Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lima
💙💙💙💙
Ara spontan mengangkat wajahnya saat bosnya tiba-tiba meletakkan kunci mobil milik pria itu di atas meja. Keningnya kemudian mengerut heran.
"Apa ini, Pak?" tanyanya dengan ekspresi bingung. Ara kemudian menggeleng cepat dan meralat pertanyaannya, "enggak, maksud saya buat apa ini, Pak?" Ia menatap sang atasan dengan ekspresi tidak yakinnya.
"Jemput adik saya."
Kening Ara semakin mengerut heran. "Pak Garvi punya adik?"
Garvi langsung mengangguk cepat tak lama setelahnya. Kini ia sudah kembali ke mejanya, sedangkan Ara hanya mampu memasang wajah bingungnya.
Sebuah fakta baru.
"Tapi, Pak, saya kan nggak tahu adek Bapak. Saya aja bahkan baru tahu kalau Bapak punya adik."
"Tunggu sebentar!" ucap Garvi.
Garvi mengutak-atik ponselnya untuk mengirimkan foto sang adik.
Setelah ketemu ia langsung mengirimkannya.
Tak lama setelahnya ponsel Ara menyala tanda ada pesan masuk. Ternyata itu dari sang atasan. Ia kemudian langsung membukanya.
Kedua matanya melotot kaget. "Adik Pak Garvi baru lulus SMA?" tanyanya kaget.
Wow, bukankah kalau begitu artinya gap years mereka lumayan jauh?
Di luar dugaan, Garvi menggeleng. "Dia udah ambil Magister kok, terakhir saya kontak sih udah ngerjain thesis, harusnya sekarang udah lulus sih. Soalnya saya juga lupa kapan terakhir kontak dia sebelum ngabarin kalau dia mau pulang dan minta jemput."
"Bapak yang bener aja dong, adiknya udah lulus S2 tapi yang dikirim foto kelulusan SMA?" tanya Ara dengan ekspresi tidak percayanya, "mana yang dikirim foto aib lagi," gerutunya kemudian, "takut banget saya naksir, Pak?"
"Foto aib bagaimana?" tanya Garvi sambil tertawa tidak terima, "saya cuma punya dia pas kelulusan SMA saja."
"Ya, ini fotonya tegang begini kok, Pak. Jadi masuknya kategori foto aib lah," balas Ara dengan wajah sedikit kesalnya.
"Tapi menurut saya lucu kok. Dan kamu boleh naksir kalau memang mau, cuma dia emang tingkahnya agak unik."
Ara meringis canggung, karena bingung juga hendak membalas apa. Memang suka ngadi-ngadi bosnya ini.
"Zahra," panggil Garvi tiba-tiba, "menurut saya itu bisa jadi ide yang bagus deh."
Ara mengerutkan dari bingung. "Ide bagus apaan?" Ia tidak terlalu fokus dengan pertanyaan sang atasan karena fokusnya sekarang mengamati foto yang dikirimkan Garvi, "btw, ini adik Bapak lulusan SOPA?"
"Hah? SOPA apaan sih? Tempat duduk? Kita lagi bahas adik saya loh, saya setuju deh kalau kamu sama dia. Bisa jadi win-win solution, kamu masih bisa tetap kerja sama saya, Mama saya juga nggak perlu bujuk-bujuk Dika supaya nggak balik ke Korea."
"SOPA, Pak, School of Performing Arts Seoul. Kan emang singkatannya SOPA."
Ekspresi Garvi terlihat sedikit kebingungan. "Memang iya? Saya kurang tahu malah, iya, dia memang sekolah di sana, tapi baru tahu kalau ada singkatannya begitu. Kamu tahu dari mana deh kalau ada singkatan begituan?"
"Wisshh, Bapak ngeremehin saya nih? Saya ini stan kpop dari zaman generasi ke dua, jadi saya khatam kalau soal beginian. Adek bias saya soalnya alumni SOPA juga loh."
Kali ini ekspresi Garvi berubah, pria itu terkekeh geli sambil membalik lembaran kertas yang ada di hadapannya lalu menatap Ara sebentar.
"Bukan suami online kamu?" ledeknya kemudian.
Ara langsung tertawa. "Bukan, Pak, suami online saya nggak ada yang alumni sana."
"Sama adik saya saja biar ada kalau gitu."
Ara berdecak sambil geleng-geleng kepala. Perempuan itu kemudian berdiri dan mencangklongkan tasnya.
"Serah Bapak aja lah, saya mau langsung berangkat saja."
"Hati-hati," pesan Garvi, "sama satu lagi."
Ara menaikkan sebelah alisnya. "Apa, Pak? Bapak mau nitip sesuatu?"
"Jangan lupa benerin dulu make up kamu biar keliatan menarik adik saya."
Kali ini Ara terlihat seperti kehilangan kata-kata untuk sekedar membalas sang atasan. Yang mampu ia lakukan hanya tersenyum ala kadarnya lalu pamit pergi.
Ara tidak peduli dengan pesan sang atasan yang memberinya semangat untuk menggoda adik pria itu.
Astaga, Tuhan, punya bos begini banget deh? Batin Ara tidak habis.
💙💙💙💙
Garvi langsung meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali fokus pada kerjaannya. Tak lama diletakkan, benda pipih itu kembali berbunyi. Tanpa melirik ke arah layar, ia langsung menggeser tombol hijau dan menempelkannya pada telinga kirinya.
"Apa lagi, Zahra?"
"Aku Arin, Vi, bukan PA kamu," sahut suara dari seberang dan terdengar kesal.
Garvi langsung menjauhkan ponselnya untuk memastikan siapa yang baru saja menelfon, dan ternyata nama sang kekasih yang ada di layar.
"Sorry, aku pikir Zahra."
Terdengar suara dengusan dari seberang. "Ara ke mana sih emang?"
"Jemput Dika."
"Dika siapa?"
"Kamu nggak tahu apa lupa, Rin?"
Bukannya menjawab, Garvi malah balik bertanya dan tentu saja itu menimbulkan decakan sebal dari Arin.
"Aku nggak ngerasa kenal sama yang namanya Dika, Vi. Kamu nggak pernah kenalin aku ke temen atau rekan kerja kamu yang namanya Dika."
"Dika itu bukan teman atau rekan kerja aku, Rin, tapi adik aku."
"Adik kandung?" Nada bicara Arin terdengar kaget, "kamu punya adik? Aku pikir kamu anak tunggal, Vi. Serius. Sumpah, aku nggak tahu kalau kamu ternyata punya adik."
"Kita pacaran hampir setahun dan kamu nggak tahu aku punya adik?"
"Ya, kamu nggak pernah cerita, Vi."
"Kamu juga nggak pernah cerita kalau kamu punya kakak. Tapi aku tahu. Apa segitu nggak tertariknya kamu sama keluarga aku dan keluarga aku?"
"Wait, wait, Vi, kita nggak berantem perkara hal ini?"
Garvi memijit pelipisnya yang mendadak pening, lalu menghela napas panjang. "Menurut kamu?"
"Enggak."
Garvi kembali menghela napas. "Oke, jadi kenapa kamu nelfon?"
"Astaga, hampir lupa. Gini, aku diundang temen aku buat acara launching produk barunya, kamu bisa kan temenin aku?"
"Kapan? Kalau soal ini kamu harusnya tahu bukan aku yang kamu hubungi, Rin, tapi Zahra."
Kali ini giliran Arin yang terdengar menghela napas. "Aku tahu, cuma emang nggak boleh ya aku telfon pacar aku sendiri?"
Garvi terkekeh. "Ya boleh lah, masa nggak boleh. Hm, bau-baunya ada yang kangen nih."
Arin tidak langsung menjawab, dan Garvi yakin kekasihnya itu pasti sedang mengigit bibirnya sambil berpikir hendak mengatakan hal jujur atau tidak.
Garvi tahu sang kekasih memiliki gengsi yang tinggi.
"Nanti aku mampir, udah bibirnya nggak usah digigit, kasian nanti berdarah."
"Tapi aku lagi nggak di Jakarta," balas Arin terdengar ragu-ragu.
Garvi sedikit terkekeh. "Enggak papa, di mana emang?"
"Singapure."
Garvi manggut-manggut paham. "Oke, nanti aku nyusul," balasnya tanpa beban.
Tapi Arin yang mendengar itu tentu saja ketar-ketir. "Vi, kamu barusan bercanda doang kan?" tanyanya tidak yakin.
Arin bukan tidak yakin dengan Garvi, tapi tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri. Bukan apa-apa, masalahnya ia tahu betul kalau sang kekasih tipekal yang suka nekat.
"Emang kedengerannya kayak orang lagi bercanda?" Garvi balik bertanya dengan nada santainya.
Sedangkan Arin sudah cemberut menahan kesal di seberang.
"Serah kamu lah, Vi."
"Oke, tungguin aja ya. Nggak usah share location, nanti aku tanya manager kamu aja. See you, babe!"
💙💙💙💙