pun kembali ke kamarnya, menyambar ponsel yang sejak tadi menganggur, karena ia sibuk memikirkan Adhis yang tak kunjung keluar dari kamar.
“Dimana kamu?” sapaan Mommy Bella langsung terdengar.
“Di Hotel, Mom.”
“Berapa lama? Kamu bilang hanya ingin liburan sebentar.”
“Entahlah, Mom, sepertinya aku ingin sedikit lebih lama di Yogya,” jawab Dean.
“Ingat, Uncle Juna menunggumu di Jakarta.”
“Iya, Mom, aku tahu, nanti aku kabari langsung Uncle Juna, dan Aunty.”
“Oh, iya, ada apa?” Mommy Bella kembali bertanya.
Dean menggaruk tengkuknya, kok rasanya seperti kembali ke masa remaja, ia salah tingkah, hanya karena menanyakan no ponsel seorang gadis. “Mmm … Mommy punya nomor ponsel Adhis?” cetus Dean pada akhirnya.
Mommy Bella terdiam sesaat, putranya ini pernah membuat masalah besar gara-gara memutuskan pertunangan secara sepihak. Dan kini, setelah hari sebelumnya mereka bertemu tanpa sengaja, Dean mendadak menanyakan nomor ponsel Adhis, sungguh mencurigakan.
“Mau apa?”
“Ya tanya aja, Mom, emang gak boleh?”
“Jangan macam-macam, Dean!!”
“Nggak, Mom, gak percaya amat sama anak sendiri.”
“Karena kamu pernah berulah,” jawab Mommy Bella mendadak kesal.
“Ya, itu kan dulu, Mom,” sanggah Dean.
“Bahkan masalah yang dulu saja, masih membuat Mommy dan Daddy tak punya muka di hadapan Om Bima!”
“Iya, aku tahu, maaf untuk kejadian dahulu.” Dean menunduk sendu, seolah-olah Mommy Bella ada di hadapannya.
“Putri Om Bima, sama saja dengan putri Mommy dan Daddy, kamu paham itu?!”
“Iya, Mom, maaf.” Sekali lagi Dean minta maaf.
“Walau sudah bercerai, tapi kamu juga seorang Daddy sekarang. Dan Adhis juga sudah bersuami, pokoknya jangan sampai kamu bermain api!” sekali lagi Mommy Bella berpesan.
“Iya, Mom.”
Apapun perkataan Mommy Bella, Dean hanya mengiyakannya, agar sang Mommy bahagia, dan agar ia bisa segera mendapatkan nomor ponsel Adhis.
•••
Suara tangisan anak, masih lantang terdengar, walau berbagai upaya telah Anggi lakukan untuk menenangkan sang buah hati. Namun Qiran masih saja rewel karena sudah hampir satu minggu Raka tak datang menjumpainya.
Yah, hampir seminggu berlalu setelah kejadian arisan tempo hari. Hari sebelum arisan, Raka sudah mengingatkannya agar menjaga Qiran baik-baik, karena ia akan membawa Adhis ke acara arisan keluarga. Tapi, mungkin memang jalan ceritanya demikian, karena akhirnya Anggi kecolongan. Qiran segera berlari kencang ketika melihat Raka melintas di depan rumah.
Bukan sesuatu yang aneh karena selama ini Qiran memang sangat lengket dengan Raka, ketimbang dirinya. Karena itulah ketika Raka darang berkunjung, Qiran seolah tak ingin membuang waktu dengan sia-sia.
Prang!
Qiran kembali melempar gelas kaca yang ada dalam genggaman Anggi, ini adalah wujud pelampiasan amarahnya karena belum juga bisa bertemu sang Papa. Namun lagi-lagi Anggi hanya bisa menarik nafas penuh rasa sabar, karena di marahi pun, Qiran belum tentu mengerti.
“Qilyan mau Papa!!” protes gadis kecil itu sekali lagi.
“Papa masih sibuk, sayang, nanti kalau tidak sibuk, Papa pasti kesini.” Kembali Anggi memberi pengertian, hampir tipis rasa sabarnya, namun Qiran seperti tak mau tahu dengan perjuangannya menahan amarah.
Anggita bukannya tidak mengerti posisinya yang hanya jadi istri kedua, istri di belakang layar, bahkan sebelum ijab qabul, Raka sudah mengatakan tak akan pernah mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi, karena sudah ada Adhis yang lebih dari segalanya bagi Raka.
Raka dan keluarganya hadir bak oase bagi Aggita yang saat itu terlilit hutang pengobatan Ibunya. Bu Dewi menyanggupi akan membayar biaya pengobatan Bu Ema, asalkan Anggita bersedia menjadi istri siri Raka serta melahirkan penerus untuk keluarga Adhitama.
Dengan berat hati Anggita setuju, walau ia kerap merasa jadi wanita penghibur ketika Raka menyentuh tubuhnya. Tapi ia cukup bisa membesarkan hatinya, setidaknya ia melayani suami sendiri, bukan pria hidung belang di luaran sana, maka hal itu sudah lebih dari cukup. Karena nyatanya Raka dan Bu Dewi menepati janjinya, Ia berikan semua fasilitas pengobatan lengkap untuk Bu Ema, hingga membuat Bu Ema bisa bernafas dan menyaksikan tumbuh kembang cucunya.
Sebelum Raka menikahinya, Anggi bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit daerah, itu pun ia tak pernah bisa menikmati uang gajinya secara penuh, karena harus selalu dipotong untuk membayar biaya jamkesnas pengobatan Bu Ema. Tak apa, sungguh tak mengapa, asalkan Anggi bisa terus melihat senyum di wajah Ibunya.
“Assalamualaikum, cucu Eyang, kenapa masih menangis??” tanya Bu Dewi yang tiba-tiba masuk dari pintu depan.
“Qilyan mau Papa, Eyang … hua … hua … hua … “ Qiran kembali menjerit manja, ia tahu bahwa sang nenek akan selalu mengabulkan permintaannya.
“Kasihan cucu Eyang,” sahut Bu Dewi iba, cucunya masih terlalu kecil, jika harus ikut merasakan pahitnya bersaing dengan Adhis, istri kesayangan Papanya. Bu Dewi mengambil alih Qiran, sementara Anggita membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai.
“Kamu tidak menelepon Raka?” tanya Bu Dewi.
“Sudah, Bu,” jawab Anggi lirih.
“Lalu, apa dia bilang?” tanya Bu Dewi penasaran, karena beberapa hari ini pun Bu Dewi tak bisa menghubungi Raka.
“Mas Raka tak bisa di hubungi, Bu. Ponselnya tidak aktif.”
"Sudah telepon ke Rumah Sakit?" tanya Bu Dewi sekali lagi.
"Sudah, Bu, mereka bilang, Mas Raka mengajukan cuti mendadak." Anggita menunduk menatap lantai.
Bu Dewi membuang nafas kesal, inilah hal yang tidak Bu Dewi sukai, Raka yang selalu menomorsatukan istrinya ketimbang ibu kandungnya. Karena itulah Bu Dewi bener-bener mendorong Raka agar mau menikahi Anggita, siapa tahu hati Raka bisa berpaling dari Adhis. Dan yang terpenting, Anggita bisa memberinya seorang cucu, sementara Adhis hanya bisa jadi Ratu yang tak mampu melahirkan keturunan.
“Biar Qiran sama Ibu, kamu sebaiknya pergi ke rumah suamimu.” Gegas Bu Dewi memberi saran.
“Tapi, Bu…” Anggita hendak memprotes, tapi buru-buru, Bu Dewi memotong kalimatnya.
“Nurut saja!” sentak Bu Dewi, “ oh iya, masak juga yang enak, makanan kesukaan Raka, Lalu antarkan ke rumah suamimu. Sekalian cari tahu sedang apa Raka, kenapa sampai tidak ada kabar selama berhari-hari.”
“Bu … “ Kembali Anggita buka suara.
“Lakukan sekarang!! Jangan biarkan Adhis menguasai suamimu seorang diri!! Kamu juga istrinya, kamu berhak mendapat cinta dan perhatiannya!!”
Pecinta textbook pasti 😀
apapun keputusan kak author kamu terima aja ya raka