Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benalu
Naya merasa darahnya mendidih saat melangkah menuju rumah Arfan. Ia sudah memutuskan untuk tidak membiarkan mantan tunangannya itu lepas begitu saja. Dia harus mengambil barang-barangnya yang tertinggal di villa, termasuk kartu kredit yang dengan sembarangan digunakan Arfan.
Setelah sampai di depan rumah, jantungnya berdegup kencang. Tangan Naya menggenggam erat tas kecil yang ia bawa. Dia sudah siap untuk menghadapi Arfan, terlepas dari bagaimana pun reaksi mantan tunangannya itu. Dengan keyakinan penuh, Naya menekan bel pintu dan menunggu.
Tak lama kemudian, Arfan membuka pintu, tetapi pemandangan yang tersaji di depannya membuat Naya terkejut. Arfan berdiri telanjang dada, hanya mengenakan celana pendek, dan wanita asing di sampingnya juga dalam keadaan yang sangat tidak sopan. Naya merasakan seluruh dunia di sekelilingnya bergetar sejenak.
"Dasar tidak tahu malu!" Naya berteriak, suaranya penuh kemarahan. "Cepat kembalikan kartu kreditku dan semua barang-barangku! Bersikap playboy padahal miskin, dasar brengsek!"
Arfan tertegun sejenak, matanya melebar saat melihat Naya. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kemarahan yang terlihat jelas di wajahnya. Dia menyadari bahwa situasinya semakin memburuk dan secepatnya harus memberikan penjelasan, meskipun dia tahu bahwa semua kata-kata itu tidak akan membantunya.
"Naya, ini bukan apa yang kamu pikirkan—" Arfan mencoba menjelaskan, tetapi Naya tidak mau mendengarkan.
"Jangan berbohong lagi! Aku sudah cukup menderita karena semua ini! Kartu kreditku yang kau gunakan itu mengakibatkan aku terjebak dalam masalah finansial!"
Dari belakang, wanita yang berada di samping Arfan tampak bingung, tetapi Arfan menggelengkan kepalanya, memberi isyarat agar wanita itu pergi.
"Naya, tunggu! Biar aku jelaskan!" Arfan bersikeras, berusaha menenangkan Naya.
Naya mengabaikan Arfan dan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa diundang. Ia merasa semua batasan sudah dilanggar, dan tidak ada yang bisa menghentikannya. "Aku tidak akan pergi tanpa barang-barangku!"
Arfan berusaha mencegah Naya, tetapi dia melangkah lebih jauh ke dalam rumah, mencaricari barang-barang yang ia tinggalkan. Pemandangan di rumah itu mengingatkan Naya betapa romantisnya hubungan mereka dulu, tapi kini semua itu sudah menjadi kenangan pahit.
“Barang-barangku ada di mana?” tanya Naya dengan nada tegas.
“Di kamar, tapi—” Arfan mulai, tetapi Naya tidak memberi kesempatan baginya untuk menyelesaikan kalimat.
Dia berlari ke kamar Arfan, membuka pintu dengan kasar dan melihat barang-barangnya berserakan di mana-mana. Tanpa pikir panjang, dia mulai mengumpulkan barang-barangnya, termasuk dompetnya yang berisi kartu kredit.
Arfan mengikuti di belakangnya, tampak putus asa. “Naya, dengar! Aku tidak menggunakannya tanpa izinmu! Aku hanya... Aku terdesak dan butuh uang!”
Naya memutar tubuhnya, menatap Arfan dengan pandangan tajam. “Terdesak? Jadi itu alasanmu bersikap seperti ini? Kau tidak hanya mencuri uangku, tetapi juga menghancurkan kepercayaan yang kuberikan padamu! Kau benar-benar tidak punya rasa malu!”
Kemarahan Naya tak terbendung, dan ia mengambil barang-barang yang ia inginkan, lalu keluar dari kamar dengan langkah cepat. Dia merasa sedikit lega bisa mendapatkan barang-barangnya kembali, meskipun rasa sakit hati masih menyelimuti perasaannya.
Sebelum ia mencapai pintu, Arfan menghadang jalan. “Tunggu, Naya! Jika kamu pergi seperti ini, kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan ini!”
“Apa yang ingin kau selesaikan?” Naya menjawab sinis. “Semua sudah berakhir. Aku sudah cukup menderita karena kamu. Keluarlah dari hidupku!”
Arfan menghela napas berat, terlihat frustasi. “Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Tapi jangan kira aku akan membiarkanmu pergi begitu saja!”
Naya melangkah ke depan, tidak memperdulikan peringatan Arfan. Saat ia membuka pintu dan melangkah keluar, hatinya dipenuhi dengan campuran perasaan lega dan sakit. Dia tidak ingin berurusan dengan orang yang mengkhianatinya lagi.
***
Setelah kejadian itu, Naya memutuskan untuk pergi ke studio kecilnya dan kembali fokus pada pekerjaannya. Dia ingin mengalihkan pikirannya dari semua drama yang baru saja terjadi dan mulai berkarya kembali. Tetapi saat dia sampai di studio, perasaannya tetap saja tidak tenang.
Naya duduk di meja kerjanya, menatap kertas kosong di depannya. Sudah berjam-jam dia mencoba untuk menggambar, tetapi tidak ada satu pun ide yang muncul. Pikiran tentang Arfan dan semua masalah yang ditimbulkannya terus menghantuinya.
Tika, asistennya, datang untuk mengecek Naya. “Kak, kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu sangat tertekan.”
Naya hanya menggelengkan kepala, merasa putus asa. “Aku baru saja berurusan dengan mantanku. Dia... Dia menggunakan kartu kreditku tanpa izin dan saat ini aku masih merasa sakit hati.”
Tika mengernyit, bingung. “Tapi kamu kan sudah putus dengannya? Kenapa kamu masih memikirkan dia?”
“Itu sebabnya aku ingin fokus pada pekerjaanku, tapi semua ini terus mengganggu pikiranku.”
Tika mencoba menenangkan Naya. “Mungkin kamu perlu istirahat sejenak. Kadang-kadang, menjauh dari semuanya bisa membantu.”
Naya merenung sejenak. “Kamu benar. Mungkin aku perlu waktu untuk diri sendiri, jauh dari semua drama ini.”
Tika tersenyum. “Baiklah, jika kamu butuh teman, aku akan menemanimu.”
Setelah berbincang-bincang sejenak, Naya merasa sedikit lebih baik. Ia memutuskan untuk mengambil langkah kecil—berjalan-jalan di sekitar studio atau mungkin pergi ke kafe dekat sana untuk menghirup udara segar. Ini bisa menjadi cara untuk menjernihkan pikirannya dan membantunya menemukan inspirasi baru.
Dengan semangat baru, Naya keluar dari studio kecilnya, berharap bisa menemukan kedamaian di tengah semua kekacauan ini. Dia tahu perjalanan ke depannya tidak akan mudah, tetapi kali ini, dia bertekad untuk tidak membiarkan siapapun menghalangi jalannya lagi, terutama bukan Arfan.
Naya duduk di sudut kafe kecil yang hangat, aroma kopi yang baru diseduh mengisi udara di sekelilingnya. Dia menatap layar ponselnya dengan penuh rasa cemas. Saat dia membuka aplikasi bank dan mengecek saldo rekeningnya, wajahnya langsung memucat. Angka yang terpampang di layar membuatnya tertegun.
“Berapa banyak lagi yang bisa aku habiskan?” gumamnya pelan, matanya terbelalak melihat saldo yang terus menipis. “Sial, ini semua karena Arfan!”
Dia mengerutkan dahi, mencoba mengingat berapa banyak yang sudah dia keluarkan belakangan ini. Memang, dia sudah banyak menghabiskan uang untuk persiapan pernikahannya yang batal dan kebutuhan studio. Tetapi kali ini, tampaknya semua itu harus ditangguhkan.
Naya mengalihkan pandangannya ke Tika, yang duduk di seberangnya sambil menyeruput cappuccino. Asistennya itu tampak tidak menyadari betapa cemasnya Naya. Dia harus segera membicarakan hal ini.
“Tika,” Naya memanggil, suara penuh keengganan.
Tika mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. “Ada apa, Kak? Kenapa kelihatannya stres sekali?”
Naya menghela napas, berusaha menyusun kata-kata. “Kamu tahu, aku masih berusaha bangkit dari semua ini, tapi keadaan keuanganku... aku mungkin tidak bisa membayar gaji kamu bulan ini.”
“Eh?” Tika tampak bingung, dan Naya bisa melihat sorot prihatin di matanya. “Kak Naya, jangan bilang kamu serius. Ada sesuatu yang salah? Kenapa tidak ada pemasukan sama sekali?”
“Karena banyak proyek yang tertunda dan Arfan yang menyita banyak uangku. Aku tidak tahu harus berbuat apa.” Naya merasa berat mengungkapkan keadaan sebenarnya. Dia sudah cukup merasa terpuruk dan tidak ingin terlihat lemah di hadapan asisten yang selalu mendukungnya.