"Cuma karna I-Phone, kamu sampai rela jual diri.?" Kalimat julid itu keluar dari mulut Xander dengan tatapan mengejek.
Serra memutar malas bola matanya. "Dengar ya Dok, teman Serra banyak yang menyerahkan keperawanannya secara cuma-cuma ke pacar mereka, tanpa imbalan. Masih mending Serra, di tukar sampa I-Phone mahal.!" Serunya membela diri.
Tawa Xander tidak bisa di tahan. Dia benar-benar di buat tertawa oleh remaja berusia 17 tahun setelah bertahun-tahun mengubur tawanya untuk orang lain, kecuali orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Dari tadi saya yang cerita terus. Sekarang gantian saya yang dengerin kamu cerita." Kata Xander seraya menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia menaikan satu kaki di meja dan Serra langsung mengikutinya sambil menyengir kuda.
Xander sama sekali tidak mempersalahkan laki Serra yang berada di atas meja. Dia membiarkan remaja itu melakukan apapun selama nyaman.
Serra tampak berfikir sejenak. "Kisah hidup Serra nggak semenarik kisah Dokter. Serra kan baru 17 tahun, sejauh ini pengalamannya cuma sekolah. Belum banyak pengalaman kaya Dokter." Selorohnya menuturkan.
Xander tersenyum tipis dengan sudut bibir yang terangkat. Dia merasa terhibur setiap kali Serra berceloteh. Pembawaan dan gaya bicaranya cukup santai dan ada kesan ceria di dalamnya.
"Nggak harus pengalaman kamu. Ceritain tentang keluarga misalnya, orang tua dan saudara-saudara kamu." Kata Xander. Pria dengan hidung mancung itu masih antusias menatap Serra untuk mendengar kisah hidupnya.
"Serra anak tunggal. Dulu Serra tinggal sama Nenek di Bandung. Setelah nenek meninggal, Serra pindah ke Jakarta ikut Tante sampai sekarang." Serra menunduk, tiba-tiba jadi merindukan Neneknya. Wanita hebat yang telah merawat Serra sejak Serra masih bayi.
Senyum tipis di bibir Serra terbit. Dia tidak boleh sedih seperti janjinya pada sang Nenek sebelum beliau meninggal. Itu sebabnya Serra masih tetap ceria meski sebenarnya hatinya rapuh.
"Serra ditinggal di rumah Tante sama Om, ada 2 sepupu Serra juga, mereka masih SD." Senyum di bibir Serra makin lebar, dia merasa harus bahagia karna masih memiliki saudara. Tuhan tidak membiarkannya hidup sendiri di dunia ini meski belum pernah bertemu dengan kedua orang tuanya secara langsung. Bahkan wajah Papanya saja Serra tidak tau seperti apa.
Mama Serra menghembuskan nafas terakhirnya 2 jam setelah bayi mungil yang diberi nama Serra Abimanyu lahir ke dunia. Serra hanya memiliki foto Mamanya tanpa memiliki memory sedikitpun tentang wanita hebat yang sudah berjuang mengandung dan melahirkannya. Jika merindukannya, Serra akan menatap foto itu berjam-jam sambil menangis dan berakhir ketiduran karna kelelahan.
"Kata Tante, Mama meninggal 2 jam setelah aku lahir. Kalau Papa, Serra nggak tau. Nenek dan Tante pernah bilang kalau Papa Serra jugasudah meninggal, tapi mereka nggak bisa nunjukin dimana makam Papa. Menurut Dokter, apa Papa Serra masih hidup.?" Serra menatap mata Xander dengan intens. Dalam sorot matanya tampak sebuah harapan yang dapat Xander lihat dengan Jelas.
"Bagaimana dengan kata hati mu.?" Xander balik bertanya. Seharusnya Serra punya naluri akan keberadaan orang tua kandungnya. Jadi Xander perlu tau bagaimana kata hati Serra tentang sosok Papanya. Apalagi Serra seperti tidak yakin jika Papanya sudah meninggal.
Serra menggeleng. "Terlalu rumit. Terkadang Serra percaya Papa masih hidup. Tapi saat ingat bahwa Serra sudah berumur 17 tahun dan belum pernah ada yang datang mengakui Serra sebagai anaknya, Serra jadi percaya kalau Papa mungkin benar-benar meninggal." Ujarnya dengan senyum getir.
Xander reflek menepuk-nepuk pucuk kepala Serra. "Jangan nangis, saya nggak punya permen buat berhentiin tangisan kamu." Ledeknya.
Serra cemberut sambil memutar malas bola matanya. "Emangnya Serra anak kecil yang dikasih permen langsung berhenti nangis. Pakai uang dong, Serra tuh butuhnya uang Dok." Serunya.
Xander menjentik kening Serra menggunakan telunjuknya. "Kerja kalau mau uang." Jawabnya bercanda.
Serra mengangguk dan tiba-tiba naik ke atas pangkuan Xander. Pria itu melotot melihat tingkah Serra.
"Kamu ngapain.?" Xander menatap heran.
Sementara itu, Serra malah terkekeh. "Ngapain lagi kalau bukan kerja. Kerja nyembuhin punya Dokter biar bisa bertarung." Katanya sambil menahan tawa.
Xander menahan tawa melihat tingkah bar-bar Serra. "Nggak perlu, saya udah nggak minat sembuh. Turun, mending kita keluar makan malam." Xander ingin menurunkan Serra dari pangkuannya, tapi kedua tangan Serra malah bergelayut di lehernya sambil menggeleng.
"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran.? Dokter yakin nggak mau sembuh.? Sayangnya Serra udah terlanjur suka punya Dokter, memangnya Dokter nggak mau main sama Serra kalau udah sembuh nanti.?" Serra mengerlingkan matanya untuk menggoda Xander. Satu tangannya juga mulai turun ke dada bidang itu dan membuat gerakan mengusap lembut.
"Sembuh pun percuma, saya nggak akan menikah." Jawabnya.
Serra melongo. Bagaimana bisa Xander bicara seperti itu sedangkan beberapa hari lalu kedapatan pergi berdua dengan kekasihnya.
"Lalu pacar Dokter mau di kemanain.?"
Xander mengangkat sudut bibirnya. "Kami sudah selesai. Dia akan menikah dengan ayah dari bayi yang ada dalam kandungannya."
"What.?!! Jadi pacar Dokter dihamili cowo lain.? Dia di perko sa atau bagaimana.?" Ada ekspresi terkejut bercampur penasaran di raut wajah Serra. Bahkan tatapan polos remaja 17 tahun itu juga terlihat jelas. Entah Serra terlalu polos atau memang sulit berfikir negatif pada orang lain.
"Sudahlah, kamu masih terlalu kecil untuk tau masalah orang dewasa." Kata Xander sambil menoyor kening Serra dengan satu telunjuknya.
"Apa sih Dok, Serra tuh udah gede. Coba sini pegang." Serra meraih tangan Xander untuk diletakkan di dadanya. "Gede kan.? Dokter sudah pernah liat dan pegang juga." Ujarnya tersenyum bangga.
"Otak kamu benar-benar minta di cuci." Cibir Xander heran.
"Ah, Dokter nggak seru lagi." Serra turun dari pangkuan Xander dengan cemberut. "Kalau Dokter nggak mau sembuh, berarti Serra nggak bisa dapet uang dari Dokter lagi dong.?" Serra memasang wajah memelas yang tentunya hanya pura-pura. Dia hanya tidak mau kehilangan sumber uangnya. Xander terlalu royal untuk dilepaskan, sedangkan Serra butuh uang.
"Saya tetap akan kasih uang ke kamu. lagipula saya masih butuh kamu untuk teman mengobrol. Cukup mengobrol seperti tadi." Ujar Xander memberi tau.
Serra masih cemberut, mana enak cuma ngobrol. Apalagi Xander kelewat ganteng, Serra benar-benar tergoda setiap kali berada di samping Xander. Rugi kalau dia tidak berbuat sesuatu dengannya.
"Kalau cium bagaimana.? Serra udah terlanjur ketagihan sama ciuman Dokter, jadi Dokter harus tanggungjawab." Katanya kemudian menyengir kuda.
"Mesum.!" Xander mendorong wajah Serra agar menjauh karna tadi mendekatkan wajahnya.
"Beresin mejanya, kita keluar 15 menit lagi." Xander beranjak dari sofa dan pergi ke kamarnya untuk mengambil dompet dan kunci mobilnya.
Serra berdecak sambil membereskan bungkus cemilan dan sisa makanan di atas meja.
...******...
"Mau makan apa.?" Tanya Xander ketika baru melajukan mobilnya dari basemen.
"Dokter suka makanan Sunda nggak.?"
Xander mengangguk sebagai jawaban. Padahal dia baru 2 kali makan makanan Sunda, selebihnya western food dan makanan laut yang diolah menjadi makanan modern.
"Boleh ke Waroeng Sunda.?" Tanya Serra dengan binar dimatanya. Sejak pertama kali datang ke Jakarta, Serra sudah tau ada restoran Sunda yang cukup bagus dengan makanan super enak. Karna harganya tidak murah, jadi Serra belum pernah mengunjunginya. Sekarang dia pergi bersama Xander, jadi tidak perlu takut jika memilih tempat makan yang bagus dan mahal.
"Boleh." Jawab Xander seraya melirik Serra yang tampak mengulum senyum lebar.
Serba salah.
Anna kasihan juga karena Zayn nya cuek, tapi ya gimana.. kan cinta ga bisa dipaksakan. Tapi kita ga tau juga sih perasaan Zayn ke Anna sebenarnya gimana, soalnya tadi waktu Aron narik pergelangan tangan Anna, Zayn tiba² termenung. Entah apa maksudnya.