Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Arumi memandang jalanan pagi ini yang cukup ramai. Suara klakson tidak jarang turut mengiringi perjalanannya menuju ke rumah sang mertua. Dadanya berdebar begitu cepat ketika hendak bertemu keluarga suaminya.
Wanita itu melirik ke arah Narendra yang sedari tadi fokus pada kemudinya. Jujur saja, ini adalah pengalaman pertama Arumi pergi bersama suaminya. Ingin mengajaknya berbicara, tetapi Arumi merasa kata-katanya langsung menghilang ketika sampai di tenggorokan.
“Jangan lirik-lirik terus, nanti kalau matamu juling bisa bahaya.”
Rupanya tindakannya barusan diketahui oleh Narendra. Pria itu mengulum senyum ketika ia menoleh, Arumi sudah membuang pandangannya ke segala arah.
“Siapa yang ngelirik kamu. Jangan kepedean ya!”
“Ngeles aja kayak bajaj. Kamu pikir aku nggak tahu, tuh, keliatan dari kaca.” Narendra menunjuk kaca di atasnya.
Blush!
Pipi Arumi terasa memanas. Ia lupa jika suaminya benar-benar tahu akan kelakuannya.
“Kita sudah sampai,” ucap Narendra memberitahu setelah beberapa menit keduanya saling terdiam.
Pria itu bergegas turun dari mobil diikuti oleh Arumi yang mengekor di belakangnya. Wanita itu tampak mendongak, menatap bangunan mewah bertingkat di hadapannya. Dalam hati, Arumi begitu merasa kecil ketika berhadapan dengan keluarga suaminya.
“Ayo!” Narendra berseru pelan ketika Arumi tampak termenung di teras rumah.
“I-iya, tungguin!”
Dewi, Bagas, dan Galendra yang mendengar suara mobil Narendra bergegas menuju ke depan untuk menyambut pengantin baru yang pertama kali bertandang ke kediamannya.
“Assalamu'alaikum, Ma, Pa, –” Tatapan Arumi berhenti ketika mendapati pria yang serupa dengan suaminya.
“Wa'alaikumsalam, dia adik kembar suamimu, namanya Galendra,” beritahu Bagas.
“Selamat datang di gubuk Mama, Nak.” Dewi menyambut Arumi dengan hangat. Dipeluknya sang menantu kemudian mengusap pipinya dengan pelan.
“Mama terlalu merendah, rumah Mama sangat mewah,” puji Arumi dibalas senyum manis Dewi.
"Hai, salam kenal. Aku Arumi.” Arumi menyalami Galendra dengan canggung sebab sang suami tengah menatapnya dengan intens.
“Panggil aja Galen.” Galendra menatap ke arah kembarannya. “Gimana, sekarang udah gol?” tanyanya ambigu.
“Apaan, sih, nggak jelas!” sinis Narendra.
Entah kenapa, Narendra merasa ada yang terbakar dari dalam dadanya ketika melihat Arumi bersentuhan dengan kembarannya. Ia yang sebagai suaminya saja jarang bersentuhan, tetapi kembarannya, baru pertama kali bertemu bisa menjabat tangan istrinya. Ah, andai bukan adiknya, Narendra pasti akan mengibarkan bendera perang pada pria di hadapannya saat ini.
Mendapat tatapan kurang mengenakkan dari Narendra, Galendra lantas terkekeh, mengejek sikap Narendra.
“Sudah, sudah, ayo masuk dulu.” Dewi melerai kedua putranya yang sepertinya kurang baik.
Arumi mengangguk pelan, mengikuti keluarga suaminya masuk ke rumah menuju ruang keluarga. Di sana Arumi telah disuguhi dengan berbagai macam camilan berikut minumannya. Dewi mempersilakan Arumi untuk memakannya.
“Ayo duduk dulu, habis ini baru kalian istirahat ke kamar.”
Di rumah mertuanya, Arumi menjadi wanita yang lemah lembut, terlebih kedua mertuanya selalu memujinya karena bersedia diajak menginap di rumahnya.
Saat ini Arumi tengah bersama Dewi di taman belakang. Menikmati suasana pagi yang cukup cerah dengan segelas teh hangat serta beberapa kudapan.
“Terima kasih, ya, sudah mau bersama anak Mama. Mama pikir kamu akan menjauhi Naren karena kamu tidak mencintai dia, terlebih status Naren yang sebelumnya adalah seorang duda. Arumi, boleh Mama minta satu hal sama kamu?” Dewi bertanya dengan ragu.
“Apa itu, Ma?” Sebenarnya Arumi begitu malu ketika mertuanya mengatakan hal itu.
Ia dan Narendra bukanlah pasangan seperti pada umumnya. Mereka hanya melanjutkan pernikahan dan menjalaninya dengan sama-sama saling belajar. Entah berakhir seperti apa, Arumi hanya menjalankan perannya sebagai seorang istri. Ia juga tidak memikirkan tentang perasaannya, ia hanya akan berusaha memupuk perasaannya dengan kebaikan yang Narendra berikan untuknya. Jika, suatu saat ia mulai jatuh cinta sedangkan Narendra mencintai wanita lain, Arumi akan dengan ikhlas melepaskannya.
“Jaga rumah tangga kalian baik-baik, ya. Belajarlah saling memahami dan mencintai meski itu tidaklah mudah karena masih terasa asing. Pernikahan bukan hanya sekedar ucapan, melainkan perjanjian di hadapan Tuhan. Mama harap kamu bisa menjadi obat untuk luka Naren dan Naren juga bisa mengobati rasa kecewamu terhadap Vino,” ungkap Dewi.
Wanita paruh baya itu tentu saja menghawatirkan rumah tangga putranya. Terlebih keduanya tidak saling mengenal sebelumnya.
Orang taaruf saja masih bisa mengenal lewat biodata mereka, sementara Narendra dengan Arumi baru bisa mengenal setelah mereka selesai menikah. Hal itu cukup membuat Dewi was-was akan nasib rumah tangga mereka.
“Saat ini Arumi mungkin tidak bisa menjanjikan hal itu, Ma. Tapi Arumi akan tetap berusaha untuk bisa menerima pernikahan ini. Jujur saja, ini terlalu berat untuk Arumi, tapi Arumi bersyukur karena Naren tidak menyerah dengan pernikahan ini.”
“Naren pernah mengatakan tentang hal itu?” Dewi terkejut mendengar penuturan menantunya karena setahunya, Narendra adalah pria yang sulit didekati.
Arumi mengangguk. “Iya, Ma. Entah itu benar atau tidak, Arumi mencoba mempercayai Narendra.”
Di lain tempat, Bagas, Narendra, dan Galendra tengah berada di ruang kerja Bagas untuk membahas perihal nanti malam.
Ketiga pria itu tampak serius karena mereka sudah lama tidak saling berhubungan dengan keluarga Vino.
“Aku rasa Vino memang sengaja menjebak kita, Pa,” celetuk Narendra.
“Maksud kamu?”
“Beberapa hari sebelum pernikahan Vino dan Arumi digelar, Vino tiba-tiba datang ke kantor dan meminta Naren dan Galen untuk datang di pernikahannya. Padahal Papa tahu sendiri, ‘kan, mereka tidak pernah lagi menghubungi kita semenjak kakek meninggal. Naren pikir Vino sengaja menjebak kita berdua supaya keluarga Arumi murka dengan kita. Tapi alih-alih marah, ayah Arumi justru meminta Naren untuk menikahi anaknya,” jelas Narendra membuat Galendra membolakan matanya.
“Jadi kamu nikah sama calon istrinya Vino?” Galendra sungguh terkejut dengan cerita yang disampaikan oleh kembarannya.
Ia pikir Narendra memang sudah menjalin hubungan dengan seorang wanita dan kemudian dinikahi secara mendadak, tidak ia sangka jika ternyata Narendra justru menikahi calon istri Vino, sepupunya
“Seperti yang kamu simpulkan. Aku dipaksa menikahi Arumi untuk menutupi malu dari tetangganya,”
“OH MY GOD!” Galendra terpekik heboh.
“Oke, oke. Kita abaikan Galendra yang belum mengetahui ceritanya. Tapi apa motif yang sebenarnya. Tidak mungkin mereka yang aufah berpacaran berbulan-bulan dan sampai menentang restu tiba-tiba putus di tengah jalan seperti ini?” timpak Bagas.
“Aku kurang tahu tentang hal itu dan masih ku selidiki,”
“Lalu, apa nanti malam kamu akan mengajak Arumi ikut bersama kita?” sahut Galendra.
“Tentu saja. Aku ingin melihat reaksi Vino ketika aku membawa Arumi.” Narendra tersenyum misterius.
“Ya, ya, ya, itu terserah kamu, sih. Tapi, Pa. Ngomong-ngomong, kenapa Pak Hasbi tiba-tiba minta kita kumpul di rumah kakek? Bukannya beliau juga tahu kalau kita sudah tidak lagi akur sama keluarga Om Bastian?”
“Entahlah, Papa juga kurang tahu. Tapi waktu itu Papa sempat bertemu dengan Pak Hasbi, kami saling mengobrol dan Papa memberitahu kalau Naren sudah menikah. Hari berikutnya Pak Hasbi minta Papa untuk berkumpul di rumah kakek karena Pak Hasbi ingin menyampaikan sesuatu,” ungkap Bagas pada kedua putranya.
“Kok aneh, ya, jangan-jangan … “ Narendra menghentikan ucapannya.
Pria itu teringat ucapan sang kakek dulu semasa kakeknya masih hidup.
“Kakek bangga dengan kalian. Kamu, Galen, papa serta mamamu begitu gigih untuk mancapai tujuan. Kakek tidak pernah menyesal sudah mengadopsi papamu, justru kakek bangga. Andaikan Om-mu bisa seperti papamu, betapa bahagianya kakek. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Bastian malah menganggap kalian musuhnya.
Naren, jika salah satu dari kalian bertiga (Naren, Galen, Vino) ada yang menikah terlebih dahulu maka kakek akan memberikan satu aset berharga kakek yang tidak pernah diketahui oleh siapapun selain Pak Hasbi, pengacara kakek,”
“Apa mungkin itu?” gumam Narendra.