Di tengah hujan deras yang mengguyur jalanan kota, Kinanti menemukan seorang anak kecil yang tersesat. Dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan, anak itu tampak sangat membutuhkan bantuan. Tak lama kemudian, ayah dari anak itu muncul dan berterima kasih atas pertolongan yang ia berikan.
Meskipun pertemuan itu sederhana, tidak ada yang tahu bahwa itu adalah awal dari sebuah kisah yang akan mengubah hidup mereka berdua. Sebuah pertemuan yang membawa cinta dan harapan baru, yang muncul di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rhtlun_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 35
Setelah melewati hari yang menyenangkan di sekolah Kenzo, Julian, Kinanti, dan Kenzo akhirnya tiba di rumah. Begitu memasuki ruang tengah, mereka mendapati Marta dan Adam sudah menunggu dengan wajah yang tampak serius. Marta, seperti biasa, duduk dengan anggun di sofa, sementara Adam duduk di sampingnya dengan raut wajah yang netral.
Ketika Julian melangkah masuk bersama Kinanti dan Kenzo, Marta langsung berdiri. "Julian, ada yang ingin Mama bicarakan denganmu." Ujarnya tegas.
Kinanti yang menangkap nada serius dalam suara Marta segera memahami situasi. Ia pun memutuskan untuk tidak mengganggu percakapan mereka. Dengan lembut, ia menggandeng Kenzo dan berkata, "Ayo, Kenzo, kita ke kamar. Kamu pasti lelah setelah hari ini." Kenzo mengangguk patuh dan mengikuti Kinanti menuju kamarnya di lantai atas.
Setelah Kinanti dan Kenzo menghilang dari pandangan, Marta melipat tangannya di dada, menatap Julian dengan sorot mata penuh harapan. Adam, di sisi lain, hanya diam mengamati interaksi antara istri dan anaknya.
"Nanti malam, kolega kita, Mr. James, beserta keluarganya akan datang ke sini." Kata Marta membuka pembicaraan.
Julian mengerutkan kening, tampak bingung. "Lalu apakah itu ada hubungannya denganku Ma?" Tanyanya datar, menatap ibunya dengan penuh rasa curiga.
Adam yang duduk di sofa hanya menghela napas pelan, tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam percakapan itu. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.
Marta, dengan senyuman kecil di wajahnya, berkata, "Hubungannya ada, Julian. Kita akan membahas beberapa hal penting, dan Mama hanya ingin kamu bersikap sopan kepada mereka nanti malam. Tolong jangan mempermalukan keluarga."
Julian mendengus pelan, tetapi ia mengangguk. "Baiklah, aku akan bersikap sopan. Tapi jika itu hanya makan malam biasa, aku tidak mengerti kenapa harus dibesar-besarkan."
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Julian pun pamit untuk menuju kamarnya. "Kalau begitu, aku ingin membersihkan tubuhku dulu Ma." Katanya sambil berjalan menaiki tangga. Marta hanya mengangguk, memperhatikan anaknya pergi, sebelum akhirnya kembali duduk di samping Adam.
Setelah Julian menghilang dari pandangan, Marta memutar tubuhnya ke arah Adam, memasang ekspresi yakin. "Semoga malam ini Julian mau menerima Olivia." Katanya dengan nada penuh harapan.
Adam, yang sejak tadi hanya diam, kini mengerutkan keningnya. Ia menatap istrinya dengan sorot mata yang tegas. "Julian akan menolak mentah-mentah jika dia tahu rencana ini. Kamu sudah melihat sendiri bagaimana dia bereaksi dengan perjodohan sebelumnya." Kata Adam dengan nada rendah, tetapi penuh peringatan.
Marta mendengus kecil, tidak terpengaruh oleh peringatan suaminya. "Kita lihat saja nanti, Adam. Olivia adalah pilihan yang jauh lebih baik daripada siapa pun yang ada di sekitarnya sekarang. Julian hanya perlu diyakinkan."
Adam menggeleng pelan, tetapi ia tidak lagi membalas. Baginya, percakapan ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Ia hanya berharap Marta tidak melukai perasaan putranya dengan ambisinya yang terlalu besar.
Sementara itu, di lantai atas, Kinanti sedang menemani Kenzo di kamar anak kecil itu. Kenzo tampak sangat senang memegang piala kecil yang berhasil diraihnya dalam lomba membuat kue tadi. Matanya bersinar penuh kebanggaan, dan ia tidak berhenti tersenyum sejak keluar dari sekolah.
Kinanti duduk di tepi tempat tidur Kenzo, memandang anak itu dengan penuh kasih. "Kenzo, apakah kamu lapar? Kalau iya, kita bisa makan sesuatu dulu." Tanyanya lembut.
Kenzo menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, Mama Kinanti. Aku tidak lapar. Tapi aku ingin Mama menceritakan dongeng untukku. Boleh?"
Kinanti tertawa kecil mendengar permintaan itu. "Tentu saja boleh. Ayo, tiduran dulu." Katanya sambil membantu Kenzo berbaring. Setelah memastikan Kenzo nyaman, ia duduk di sampingnya dan mulai bercerita.
Kinanti memulai dongengnya dengan suara lembut, "Dahulu kala, ada seorang anak raja yang hidup di istana besar bersama keluarganya. Namun suatu hari, karena sebuah kesalahpahaman, anak itu diusir dari istana dan harus tinggal di hutan. Ia merasa sangat sedih, tetapi ia tidak pernah menyerah. Anak itu terus berusaha menjadi anak yang baik dan kuat, sampai akhirnya dia bisa kembali ke istana."
Kenzo mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya menatap Kinanti tanpa berkedip. Namun, di tengah cerita, ia tiba-tiba bertanya dengan suara pelan, "Mama Kinanti, kapan Mama Kinanti dan Daddy bisa bersama selamanya?"
Pertanyaan itu membuat Kinanti terdiam sejenak. Ia menatap wajah Kenzo yang penuh harap, matanya yang berbinar menyiratkan betapa besar keinginannya untuk memiliki keluarga yang utuh.
Kinanti tersenyum lembut, lalu mengusap pipi Kenzo dengan tangan lembutnya. "Nanti, Kenzo. Setelah waktu yang tepat tiba, kita akan bersama-sama selamanya."
Kenzo yang mendengar jawaban itu tampak sangat bahagia. Ia bertanya lagi, "Benarkah, Mama Kinanti? Selamanya?"
Kinanti mengangguk, memastikan anak itu merasa tenang. "Ya, Kenzo. Selamanya. Kamu hanya perlu bersabar dan percaya."
Kenzo tersenyum lebar, lalu memeluk Kinanti erat. "Terima kasih, Mama Kinanti. Aku sangat menyayangi Mama Kinanti dan Daddy."
Kinanti membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang. "Aku juga sangat menyayangi Kenzo." Jawabnya dengan suara bergetar karena haru.
Setelah beberapa saat, Kinanti melanjutkan dongengnya hingga selesai. Kenzo yang sudah merasa tenang akhirnya tertidur dengan senyuman di wajahnya, memeluk piala kecilnya dengan erat. Kinanti menatap anak itu dengan penuh cinta, lalu berdiri perlahan agar tidak membangunkannya.
Sebelum meninggalkan kamar, ia membisikkan sesuatu di dekat telinga Kenzo, "Semoga mimpi indah, Sayang. Aku akan selalu ada untukmu."
Setelah memastikan Kenzo tertidur lelap karena kelelahan, Kinanti melangkah keluar dari kamar anak itu dengan hati-hati. Ia menutup pintu pelan-pelan agar tidak mengganggu tidur Kenzo, ia lalu berjalan menuju ke arah dapur. Di sana, ia mendapati Bi Inah yang tampak sibuk memasak untuk persiapan makan malam. Wajah Bi Inah tampak sedikit lelah, tetapi ia tetap cekatan menyiapkan berbagai masakan.
“Bi Inah, sepertinya sibuk sekali sore ini. Sedang memasak untuk apa?” Tanya Kinanti dengan lembut, menghampiri perempuan paruh baya itu.
Bi Inah menoleh sekilas sambil tetap memotong sayur di depannya. “Nanti malam akan ada tamu penting, Nona. Keluarga Mr. James akan datang atas undangan Nyonya besar.” Jawabnya dengan nada serius.
Kinanti hanya bisa ber-oh ria, menyadari betapa pentingnya acara malam itu bagi Marta. "Apakah saya bisa membantu, Bi Inah?" Tanyanya dengan tulus.
Bi Inah yang awalnya ragu akhirnya mengangguk. “Kalau Nona bersedia, tolong bantu saya mempersiapkan bahan-bahan lainnya.” Pintanya dengan ramah.
Kinanti tersenyum dan segera melipat lengan bajunya, mulai membantu Bi Inah memotong bahan dan menyiapkan hidangan. Meski suasana dapur cukup sibuk, keduanya bekerja dengan kompak. Bi Inah mengarahkan dengan sabar, sementara Kinanti melakukan semuanya dengan cekatan.
Ketika masakan hampir selesai, Bi Inah membawa beberapa hidangan ke ruang tengah, sementara Kinanti melanjutkan memasak hidangan lain. Waktu pun berlalu, dan sebelum mereka sadar, jam telah menunjukkan pukul 18.30.
Setelah memastikan semua masakan telah selesai dan dapur kembali rapi, Kinanti pamit untuk kembali ke kamarnya. Ia perlu membersihkan diri sebelum acara makan malam dimulai. Dengan langkah tenang, ia menuju kamarnya yang terletak di lantai atas.
Sesampainya di kamar, Kinanti segera memilih pakaian yang sederhana namun rapi. Ia menyisir rambutnya dengan rapi dan memastikan penampilannya bersih. Ia sadar bahwa meski bukan bagian langsung dari keluarga Marta, ia tetap ingin menunjukkan sikap hormat kepada tamu yang datang.
Sementara itu, Marta dan Adam sudah lebih dulu bersiap-siap di ruang tengah. Marta terlihat sangat bersemangat menyambut tamu penting tersebut. Ia mengenakan gaun elegan berwarna biru tua yang memancarkan kesan anggun. Rambutnya ditata rapi, dan senyumnya tampak penuh percaya diri. Di sisi lain, Adam duduk dengan tenang di sofa, mengenakan pakaian formal yang sederhana. Ia tidak menunjukkan ekspresi antusias seperti istrinya, tetapi tetap berusaha menghormati acara tersebut.
“Keluarga Mr. James akan tiba pukul tujuh. Semua sudah siap, bukan?” Tanya Marta kepada Adam, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Adam hanya mengangguk pelan, tidak memberikan komentar lebih lanjut. Ia sudah tahu betapa ambisius istrinya dalam menjalin hubungan dengan keluarga Mr. James, tetapi ia memilih untuk tidak memperkeruh suasana.
Bi Inah yang telah selesai menyiapkan hidangan kembali ke dapur, meninggalkan Marta dan Adam yang duduk di ruang tengah sembari menunggu tamu mereka tiba.
Di kamar lain, Julian sedang bersiap-siap dengan enggan. Setelah mendapat perintah tegas dari ibunya untuk turun ke ruang tengah, ia akhirnya mengenakan pakaian formal sederhana. Wajahnya menunjukkan rasa tidak tertarik terhadap acara tersebut. Baginya, pertemuan seperti ini hanya membuang-buang waktu.
Saat waktu hampir menunjukkan pukul tujuh malam, Julian melangkah turun dari kamarnya dengan raut wajah datar. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap ibunya yang tampak sibuk memeriksa persiapan akhir.
“Apakah Mama sudah puas? Aku sudah turun.” Katanya singkat dengan nada datar.
Marta menoleh ke arah putranya dan menghela napas lega. “Setidaknya kamu tidak membuat Mama harus menunggu lebih lama. Duduklah di sini, Julian. Tamu kita akan datang sebentar lagi.” Ujarnya, setengah memerintah.
Julian tidak menjawab, tetapi ia menurut dan duduk di salah satu sofa. Pandangannya kosong, menunjukkan betapa tidak antusiasnya ia terhadap pertemuan ini.
Pukul tujuh malam, bel rumah berbunyi. Marta yang sejak tadi menunggu dengan penuh antisipasi segera bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkah menuju pintu dengan senyuman lebar di wajahnya, lalu membuka pintu untuk menyambut keluarga Mr. James.
“Selamat malam, Mr. James, Luna, Selamat datang di rumah kami.” Sambut Marta dengan nada hangat. Di belakangnya, Adam berdiri dengan sopan, memberikan anggukan kecil kepada tamu yang datang.
Mr. James, seorang pria paruh baya dengan penampilan rapi, masuk ke dalam rumah bersama istrinya yang anggun, Mrs. James. Di belakang mereka, seorang perempuan muda yang cantik berjalan dengan tenang. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna pastel yang memancarkan kesan anggun namun tidak berlebihan. Perempuan itu tidak lain adalah Olivia, putri keluarga James.
“Selamat malam, Nyonya Marta, Tuan Adam. Terima kasih telah mengundang kami.” Jawab Mr. James dengan sopan sambil menjabat tangan Marta dan Adam.
Marta mempersilakan mereka masuk dan duduk di ruang tengah. Olivia yang berjalan di belakang orang tuanya sempat melirik ke arah Julian yang duduk di sofa dengan ekspresi datar. Namun, Julian sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, seolah tidak peduli dengan siapa pun yang datang.
Olivia memandang Julian dengan penuh kekaguman. Meski hanya mengenakan setelan sederhana, Julian terlihat begitu memikat. Wajahnya yang tegas dan sikapnya yang tenang memberikan kesan pria dewasa yang sulit ditemukan pada kebanyakan laki-laki lain. Di mata Olivia, Julian adalah sosok sempurna, seorang pria yang tampan sekaligus memancarkan aura misterius.
Namun, Julian memandang Olivia dengan tatapan datar. Ia tidak memungkiri bahwa Olivia adalah perempuan yang cantik, tetapi baginya, kecantikan itu tidak ada artinya dibandingkan dengan pesona Kinanti. Dalam hati, ia merasa jengah dengan situasi yang sedang dihadapinya.
Ketegangan mulai terasa ketika Marta tiba-tiba memperkenalkan Julian kepada keluarga Mr. James. Marta berusaha mencairkan suasana dengan menyebutkan kelebihan-kelebihan putranya.
“Mr. James, Luna, ini putra saya, Julian. Ia adalah seorang pria dewasa yang bertanggung jawab, meskipun sudah menjalani banyak hal dalam hidupnya.” Ujar Marta dengan nada bangga.
Luna tersenyum dan merespons, “Tentu, Julian tampak seperti pria yang luar biasa. Saya yakin ia telah bekerja keras untuk mencapai apa yang ia miliki sekarang.”
Kemudian, giliran Luna yang memperkenalkan putrinya. “Ini putri kami, Olivia. Ia baru saja kembali dari Amerika setelah menyelesaikan studinya. Olivia adalah anak yang cerdas dan berbakat. Kami sangat bangga padanya.”
Marta segera menambahkan, “Olivia adalah anak yang sempurna. Saya yakin ia akan cocok dengan Julian.”
Pernyataan Marta membuat Olivia tersenyum malu-malu. Pipi perempuan itu merona, tetapi ia tetap berusaha menampilkan sikap anggun. Sementara itu, Julian terkejut mendengar kata-kata ibunya. Dalam benaknya, ia mulai menyadari maksud tersembunyi Marta.
“Apakah ini percobaan perjodohan lagi?” Pikir Julian. Pandangannya langsung tertuju pada Marta dengan penuh tanda tanya. Namun, ibunya hanya membalas tatapannya dengan raut memohon, seolah meminta Julian untuk mengikuti keinginannya.
Dengan enggan, Julian mengalihkan pandangannya. Ia memilih untuk tetap diam, membiarkan situasi berkembang tanpa mengeluarkan komentar.
Adam yang duduk di sisi Marta menyaksikan semua ini dengan ekspresi tenang, meskipun dalam hati ia sudah dapat menebak arah pembicaraan tersebut. Ia tahu betul bagaimana ambisi Marta, tetapi ia juga sadar bahwa Julian tidak akan menerima ini begitu saja.
Situasi semakin menarik ketika Marta bertanya langsung kepada Olivia, “Olivia, apakah kamu menyukai Julian?”
Olivia yang sejak tadi hanya tersenyum akhirnya memberanikan diri untuk menjawab. “Saya rasa Julian adalah pria yang hebat. Saya tidak masalah dengan keadaannya sebagai duda yang memiliki seorang anak. Yang terpenting adalah, apakah Julian juga bisa menyukai saya.”
Jawaban Olivia diucapkan dengan nada lembut, tetapi cukup jelas untuk menunjukkan keseriusannya. Kata-kata itu membuat Julian semakin tidak nyaman. Ia merasa situasi ini telah dirancang oleh ibunya tanpa sepengetahuannya.
Tanpa disangka, di saat yang bersamaan, Kinanti yang sedang membawa hidangan bersama Bi Inah tidak sengaja mendengar percakapan tersebut. Langkahnya terhenti di ambang pintu ketika mendengar nama Julian dan Olivia disebut-sebut.
“Apakah benar ini yang sedang terjadi? Nyonya Marta mencoba menjodohkan Julian lagi?” Pikir Kinanti dalam hati.
Ia merasa dadanya sesak, tetapi berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan emosinya. Bi Inah yang menyadari perubahan ekspresi Kinanti segera menghampirinya dan memberikan pelukan untuk menenangkan perempuan muda itu.
Kinanti tersenyum lemah kepada Bi Inah. “Saya rasa lebih baik saya kembali ke kamar saja, Bi. Saya tidak ingin mengganggu pembicaraan mereka.” Katanya dengan suara pelan.
Bi Inah mengangguk, mengerti perasaan Kinanti. Ia membiarkan Kinanti kembali ke kamarnya sementara ia sendiri kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Di ruang tengah, Julian tetap bertahan dengan sikap dinginnya. Ia tidak memberikan tanggapan apa pun terhadap pernyataan Olivia. Dalam pikirannya, ia hanya berharap waktu berjalan lebih cepat sehingga pertemuan ini segera berakhir.
“Aku kira Mama sudah setuju bahwa aku akan memilih calon pasanganku sendiri. Kenapa ini terjadi lagi?” Pikirnya dengan kesal.
Julian bahkan telah memberi tahu ibunya sebelumnya bahwa ia memiliki calon pasangan. Namun, Marta tampaknya mengabaikan hal tersebut dan tetap berusaha mengatur hidupnya.
Olivia, yang tidak menyadari kekesalan Julian, terus memandang pria itu dengan penuh harap. Matanya berbinar, seolah menanti respon positif dari Julian. Sayangnya, Julian tidak memberikan satu kata pun.
Marta yang menyadari suasana mulai memanas segera mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Ia mulai membahas kesuksesan bisnis keluarga James dan memuji pencapaian Olivia selama di Amerika.
“Kami mendengar Olivia meraih penghargaan di universitasnya. Itu pasti sesuatu yang membanggakan.” Ujar Marta dengan nada ramah.
Mrs. James dan Luna tersenyum lembut. “Terima kasih, Nyonya Marta. Kami memang sangat bangga padanya. Olivia bekerja sangat keras selama studinya.”
Pembicaraan tentang pencapaian Olivia berlanjut, tetapi Julian tetap diam. Baginya, semua ini hanyalah basa-basi yang tidak penting. Ia hanya ingin momen ini segera berlalu agar bisa berbicara dengan ibunya secara langsung dan memberikan perhitungan atas tindakan sepihaknya.
Setelah beberapa saat, Marta akhirnya mengisyaratkan bahwa pertemuan akan segera berakhir. Para tamu mulai bersiap untuk pamit, sementara Marta mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka.
“Terima kasih telah meluangkan waktu untuk datang ke rumah kami. Kami sangat menghargai kunjungan Anda.” Ujar Marta dengan senyum yang tidak pernah luntur dari wajahnya.
Mr. James dan keluarganya membalas ucapan itu dengan sopan, kemudian meninggalkan rumah keluarga Julian. Setelah para tamu pergi, Julian langsung bangkit dari tempat duduknya dan menatap ibunya dengan ekspresi dingin.
“Kita harus bicara.” Ucapnya singkat sebelum melangkah menuju ruang kerja pribadinya. Marta yang sudah menduga hal ini hanya bisa menghela napas, sementara Adam memilih untuk tidak ikut campur.
Malam itu berakhir dengan suasana penuh pertanyaan, terutama bagi Kinanti yang masih memikirkan apa yang telah ia dengar. Ia bertanya-tanya, apakah Julian benar-benar akan memilihnya, atau apakah ia harus merelakan hubungan mereka yang sudah lama terjalin?