Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 06
...***...
"Bunuh saja aku Melo."
"Tidak apa-apa Mona lagipula ini bukan sepenuhnya salahmu..."
"Tidak, aku tahu aku bodoh. Kumohon lakukan apapun yang kau ingin lakukan Melo, marahi aku, pukul aku, aku pantas mendapatkannya, sungguh."
Melody Senja hanya tersenyum tipis menatap sahabatnya yang kini berjongkok sembari menyodorkan ujung ikatan dasi yang melilit leher perempuan itu. Ini merupakan entah kesekian kalinya Mona memintanya untuk membunuhnya.
Alasan yang mendasari selalu sama—belum berubah...
"Aku merasa sangat bersalah, Melo."
"Kau tidak tahu Mona, tidak apa-apa." Balas Melody tenang, meskipun dalam sanubarinya perih itu masih menggelayut, namun ia tahu Mona tidak akan melakukan sesuatu yang menyakitinya dengan sengaja.
"Lagipula dia sendiri yang tidak memperkenalkan diri sebagai Kaalku, 'kan?"
"But, tetap saja Melo..." Mona perempuan itu tidak menyerah, ia masih saja berdiri di hadapannya dengan mimik masih diliputi rasa bersalah.
"Bagaimana mungkin aku tidak bisa menebak bahwa dia adalah seseorang yang sering kau ceritakan? Sungguh aku tidak pernah merasa sebodoh ini"
"Sudahlah tidak apa-apa Mona" Melody mengibaskan tangan, berharap sahabatnya itu akan segera menghentikan topik ini karena bayangan di dalam otaknya mulai berkelana pada tubuh berpeluh Mona dan Kaal saat mereka tengah bercinta, saling menikmati satu-sama lain, berlomba -lomba mencapai kenikmatan....
Deg!
Melody merasa dadanya mendadak berdentum diinjak rasa cemburu, namun ia telah terbiasa meredamnya.
Toh, ini bukan yang pertama kali. Ia mungkin membutuhkan usaha lebih sebab ia mengenal Mona, akan tetapi ia paham bagaimana cara melipat lara dan menggenggamnya erat.
Mendeteksi diamnya, Mona menghembuskan napas panjang. Tangan halus perempuan itu menepuk pundaknya simpatik seraya sang pemilik berujar
"Sungguh kau berhak mendapatkan yang lebih, Melo."
"Aku tahu Mona." Melody tersenyum getir.
"Hanya saja aku tidak mau, atau mungkin aku tidak bisa, aku terlanjur mencintainya Mona."
Ia melirik ke Mona yang menggelengkan kepala, perempuan itu jelas kehilangan cara untuk meyakinkannya. Memberengut, Mona menyandarkan kepala pada pembatas kubikel.
"Lalu apa yang terjadi di antara kalian setelahnya?" tanyanya.
"Pertengkaran besar, tidak seperti biasanya waktu itu Kaal memilih berdebat alih-alih menghindar seperti yang biasa ia lakukan" jawab Melody segera.
Ia menceritakan detail pertengkaran yang dimaksud dengan teliti. Mulai dari setiap perkataan awal Kaal hingga konklusi yang diucapkan oleh lelaki itu di ujung seteru.
"Dia berkata," Melody mengingat wajah berang Kaal malam itu, mengingat bagaimana Kaal mendadak mendekatkan wajah mereka sebelum mendesiskan...
"Baiklah Melody akan kukabulkan permintaanmu, kau ingin suatu hubungan? Kau ingin kita menjadi sepasang kekasih? Maka mulai saat ini kita kau kekasihku, kau puas?"
Mona tampak mengernyitkan kening, ada kekhawatiran yang berenang di sana.
"Melody jangan katakan bahwa kau memintanya dan menyetujui perkataanya. Aku mohon jangan kata—"
"Aku menyetujuinya Mona."
"Oh ayolah Melody." Mona menghentakkan kaki frustasi.
"Kau tahu dia hanya akan mencari cara untuk lebih leluasa menyakitimu. Dia lelaki brengsek, kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari Kaalmu itu"
Melody tertawa kering. Mengetuk-ngetukkan pulpen di genggaman ke permukaan meja, ia menimbang mengapa firasatnya menuntun bahwa pertengkaran silam justru akan mendatangkan cahaya lain ke hubungan mereka yang carut marut.
Tetapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa Kaal akan berhenti membuatnya terluka.
Faktanya, lelaki itu pasti akan melancarkan berbagai cara demi membuatnya setuju bahwa Kaal Vairav bukan seseorang yang pantas mendapatkan hatinya.
Mendongak, Melody meloloskan dengusan lemah.
"Jadi menurutmu, siapa yang lebih bodoh sekarang Mona?"
Mona berdecak gusar, mencondongkan badan ke arahnya demi mempertegas poin.
"Ini bukan perlombaan, Melody Senja." wanita cantik itu menepukan tangannya ke dada Melody.
"Kau sedang bermain-main dengan hatimu sendiri Melody, aku akan terluka, jika saat itu tiba maka hanya ada penyesalan yang tak berguna Melo"
"Aku tahu, setidaknya aku bisa memilikinya, meskipun hanya untuk sementara...."
***
Itu sedikit aneh—melihat Kaal masih mondar-mandir di dalam apartemen sementara waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Biasanya, pada waktu ini, Kaal telah memakai pakaian terbaiknya, rambut ditata ke atas, aroma parfum menguar tertinggal pada tiap langkah yang lelaki itu ambil menuju pintu.
Mengerutkan kening, Melody berjalan ke arah Kaal yang duduk nyaman di depan televisi.
"Apa kau tidak akan keluar hari ini?" Melody bertanya dengan nada yang
sedikit ragu, berdiri menjaga jarak dari Kaal yang terlihat menatapnya bosan.
"Ayolah Melody sekarang kita sedang dalam sebuah hubungan. Ingat?"
Melody membohongi diri jika tanggapan tersebut tidak membuatnya terkejut. Ia mengira apa yang menjadi keputusan Kaal kemarin hanya gertakan semata.
"Aku tidak pernah memiliki hubungan resmi dengan siapapun sebelumnya" Kaal melanjutkan, lelaki itu meletakkan bantal di antara kepala dan sandaran sofa sebelum membuang muka.
"Jadi aku tidak mengerti bagaimana ini bekerja."
Dalam situasi ini, Melody mendadak menemukan sisi lain Kaal Vairav.
Memang benar Kaal Vairav yang merupakan sahabat kecilnya. Seseorang yang mengikutinya kemanapun ketika mereka berada di sekolah dasar. Seseorang yang mudah tertawa sesederhana saat menceritakan kebodohannya—untuk yang kesekian kali, ketika ia menggunakan nail polish sebagai pelembab bibir. Seseorang yang menyukai makanan manis dan begitu mudah tertidur dengan lengan memeluknya erat walaupun usia mereka telah menginjak tujuh belas tahun.
Menjilat bibir, Melody berusaha menggerus serpihan memori itu agar rasa rindu di hatinya musnah.
Kaal mungkin dekat, namun mereka tetap bersekat.
"Kau ingin aku memutuskan bagaimana hubungan ini berjalan?" ujar Melody tidak lama kemudian, ia menahan getaran suara yang dihasilkan oleh adrenalinnya.
Melody takut ia salah bicara.
Melody takut satu kata akan menghancurkan jembatan yang mulai terbangun saat ini.
Kaal menoleh, memindainya sejenak seolah meneliti keseriusan dibalik ucapannya. Lelaki itu mendesah antipati seraya mengutarakan, "Terserah."
Ada senyum lega yang Melody sembunyikan diam-diam.
Ia akhirnya memberanikan diri mendekat, mengambil posisi tepat di depan Kaal agar dapat menangkap ekspresi lelaki itu.
"Baiklah yang pertama...." Melody menjeda
"Aku ingin kau memperlakukan sebagaimana ketika kau mendapatkan incaranmu."
Pupil Kaal membesar, mulutnya sedikit menganga selagi tubuhnya menunjukkan reaksi bimbang yang akut.
"Aku ingin pengalaman yang sama."
Melody menantang, walaupun dadanya tertampar sembilu ketika mengungkapkan kalimat itu. Namun, ia harus mendapatkan kesempatan ini.
Bagaimanapun caranya.
Kaal tampak menimang sekilas. Menatap Melody dalam keheningan yang perlahan menciptakan aura mencekam, seakan mencoba meyakinkan Melody untuk menarik kalimat sebelumnya.
Akan tetapi Melody lebih keras kepala, sehingga beberapa detik selanjutnya situasi berubah menjadi kontes adu pandang yang intens.
Menarik pandangan terlebih dahulu, Kaal lalu mengedikkan bahu tak acuh.
"Okay jika itu mau mu" Lelaki tampan itu menyetujui, Melody menepis antusiasme yang bergelung di tubuhnya.
"Aku akan lakukan apapun yang kau mau."
...TBC...