Dealova, gadis cantik dengan segala kesedihannya. Dipaksa menjadi orang sempurna membuat Lova tumbuh menjadi gadis yang kuat. Dia tetap berdiri saat masalah datang bertubi-tubi menghantamnya. Namun, sayangnya penyakit mematikan yang menyerang tubuhnya membuat Lova nyaris menyerah detik itu juga. Fakta itulah yang sulit Lova terima karena selama ini dia sudah menyusun masa depannya, tapi hancur dalam hitungan detik.
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Mimpi buruk, tidak bisa tidur, kelelahan, sakit sampai berhari-hari sudah menjadi hal biasa untuk seorang Dealova. Semuanya hanya karena satu alasan, yaitu belajar.
Siapa yang tidak mau menjadi orang pintar dan dibanggakan oleh orang tua? Lova rasa semua orang menginginkannya.
Tapi, jika ingin menjadi orang pintar dan dibanggakan, harus sanggup berjuang dan bertahan sampai akhir. Sayangnya, Lova tak sanggup.
Memang benar kalau dia sangatlah ambisius, tapi itu hanya di luar saja, mereka tidak tau kalau ada banyak hal yang Lova sembunyikan.
Jika tak mau belajar, Lova akan mendapatkan hadiah dari papanya, jika nilainya turun, Lova juga akan mendapatkan hadiah dari papanya. Bukankah papanya sangat baik?
Nilai ulangan harian sudah dibagikan, dan nilai Lova tiba-tiba turun drastis, artinya Lova akan mendapatkan hadiah dari papa.
"Nilai kamu harus sempurna, Dea. Gak boleh kurang! Terus apa ini? 85? Kamu bisa hitung berapa nilai yang kamu buang, huh?! Lihat nilai rapor Papa, Mama sama kakak-kakak mu! Semuanya dapat nilai A!"
Vincent menatap marah pada anak bungsunya yang meringkuk di pojok ruangan.
"Kalau sudah seperti ini, kamu bisanya cuma nangis, nangis dan nangis!" bentak Vincent lagi. Tak peduli kalau nanti anaknya akan trauma, yang penting dia bisa mengeluarkan amarahnya saat ini.
"Maaf, Pa...," ucap Lova terdengar bergetar.
"Maaf kamu memangnya bisa menghapus nilai jelek itu?" sinis Vincent.
"Sudah berapa kali Papa bilang, kurangi main hp dan fokus belajar!" lanjut pria paruh baya itu.
"Aku belajar terus kok, Pa... Tolong Papa jangan melihat dari sisi buruknya aja," jawab Lova yang memang benar adanya.
"Jawab! Jawab aja terus!" Tanpa belas kasih, Vincent menendang kaki mungil anaknya.
"Renungkan kesalahan kamu dan berpikirlah untuk menjadi lebih baik. Jangan jadi gadis urakan dan pemalas! Kamu itu perempuan!"
"Malam ini, kamu tidur di sini. Uang jajan kamu Papa potong 85% sesuai nilai buruk kamu itu!"
Setelah mengatakan semuanya, Vincent keluar dari gudang belakang rumah, lalu mengunci pintunya. Dia sama sekali tidak kasihan atau memikirkan bagaimana keadaan Lova kalau tidur di dalam sana semalaman.
****
Rahang tegas milik pria tampan itu berkedut saat melihat layar komputer di depannya. Tatapan matanya menajam, urat-urat tangannya bermunculan kala dia mengepalkan tangannya.
Aksara, pria berusia 26 tahun itu sedang menahan amarahnya hanya karena sebuah video yang ada di layar komputer miliknya.
Entah apa yang dia lihat hingga bisa semarah itu. Sepertinya ada masalah besar yang akan terjadi.
"Fuckk!"
Tangan kekarnya menepis gelas berisi kopi yang ada di meja hingga gelas kaca itu hancur berkeping-keping.
****
Kaivan. Pria tampan berusia 29 tahun yang kini masih betah melajang lantaran terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Dia adalah kakak pertama Lova. Kakak yang selalu memanjakan Lova, tapi sayangnya jarang pulang.
Malam ini, Kaivan pulang ke rumah setelah menyelesaikan operasi pada pasiennya.
Saat dia tiba di rumah, keadaan ruangan sudah gelap karena sekarang sudah jam 12 malam. Untung saja sebelumnya dia mengabari Bi Santi agar tidak mengunci pintu lebih dulu.
Kaivan menaiki tangga satu persatu menuju lantai 2. Tujuannya bukan kamarnya, melainkan kamar Lova. Dia sangat merindukan adik kesayangannya.
Dengan gerakan pelan, Kaivan membuka pintu kamar Lova. Keningnya mengerut saat tak melihat sang adik tidur di atas kasur. Kaivan menyalakan lampu ruangan dan mencari Lova di kamar mandi, namun, tetap tidak ada. Ini sudah tengah malam, tak mungkin jika Lova keluar rumah. Seprei nya pun terlihat masih rapi.
Karena khawatir, Kaivan buru-buru keluar dari sana dan mencari Bi Santi.
"Bi, Dea di mana?" tanyanya langsung. Bi Santi yang hendak menuju kamarnya pun memilih menghentikan langkahnya. Namun, dia tak langsung menjawab, malah terlihat gelisah.
"Nona ada di...."
"Di mana, Bi? Jawab yang jelas," sela Kaivan tak sabaran.
"Ada apa ini? Kaivan? Kamu pulang?"
Suara Vincent membuat keduanya menoleh.
Dari pada jadi serba salah, Bi Santi memilih pamit untuk istirahat lebih dulu.
"Ada apa Kaivan?" tanya Vincent.
"Aku cari Dea di kamar, tapi nggak ada. Papa tau di mana dia?" tanya Kaivan to the point.
"Dia nginap di rumah temannya, kerja kelompok," jawab Vincent. Setelahnya dia berjalan menuju dapur untuk membuat kopi.
"Papa gak bohong, kan?" Tentu Kai tau watak asli ayahnya ini.
"Kamu gak percaya sama papamu sendiri?" sinis Vincent.
"Aku tau sifat Papa, wajar kalau aku gak percaya," jawab Kai.
"Kaivan, Kaivan... Dari dulu kamu gak pernah berubah."
"Mungkin itu perasaan Papa aja."
"Sekarang, kasih tau di mana Dea," lanjut Kai.
"Nginap di rumah temannya."
"Bohong."
"Oke, kalau Papa gak mau kasih tau. Tapi, kalau Dea sampai kenapa-kenapa, aku gak akan segan-segan bawa dia pergi dari rumah ini," ujar Kai.
"Coba aja kalau kamu berani," balas Vincent.
Kai tak menggubris. Dia memilih beranjak dari sana dan segera menuju kamarnya untuk mulai mencari keberadaan Lova.
Kai ingat, dia pernah memberikan gelang untuk Lova. Gelang itu ia pasang pelacak di dalamnya. Hal itu tentu membuat jalannya dalam pencarian Lova lancar.
Pria matang itu membuka laptop dan memulai aksinya. Kemampuannya dalam melacak sesuatu tak diragukan lagi. Selain menjabat dokter, Kai juga menerima jasa melacak sesuatu untuk mengembangkan bakatnya.
Keningnya mengerut kala melihat lokasi Lova yang dekat dengannya. Artinya Lova masih berada di lingkungan rumah ini, tapi di mana?
"50 meter dari rumah?" gumamnya. Namun sedetik kemudian dia terbelalak kala menyadari sesuatu.
"Gudang?"
Kai langsung saja berlari menuju belakang rumah tanpa menghiraukan Vincent yang memperhatikannya.
Kalau sudah berhubungan dengan gudang, pasti masalahnya tak jauh dari papanya sendiri. Karena Kai tau betul apa yang papanya lakukan pada Lova, sebab ini bukan kali pertama lagi.
Brak! Brak! Brak! Kai memukul gembok pintu gudang menggunakan batu.
Tak!
Gembok itu terbuka setelah beberapa kali percobaan. Langsung saja Kai membuka pintu gudang dan segera masuk mencari sang adik.
"Dea?!"
Satu kata untuk keadaan Lova saat ini, mengenaskan.
Tubuh mungilnya terlihat lemas, gadis itu meringkuk kedinginan memeluk tubuhnya sendiri.
"Bang Kai," gumam Lova. Bibirnya sedikit menyunggingkan senyum. Lova senang Kai datang menolongnya.
Kai memeluk adiknya dengan erat. Dia mengusap lengan Lova yang sangat dingin. Bahkan seragam sekolah masih melekat di tubuh Lova.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Kai berdiri menggendong tubuh adiknya dan segera keluar dari tempat biadab itu.
"Kenapa kamu mengeluarkan anak bodoh ini, Kai?" Vincent menatap datar putranya.
"Sadar, Pa! Lova anak Papa!" bentak Kai. Entah harus bagaimana lagi untuk menyadarkan papanya agar tak membuat Lova seperti ini lagi.
"Anak Papa itu gak bodoh," balas Vincent membuat hati Lova sakit.
Kai menggeleng tak percaya. Matanya memerah memendam rasa marah pada papanya sendiri.
Malas berdebat, Kai memilih mengamankan adiknya lebih dulu.
"Abang... Jangan marahin papa," bisik Lova, tapi Kai sama sekali tak menghiraukan.
***
up up up! CRAZY UP!
oiya janlup up ya kak