Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23: Saat Fakta Berbicara
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, Alfariel dan Abyan memutuskan untuk pergi ke ruang administrasi. Tujuan mereka jelas, yaitu mencari tahu hubungan tersembunyi antara Bu Tya dan Difa yang selama ini menjadi teka-teki.
“Pak Andi, kami ingin memeriksa arsip ekskul, terutama yang berkaitan dengan ekskul tari. Apakah Bapak bisa membantu kami?” Alfariel memulai dengan nada sopan.
Pak Andi mengerutkan kening. “Memangnya ada apa? Tapi baiklah, tunggu sebentar.” Dia menghilang ke dalam ruangan dan kembali dengan beberapa map tebal. “Ini semua data tentang ekskul tari. Jangan lupa kembalikan.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Abyan sambil membawa map itu ke meja terdekat.
Saat mereka membuka dokumen, sebuah nama mencuri perhatian mereka. Di daftar anggota ekskul tari, nama Difa memiliki tanda bintang kecil di sampingnya.
“Kenapa nama Difa ditandai seperti ini?” gumam Abyan.
Alfariel membaca catatan kecil di sebelahnya. “‘Memerlukan perhatian khusus dari pembina.’ Apa maksudnya? Bukannya Difa malah dijauhi?”
Mereka melanjutkan pencarian hingga menemukan laporan kegiatan. Komentar singkat dari Bu Tya terasa janggal.
“‘Kurang motivasi.’ Itu alasan yang terlalu sederhana untuk seorang siswa aktif seperti Difa yang sering memenangkan lomba tari,” ujar Abyan.
“Kita butuh lebih banyak bukti,” balas Alfariel. “Mungkin ada sesuatu di arsip evaluasi ekskul secara keseluruhan.”
Abyan mengangguk setuju lalu mulai membolak-balik halaman map lain yang berisi evaluasi rutin ekskul. "Lihat ini," katanya sambil menunjuk sebuah catatan di laporan evaluasi semester lalu. "Difa dimasukkan dalam kategori butuh bimbingan lebih lanjut, tapi tidak ada penjelasan rinci kenapa."
Alfariel membaca dengan cermat. "Padahal, hasil kinerjanya dalam setiap lomba selalu tinggi. Ini benar-benar aneh."
Mereka terus memeriksa dokumen hingga menemukan sebuah laporan yang lain berisi daftar peserta lomba tari tingkat provinsi. Nama Difa ada di urutan teratas dengan catatan: Penampilan luar biasa, namun ada indikasi kurangnya sinergi dengan tim.
"Indikasi kurang sinergi?" Abyan mengangkat alis. "Ini pertama kalinya gue dengar istilah itu digunakan di laporan ekskul."
"Lebih banyak tanda tanya daripada jawaban," gumam Alfariel, menghela napas. "Kita perlu memeriksa arsip tentang interaksi siswa dengan pembina ekskul."
Saat mereka hendak meminta Pak Andi untuk mengakses arsip tersebut, pintu ruang administrasi tiba-tiba terbuka. Sosok Bu Tya muncul di ambang pintu, ekspresinya serius.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan nada tegas.
Abyan dan Alfariel saling bertukar pandang sejenak sebelum Alfariel menjawab dengan tenang, "Kami sedang mencari informasi tambahan untuk memahami lebih baik tentang dinamika ekskul tari, Bu."
Bu Tya memperhatikan map yang ada di meja mereka. Matanya menyipit ketika melihat halaman yang sedang mereka pelajari. "Itu informasi yang cukup sensitif. Apakah kalian punya izin untuk memeriksa semua itu?"
"Kami sudah minta izin Pak Andi," balas Abyan sambil menahan nada gugupnya. "Kami hanya ingin memahami kenapa Difa yang begitu berbakat sering mendapatkan catatan yang tidak sesuai dengan prestasinya."
Bu Tya terdiam sejenak lalu mendekat. "Apa yang kalian cari sebenarnya?" tanyanya, kali ini dengan nada serius.
Alfariel mencoba memanfaatkan momen itu. "Kami hanya ingin memahami lebih baik, Bu. Apakah ada sesuatu yang kami tidak ketahui tentang Difa?"
Bu Tya menghela napas panjang. "Kalau kalian sungguh ingin tahu, mungkin ada baiknya kita bicara secara langsung. Tapi tidak di sini. Mari ikut saya ke ruang ekskul.”
Akhirnya Abyan dan Alfariel mengikuti Bu Tya keluar dari ruang administrasi. Suasana menjadi tegang, hanya langkah kaki mereka yang terdengar di koridor. Saat tiba di ruang ekskul, Bu Tya membuka pintu dan memberi isyarat agar mereka masuk.
Alfariel mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan itu. Dia dapat melihat ada banyak foto kegiatan ekskul yang dipajang di dinding, termasuk foto Difa di salah satu kompetisi tari. Di sudut ruangan, ada rak penuh map dan dokumen yang tampaknya jarang disentuh.
Bu Tya menutup pintu dan berbalik menghadap mereka. "Baiklah," katanya. "Kalian ingin tahu tentang Difa dan catatan-catatan itu. Saya akan jelaskan, tapi kalian harus berjanji untuk tidak menyebarkan informasi ini ke orang lain."
Abyan dan Alfariel mengangguk serempak, menunjukkan bahwa mereka benar-benar serius.
Bu Tya menghela napas sebelum mulai berbicara. "Difa adalah salah satu siswa paling berbakat yang pernah saya temui. Sayangnya, dia harus menghadapi tekanan besar dari teman-teman satu ekskul."
Abyan mengernyit. "Maksud Ibu, tekanan dari siapa?"
Bu Tya menghela napas lagi. "Beberapa anggota ekskul tari, termasuk Mita dan teman-temannya. Mereka merasa iri karena Difa sering menjadi pusat perhatian, baik karena bakatnya maupun prestasinya. Ketika seseorang begitu menonjol, tidak semua orang bisa menerima itu dengan baik."
Alfariel terlihat terkejut. "Mereka mem-bully Difa karena iri? Kenapa tidak ada yang menghentikan mereka?"
"Saya sudah mencoba," jawab Bu Tya dengan nada penuh penyesalan. "Tapi bullying itu sering kali terjadi secara halus, seperti perkataan sinis, menjauhi Difa saat latihan, atau bahkan menyalahkan dia ketika ada sesuatu yang tidak berjalan lancar. Difa jarang mengeluh, mungkin karena dia tidak ingin dianggap lemah. Tapi saya tahu itu berdampak besar padanya."
Abyan mengepalkan tangannya. "Jadi itu sebabnya ada catatan kurang sinergi? Karena mereka sengaja membuat Difa merasa tidak diterima?"
"Ada satu hal lagi yang membuat situasi ini semakin rumit," ucap Bu Tya pelan, suaranya terdengar getir. "Saya sudah mencoba menegur Mita atas perilakunya terhadap Difa, tapi itu malah berbalik menyerang saya."
Alfariel dan Abyan saling berpandangan, bingung. "Maksud Ibu?" tanya Alfariel hati-hati.
Bu Tya mengangguk pelan. "Wakil kepala sekolah adalah omnya Mita. Ketika saya menegur Mita dan melaporkan sikapnya, saya malah mendapat teguran balik. Katanya saya terlalu keras dan kurang bijaksana dalam menangani siswa. Sejak saat itu, saya merasa setiap langkah saya diawasi."
Abyan tampak geram. "Jadi Mita punya perlindungan? Itu jelas-jelas tidak adil! Bagaimana mungkin orang yang salah justru dilindungi?"
"Itulah yang membuat situasi ini menjadi lebih sulit," kata Bu Tya dengan suara pelan. "Bukan hanya Difa yang merasa diintimidasi, tapi saya juga. Setiap kali saya mencoba mengambil tindakan, saya merasa posisi saya di sekolah ini terancam. Mita tahu dia punya kekuatan itu dan dia memanfaatkannya."
Alfariel menggelengkan kepala, mencoba memahami situasi yang begitu rumit. "Tapi, Bu, kalau Ibu tidak bisa bertindak lalu siapa yang bisa membantu Difa? Dia pasti merasa benar-benar sendirian."
"Itu yang membuat saya bingung," jawab Bu Tya, suaranya hampir berbisik. "Saya ingin melindungi Difa, tapi kalau saya bertindak terlalu jauh, saya takut justru saya yang kehilangan kemampuan untuk melindungi dia."
Abyan menatap Bu Tya dengan penuh tekad. "Bu, kami ada di pihak Ibu dan Difa. Kami akan membantu sebisa mungkin. Mungkin kami tidak punya banyak kekuatan seperti Mita, tapi kami tidak akan tinggal diam."
Senyum kecil muncul di wajah Bu Tya, meski masih ada kekhawatiran di matanya. "Terima kasih. Dukungan kalian berarti banyak. Dengan usaha bersama, mungkin kita bisa menciptakan perubahan. Tidak hanya untuk Difa, tapi juga untuk lingkungan sekolah secara keseluruhan."
Alfariel dan Abyan saling menatap dengan keyakinan baru. Mereka tahu jalan di depan akan sulit, tapi mereka tidak akan menyerah demi menciptakan keadilan untuk Difa dan Bu Tya.
***
Di tempat lain, Zidan dan Gibran tengah melaksanakan tugas mereka mengawasi Mita. Dari kejauhan, mereka memperhatikan Mita yang sedang berbicara dengan Dinda. Namun, perhatian mereka tiba-tiba teralihkan oleh suara notifikasi dari ponsel Zidan. Pesan itu berasal dari Alfariel di grup chat.
----- Black Secret -----
Alfariel: Zidan atau Gibran, jangan lupa rekam semuanya ya. Ini penting untuk jadi bukti yang akan kita tunjukkan ke kepala sekolah.
Zidan: Siap, Bos.
Gibran: Oke, beres.
Alfariel: Setelah semuanya selesai, kita akan diskusikan lebih lanjut sepulang sekolah. Gue juga sudah buat janji dengan kepala sekolah nanti untuk menunjukkan bukti kasus ini.
Gibran: Mantap, Bro.
Alfariel: Riz, coba deh lo bujuk Difa supaya mau cerita langsung ke kepala sekolah. Kalau Difa yang cerita langsung mungkin bakal lebih meyakinkan kepala sekolah.
Fariz: Oke, gue coba.
Zidan menoleh ke Gibran. "Denger tuh. Mereka kayak lagi diskusi serius," bisiknya.
Gibran mengangguk pelan dan dengan hati-hati mendekati mereka, berusaha agar tidak menarik perhatian. Tanpa ragu, dia segera mengaktifkan perekam suara di ponselnya dan mulai merekam percakapan tersebut.
“Lo yakin rencana ini bakal aman? Kalau sampai mereka tahu, kita bisa habis,” suara Dinda terdengar lirih diselimuti kecemasan.
Mita menjawab dengan nada yakin, hampir arogan. “Gue udah pikirin semuanya. Lo cuma perlu ikutin apa yang gue bilang, paham?”
Gibran mendekat sedikit lagi, mencoba menangkap lebih banyak percakapan. Namun, dia hampir terpeleset, menginjak dedaunan kering di tanah. Mita dan Dinda langsung menoleh.
"Siapa di situ?" Mita bertanya dengan nada curiga, matanya menelisik ke arah Gibran dan Zidan yang buru-buru bersembunyi di balik semak.
“Gue rasa ada yang nguping,” tambah Dinda. Dia semakin gelisah.
“Abaikan aja,” kata Mita akhirnya, mengibaskan tangannya. “Yang penting, jangan lupa, ini soal reputasi kita. Lo ngerti kan gimana pentingnya ini buat gue?”
Dinda hanya mengangguk pelan tampak masih ragu, tapi mengikuti langkah Mita yang mulai pergi.
Zidan dan Gibran saling pandang, menyadari ada sesuatu yang besar di balik pembicaraan itu. "Kayaknya kita dapet sesuatu, tapi kita perlu bukti lebih banyak," bisik Zidan sambil mengecek ponselnya.
"Setuju," balas Gibran. "Kita ikuti mereka sampai mereka benar-benar berhenti ngomong."
Mita dan Dinda berjalan menuju lorong belakang sekolah, tempat yang jarang dilalui siswa. Zidan dan Gibran terus mengikuti dari kejauhan, memastikan tidak terlihat. Mereka memilih jalur memutar, menghindari perhatian sambil tetap menjaga jarak pandang.
“Ada yang aneh dengan percakapan mereka tadi,” bisik Zidan.
“Jelas. Mita kayak punya sesuatu yang dia sembunyikan,” jawab Gibran sambil memegang ponselnya, memastikan rekamannya terus berjalan.
Mereka berhenti di sudut, menyembunyikan diri di balik pintu besar gudang alat olahraga. Dari situ, mereka bisa mendengar Mita dan Dinda kembali berbicara.
“Lo tahu, gue gak bisa kalah dari Difa. Kalau dia terus menang lomba kayak kemarin, gue bakal makin tersingkir. Ini soal harga diri, Din,” kata Mita dengan nada geram.
“Tapi ini gak benar, Mit,” balas Dinda pelan, nyaris tak terdengar. “Apa gak ada cara lain?”
“Gak ada!” Mita memotong tegas. “Ini satu-satunya cara buat gue tetap di atas. Kalau dia gak keluar dari ekskul, gue bakal bikin dia nyerah sendiri. Gue udah kasih sinyal ke anak-anak ekskul yang lain buat gak nerima dia.”
Mita melanjutkan, “Lo juga harus bantu gue, Din. Gue gak bisa ngelakuin ini sendirian. Kalau om gue tahu, dia bisa bantu kita nutupin ini semua.”
Dinda terdiam, terlihat bimbang. “Gue gak yakin, Mit. Ini gak adil buat Difa. Apalagi dia gak salah apa-apa.”
Mita mendekat ke Dinda, menatapnya tajam. “Lo mau berdiri sama gue atau enggak? Gue pikir kita temenan, Din.”
Dinda menunduk, menghindari tatapan Mita. “Iya, gue ngerti.”
Mita tersenyum puas dan mulai berjalan pergi. Dinda mengikutinya dengan langkah berat, meninggalkan lorong.
Begitu suara mereka menghilang, Zidan menghembuskan napas panjang. “Gila, ini jauh lebih parah dari yang gue kira,” katanya menatap Gibran.
“Ya, kita punya bukti sekarang. Rekaman ini cukup kuat buat ngungkap semuanya,” jawab Gibran dengan nada yakin.
“Kalau gitu, langkah selanjutnya kita ke Alfariel. Dia harus tahu soal ini,” kata Zidan.
Mereka segera keluar dari tempat persembunyian dan berjalan cepat menuju kelas.
***
Pada waktu yang sama, Fariz akhirnya berhasil meyakinkan Difa untuk berbicara.
“Mereka terus bilang gue enggak pantas ada di ekskul tari. Gue enggak tahu harus gimana, Riz.” Difa berkata dengan suara yang bergetar, matanya penuh air mata.
Fariz mencoba menenangkan. “Kita semua di sini buat lo, Difa. Lo cuma perlu cerita ke Bu Tya. Semua bakal selesai kalau lo berani buka suara.”
Difa menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Tapi … nanti gimana kalau mereka tetap ganggu gue?”
Fariz tetap berusaha meyakinkan Difa. “Jangan khawatir, kita bakal jaga lo. Nanti lo harus ikut ke ruang kepala sekolah sepulang sekolah. Gue udah kasih tahu sama Alfariel, dia bakal bantu kita semua.”
Difa akhirnya mengangguk, perlahan percaya bahwa ada harapan untuk menyelesaikan masalah yang selama ini membebani.
***
Bersambung ….