Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28
Ketika salah satu zombie mutan menerobos masuk dengan tubuhnya yang besar dan kulit penuh luka bernanah, Nafisah segera menyorotkan lampu darurat ke arah wajahnya yang mengerikan. Cahaya itu memantul di mata zombie yang kosong, membuatnya mengerang kebingungan dan mundur selangkah.
Nafisah menahan napas, keringat menetes di pelipisnya. "Nizam! Ini sekarang atau nggak sama sekali! Bantu aku tahan mereka!"
Nizam, dengan tangan yang gemetar, segera mengangkat lampu sorot lainnya dan menempatkannya di arah lain, membuat zombie-zombie mutan terjebak dalam cahaya terang. "Aku nggak tahu seberapa lama kita bisa bertahan, tapi yang pasti kita nggak punya pilihan lain."
Di sudut lain, Seno dan Masagena berlari cepat, berusaha memancing zombie ke lorong sempit. Seno berteriak sambil mengayunkan besi panjang yang ia genggam. "Hei! Ayo ke sini, kalian monster jelek!"
Masagena mengambil batu besar dan menghantamkan ke kepala zombie yang mulai mendekat. "Seno, kita harus buat mereka masuk lebih dalam! Mereka terlalu besar untuk bisa berbalik di sana!"
Seno menggertakkan gigi, hatinya berdebar kencang. "Kalau kita mati di sini, aku harap setidaknya kita bisa buat mereka menderita dulu!" Ucapan itu terdengar penuh amarah dan ketakutan, tapi sorot matanya penuh tekad.
Di tengah kekacauan, Arka dan Gathan bertemu pandang sejenak, lalu tanpa sepatah kata pun, mereka segera mengambil posisi masing-masing, saling melindungi dan bekerja sama dengan cepat dan efektif.
Arka, berteriak sambil menghantamkan palu ke kepala zombie yang mendekat. "Gathan! Bantu aku tahan bagian sini! Kalau kita biarkan mereka masuk lebih jauh, habis sudah kita!"
Gathan menoleh sekilas ke arah Arka, terlihat sedikit terkejut dengan nada perintah Arka yang tegas namun mendesak. "Baiklah! Aku di belakangmu!" serunya sambil mengayunkan pisau tajam ke arah zombie yang mencoba menyerangnya.
Mereka berdua bergantian menyerang, Gathan melindungi bagian belakang Arka setiap kali zombie menyerbu dari berbagai arah. "Mungkin aku terlalu keras pada Arka selama ini... Mungkin dia memang satu-satunya yang bisa pimpin kami keluar dari sini."
Aisyah, yang melihat kerja sama mereka dari sudut ruangan, tersenyum kecil meskipun jantungnya masih berdegup kencang. "Akhirnya... mereka bisa bekerja sama. Kalau begini, mungkin kita masih punya harapan."
Setiap gerakan mereka terkoordinasi dengan baik, dan dalam beberapa menit, sebagian besar zombie mutan berhasil mereka jatuhkan.
Setelah ledakan keras dan suara-suara geraman mulai mereda, kelompok itu terdiam, mengambil napas dengan tubuh penuh luka dan keringat. Arka menurunkan palunya,menghela napas panjang, bahunya turun dengan lelah. "Kita berhasil... untuk sekarang."
Namun, tak lama kemudian, suara serak Seno terdengar, matanya membelalak ngeri ke arah jendela. "Arka... lihat itu..."
Arka dan yang lainnya segera berlari ke arah jendela. Dari sana, mereka melihat pemandangan yang mengerikan. Di luar gedung, gerombolan zombie biasa dan zombie mutan lain bergerak mendekat, jumlah mereka jauh lebih banyak daripada yang baru saja mereka hadapi.
Queensha menutup mulutnya, terisak ketakutan. "Mereka... mereka semakin banyak..."
Aisyah menatap Arka dengan ekspresi penuh kekhawatiran. "Arka, apa yang harus kita lakukan? Bertahan di sini atau... atau mencoba lari?"
Arka berdiri mematung, pikirannya berkecamuk di tengah kebingungan dan rasa takut. la tahu bahwa keputusan ini adalah hidup dan mati bagi mereka semua. "Kita... harus buat rencana evakuasi," katanya akhirnya, meski suaranya terdengar goyah.
Gathan melangkah maju, suaranya penuh determinasi. "Kalau kita mau keluar dari sini, kita harus lakukan dengan cepat dan terorganisir. Atau tidak... kita semua akan mati."
Arka mengangguk dengan perlahan,tatapan matanya tak lepas dari gerombolan zombie di luar sana yang semakin mendekat. "Aku harap... aku membuat keputusan yang tepat kali ini. Kalau tidak, aku tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada kita semua."
Suara dentuman keras terdengar dari pintu depan-suara kayu yang hampir retak dihempaskan dengan keras oleh kekuatan tak manusiawi. Kelompok itu terdiam, menahan napas, menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.
Arka berdiri di tengah ruangan, melihat wajah-wajah anggota kelompok yang menatapnya penuh harapan sekaligus kekhawatiran. Ia menarik napas dalam, lalu berbicara dengan nada tegas meski hatinya dipenuhi keraguan. "Kita harus keluar dari sini. Gedung ini tidak akan bertahan jika zombie mutan terus menyerang.”
Gathan melangkah ke depan, mengangguk setuju. Matanya tajam menatap Arka, penuh determinasi. “Aku setuju. Kita nggak bisa bertahan lagi di sini. Semakin lama kita tinggal, semakin kecil peluang kita untuk hidup."
Nafisah mengangkat tangan, suaranya penuh kecemasan. "Tapi… kita mau ke mana? Di luar sana juga nggak lebih aman.”
Arka menatap Nafisah dan mengangguk perlahan. “Abib dan Delisha sedang meninjau peta. Kita akan mencari rute yang paling sedikit zombie-nya. Ini bukan soal aman atau nggak—tapi soal bagaimana kita bertahan hidup.”
Di sudut ruangan, Nafisah dan Nizam sibuk menghitung bekal makanan dan peralatan. Nafisah, dengan wajah serius, mengisi tas punggung mereka dengan botol air dan makanan kaleng. “Kita nggak bisa bawa semuanya. Jadi hanya ambil yang benar-benar penting.”
Nizam menggenggam botol air dengan tangan bergetar, lalu menatap Nafisah. “Kira-kira… cukup nggak ini?”
Nafisah menggigit bibirnya, menatap persediaan dengan cemas. “Kalau kita hemat, mungkin cukup untuk beberapa hari. Tapi di luar sana, kita nggak tahu berapa lama bisa bertahan.”
Sementara itu, Abib dan Delisha duduk menghadap peta kusut yang penuh coretan dan lingkaran merah. Mata Abib menelusuri setiap jalur kecil yang belum mereka coba, mencari rute yang bisa menghindari zona-zona zombie. “Kalau kita ambil jalan ini, kita bisa lewat samping kota dan keluar tanpa terjebak kerumunan zombie besar.”
Delisha, yang duduk di sebelahnya, mengangguk sambil menatap Abib penuh keyakinan. “Aku setuju, ini jalan yang paling aman sejauh ini.”
Di tempat lain, Jasmine berdiri di lantai atas, matanya awas mengawasi pergerakan zombie di luar gedung. Jari-jarinya menggenggam erat teropong yang sudah mulai usang. Aku harus tetap tenang. Mereka semua bergantung padaku.
Ia melihat bayangan-bayangan zombie bergerak lambat namun pasti, membuat ketakutan mengendap di dadanya. Namun, ia bertekad memberikan informasi terbaik pada kelompok. “Masih aman, tapi kita harus bergerak cepat sebelum mereka mendekat lebih banyak lagi!”
Saat semuanya sudah siap dan mereka hampir bergerak menuju pintu keluar utama, tiba-tiba bunyi langkah berat terdengar, mengguncang lantai. Suara itu semakin keras, mendekati mereka dari lorong gelap di depan. Semua orang terdiam, jantung mereka berdegup kencang.
Dari balik bayangan, sosok zombie mutan yang jauh lebih besar dan bertenaga muncul. Kulitnya terlihat lebih tebal, dengan otot-otot besar yang menggembung, serta mata merah yang menatap tajam ke arah mereka, seolah-olah mengerti bahwa mereka adalah mangsa yang harus dihancurkan.
Napas Jasmine tercekat, suaranya gemetar. “Astaga… itu… itu bukan zombie biasa…”
Arka merasa darahnya berdesir tajam, pandangannya terpaku pada makhluk itu. Ini… ini jauh lebih besar dan lebih kuat dari zombie lain yang pernah kita hadapi.
Gathan menelan ludah, keringat mengalir di dahinya. “Kita nggak mungkin bisa keluar lewat sana. Kita harus cari jalan lain!”
Arka mengalihkan pandangan dari makhluk itu, menatap kelompoknya yang kini dipenuhi rasa panik. “Tetap tenang! Kita harus berfikir cepat!”
Makhluk itu melangkah lebih dekat, geraman dalamnya bergema di sepanjang lorong, menambah ketegangan yang tak terelakkan. Dengan cepat, Arka menunjuk ke arah pintu darurat di belakang mereka. “Kita ambil rute lain! Sekarang atau kita semua mati di sini!”
Semua orang berlari menuju pintu darurat, tetapi suara langkah berat makhluk itu makin mendekat. Wajah Arka pucat, tapi ia tidak punya pilihan selain tetap berada di depan untuk memimpin mereka keluar. Di saat kritis ini, rasa takut dan keberanian bertarung dalam hatinya.
Suara pintu darurat yang terbuka dan suara geraman makhluk itu mengakhiri adegan ini, meninggalkan pertanyaan: akankah mereka berhasil lolos, atau inikah akhir perjalanan mereka?