Dilarang Boom Like!!!
Tolong baca bab nya satu-persatu tanpa dilompat ya, mohon kerja sama nya 🙏
Cerita ini berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga yang terlihat sempurna ternyata menyimpan rahasia yang memilukan, merasa beruntung memiliki suami seperti Rafael seorang pengusaha sukses dan seorang anak perempuan, kini Stella harus menelan pil pahit atas perselingkuhan Rafael dengan sahabatnya.
Tapi bagaimanapun juga sepintar apapun kau menyimpan bangkai pasti akan tercium juga kebusukannya 'kan?
Akankah cinta segitiga itu berjalan dengan baik ataukah akan ada cinta lain setelahnya?
Temukan jawaban nya hanya di Noveltoon.
(Please yang gak suka cerita ini langsung Skipp aja! Jangan ninggalin komen yang menyakitkan. Jangan buka bab kalau nggak mau baca Krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertian nya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bilqies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENDUA 33
Pesta ulang tahun Rafella berlangsung meriah di mansion Mama Elena. Balon-balon warna-warni menggantung di langit-langit, tumpukan hadiah berwarna cerah terletak di sudut ruangan, dan musik ceria terdengar memeriahkan suasana.
Ketika saatnya tiba untuk potong kue, Rafella mengambil sebilah pisau, dan dengan penuh senyum, dia membagikan potongan pertama pada Stella, Mommy nya. Selanjutnya, potongan kedua diberikan kepada Mama Elena, Oma nya. Namun, potongan untuk Daddy nya tidak ada. Bahkan, Rafella sengaja mengabaikan kehadiran Rafael, seolah kehadirannya tidak berarti apa-apa di hari ulang tahunnya.
Melihat sikap putrinya Rafael merasa seakan dunia runtuh di hadapannya. Tangannya mengepal, menahan emosi yang mulai meluap. Sakit hatinya semakin dalam, namun dia mencoba tetap tenang, berusaha agar putrinya tidak merasa tertekan. Namun, sekali lagi, kehadirannya seolah tak dianggap.
Saat acara berlanjut, Rafael tidak bisa menahan diri lebih lama. Dia mendekati Rafella yang sedang asyik berbicara dengan teman-temannya.
"Rafella, kenapa kamu mengacuhkan Daddy?" Tanya Rafael dengan nada yang sudah meninggi.
Rafella menoleh sejenak, wajahnya tetap datar. "Pergi sana, Dad! Aku tidak mau melihat wajah Daddy lagi." Teriak Rafella menatap tajam Rafael.
Saat Rafael ingin melangkah mendekati sang buah hati, tiba-tiba langkahnya terhenti.
Stella yang duduk di meja langsung berdiri dengan tegas. "Mas Rafael, berhenti! Kamu tidak punya hak untuk membuat keributan di hari ulang tahun Rafella. Lebih baik kamu pergi sekarang!"
Rafael terkejut mendengar ucapan Stella. "Apa? Kamu mengusirku, Stella! Kamu yang telah membuatnya menjauh dariku. Kamu selalu menanamkan kebencian terhadapku, kan?"
Stella menatap tajam ke arahnya Rafael. "Jangan salahkan aku, Mas. Kamu yang memilih untuk pergi dan meninggalkan kami dulu. Kamu yang membuat jarak, bukan aku!"
Pertengkaran semakin memanas, suara mereka makin keras hingga semua mata tertuju ke arah mereka. Mama Elena yang sejak tadi diam di sudut ruangan, merasa sudah cukup mendengar pertengkaran yang semakin tidak terkendali. Sontak Mama Elena berjalan menghampiri anak dan menantunya.
"Sudah, sudah!" Suara Elena tiba-tiba menggema, menghentikan debat yang tak ada habisnya.
"Rafael, pergilah. Tidak ada yang bisa diselesaikan dengan berteriak seperti ini.”
Rafael menatap Elena dengan kesal, namun dia sadar bahwa dia tak akan menang dalam perdebatan ini.
Rafael hendak membuka mulut untuk membela diri, namun suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian mereka semua. Seorang wanita dengan tubuh seksi melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Itu adalah Angel, istri kedua Rafael, yang datang dengan senyum lebar.
Dengan percaya diri, Angel berjalan mendekat dan menggandeng tangan Rafael. "Suamiku ...." Ucapnya dengan nada bangga, membuat semua yang ada di ruangan terdiam dan menatap ke arah Angel. Dia menatap Stella dan Mama Elena seakan sedang memamerkan kemenangan. "Sudah waktunya kita pergi, Sayang."
Rafael yang semula tampak kebingungan, kini terdiam, canggung. Dia berusaha menghindar dari dekapan Angel, namun Angel tetap mendekat. Dia mengusap lembut wajah Rafael dan berbisik, "Ayo, Sayang, kita pulang. Jangan buat aku menunggu lebih lama lagi."
Dengan langkah gontai, Rafael akhirnya mengalah, mengikuti keinginan Angel. Dia pergi meninggalkan pesta ulang tahun anaknya, meninggalkan Rafella yang terus memandangnya dengan tatapan kecewa yang menusuk. Tak ada kata perpisahan, hanya sebuah kenyataan pahit yang menelan semuanya.
🍁🍁🍁
Pagi itu di sebuah ruangan yang begitu luas, tampak seorang pria yang tengah duduk di kursi kebesarannya dengan setumpuk berkas dan benda lipat yang menyala di hadapan nya. Penunjuk waktu yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 08.30, dan udara pagi yang sejuk terasa masuk melalui celah-celah jendela besar.
Kedua netranya menatap serius pada beberapa berkas yang ada di meja kerjanya. Pikirannya hanya terfokus pada urusan bisnis yang menuntut perhatian penuh, tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain.
Di tengah kesibukannya, pintu ruang kerjanya terbuka. Roni, sang asisten pribadinya, masuk dengan langkah cepat, membawa sebuah amplop coklat di tangannya.
"Tuan, ini ada sebuah amplop untuk Anda." Roni menyerahkan amplop tersebut pada Rafael, lalu dia letakkan di atas meja kerja Tuan nya.
"Terima kasih, Roni." Rafael mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptopnya.
"Iya, Tuan. Saya pamit dulu, ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan." Roni membalikkan tubuhnya, melangkahkan kakinya berjalan keluar meninggalkan Rafael yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Beberapa detik kemudian, Rafael melirik amplop yang ada di mejanya. Biasanya, amplop seperti itu hanya berisi dokumen atau surat biasa. Tapi kali ini, tanpa alasan jelas, hatinya tiba-tiba merasa gelisah. Sebuah rasa penasaran muncul di dalam dirinya. 'Apa isi dari amplop ini?'
Dengan rasa ingin tahu yang semakin besar, Rafael memegang amplop tersebut dan membuka bagian atas amplop itu. Ketika dia menarik sebuah lembaran kertas berwarna putih, matanya langsung tertuju pada beberapa kata yang tercetak di atas kertas itu. "Gugatan Cerai". Hatinya berdegup kencang. Tak bisa dipungkiri, dia terkejut dan bingung.
Rafael membaca seluruh isi surat itu dengan cepat, dan setiap kata seperti menyayat hatinya. Gugatan cerai dari Stella. Surat itu dengan jelas menyatakan bahwa besok pagi, proses perceraian mereka akan dimulai. Sebuah keputusan yang begitu mendalam, yang seolah menghancurkan segala yang dia perjuangkan selama ini.
Rafael menelan ludah, otaknya langsung dipenuhi berbagai pertanyaan dan kebingungan. Stella? Istrinya sendiri menggugat cerai tanpa sepatah kata pun sebelumnya.
"Tidak ... ini tidak mungkin!" Pikir Rafael, menggelengkan kepalanya cepat coba menepis semua fakta yang ada. Rasa marah dan kebingungan mengalir begitu deras. Dalam sekejap, rasa cemas berubah menjadi kemarahan yang membara.
Dengan wajah merah padam, Rafael melemparkan surat itu ke atas meja. Tangannya mengepal, menahan amarah yang mulai mendidih.
"Gugatan cerai?" Gumamnya dengan suara gemetar, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya.
Tanpa berpikir panjang, Rafael berdiri, menyambar kunci mobil yang ada di dalam laci meja nya. Dengan hanya membawa gawai yang ada di tangan kekarnya saja dia bergegas keluar dari ruang kerjanya menuju mobil yang sudah terparkir di luar. Bahkan dia pun melupakan tas kerja yang biasanya selalu dalam tentengan.
Di dalam mobil, nafasnya terasa semakin sesak. Bagaimana bisa Stella melakukan ini padanya? Mereka telah memiliki anak, dan Stella sedang hamil anak keduanya.
Bunyi klakson bersahutan mana kala Rafael memacu kuda besinya secara ugal-ugalan. Rafael bahkan tak segan menyalip dengan cara yang berbahaya, dan juga membunyikan klakson tak beraturan dengan maksud meminta semua yang ada di hadapannya menyingkir memberi jalan, membuatnya mendapatkan berbagai umpatan dan makian dari pengguna jalan yang di laluinya.
Apa Rafael peduli? Tidak. Saat ini yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana caranya dia segera sampai di rumah Mama Elena, ibu mertuanya.
Tin ... tin ...
Tin ... tin ... tin ...
Dua orang security bergegas membuka pintu gerbang utama begitu mendengar bunyi klakson yang di bunyikan berulang-ulang
Mobil Rafael pun masuk.
Ckiiit .... Mobil pun berhenti setelah Rafael mengeremnya secara brutal.
"Selamat datang, Tuan." Sapa Pak Agus dan Pak Andi selaku penjaga mansion mewah itu. Keduanya menunduk hormat begitu Rafael turun dari mobil, mengingat bahwa pria di hadapannya kini adalah suami dari anak majikannya.
Brak
Rafael menutup pintu mobil dengan kencang, lalu bergegas, berlari hendak masuk ke dalam mansion tanpa menghiraukan keduanya.
Tak peduli dengan tatapan penjaga mansion yang menatap curiga, dia langsung memasuki rumah tanpa mengetuk pintu. Ketegangan jelas tergambar di wajahnya saat dia melangkah masuk.
Di ruang tamu, terlihat Stella yang sedang duduk bercengkerama bersama Mama Elena, dengan ekspresi tenang.
"Stella!" Teriak Rafael, suaranya penuh amarah.
Stella menoleh dengan wajah tenang, seolah sudah menunggu pertemuan ini. Wajahnya tidak menunjukkan rasa penyesalan atau kebingungan, sebaliknya penuh ketegasan.
"Mas Rafael ... apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Stella dingin dan tegas, namun ada sesuatu yang membuat Rafael terkejut, seperti keteguhan yang mengeras di dalamnya.
Rafael berjalan mendekat ke arah Stella. "Kenapa kamu menggugat cerai aku? Apa yang salah? Kita masih bisa memperbaiki semuanya, Stella. Aku mencintaimu. Kita punya anak, bahkan kamu tengah mengandung anakku saat ini!" Tegas Rafael.
Namun, Stella hanya menatapnya tajam, matanya penuh keteguhan. "Aku sudah memutuskan, Mas. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan ini. Aku tidak ingin hidup bersama orang yang telah menghianatiku." Suaranya begitu dingin, seolah tak ada tempat bagi perasaan yang dulu mereka bagi.
Rafael, yang sudah tidak bisa menahan emosinya, melangkah maju dan menatap mata Stella tajam. "Jangan bilang seperti itu! Kita punya anak, Stella. Kamu sedang hamil anakku, dan kamu malah ingin bercerai?" Rafael mengulang perkataannya kembali, nada suaranya pun semakin tinggi dari sebelumnya.
Stella menatapnya sekilas, lalu dengan dingin menjawab. "Aku tidak bisa lagi hidup denganmu, Mas. Aku butuh kebebasan, dan ini adalah keputusan yang terbaik."
"Lagi pula kamu kan sudah ada Angel, dia sudah menjadi istri sah mu, bukan?"
"Sayang, kamu tahu sendiri kan, kalau aku menikahi Angel demi Rafella supaya Angel tidak menyakiti anak kita, dan juga ...." Terang Rafael pada Stella berharap sang istri mengerti akan posisinya yang tengah terjepit di antara dua pilihan.
"Dan apa, Mas?"
"Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa menikahi Angel juga karena ... dia sedang hamil anak ku." Akhirnya kalimat itu lolos juga dari bibir tipis Rafael, dia mengakui bahwa Angel tengah mengandung anaknya.
Stella yang mendengar hal itu sontak terkejut, dia benar-benar tidak menyangka jika suaminya berbuat hal yang buruk sampai membuat sahabatnya hamil. Dan itu artinya sejauh ini mereka berdua telah melakukan hubungan terlarang di belakang punggungnya.
"Itu artinya keputusan ku untuk menggugat kamu sudah benar, Mas. Tidak ada yang perlu kamu sesali, dan sekarang fokuslah pada janin yang ada di kandungan Angel." Stella tersenyum miring menatap Rafael.
Rafael terdiam sejenak, merasa cemas dan terluka. Dia mencoba merendah, menundukkan kepala, dan berbicara dengan nada yang lebih lembut. "Aku ... aku minta maaf, Sayang. Aku benar-benar minta maaf. Tolong, jangan lakukan ini. Aku masih mencintaimu. Aku akan berubah, aku janji Stella." Kedua kaki Rafael berlutut di hadapan Stella, terlihat jelas rasa penyesalan yang tergambar di raut wajahnya.
Namun, Stella tetap teguh tak tergoyahkan. "Aku sudah memutuskan Gugatan cerai akan tetap berjalan. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan ini, Mas. Sekalipun kamu memohon bahkan bersimpuh di hadapanku, tekad ku sudah bulat, aku tetap ingin bercerai." Stella menatap lurus ke depan tanpa sedikitpun melihat ke bawah dimana Rafael yang tengah berlutut di bawah kakinya.
Seketika amarah Rafael memuncak lalu dia berdiri dengan sorot tajam.
"Stella, Kamu gila! Saat ini kamu tengah mengandung anak ku. Apa kamu tidak peduli dengan keluarga kita?" Teriak Rafael dengan urat-urat yang tercetak di lehernya.
Namun, sebelum Stella menjawab, terdengar suara dari Mama Elena yang duduk di sebelahnya, membuka mulut dengan suara tenang namun penuh tekanan.
"Cukup, Rafael!" Mama Elena berdiri dan menatap Rafael dengan tajam. "Kamu sudah cukup menyakiti Stella. Sekarang pergilah. Jangan ganggu hidupnya lagi."
Rafael menatap Mama Elena dengan penuh kebingungan, tidak terima. "Tapi Mama, dia ... dia masih istriku. Aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja!"
"Tolong pergilah, Rafael." Titah Elena tegas, dengan suara yang penuh penekanan.
Rafael, yang tidak bisa menahan amarahnya, terus berteriak. "Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Stella. Aku masih mencintai kamu! Dan aku tidak akan pernah menyerah."
Rafael menatap Elena dengan mata yang dipenuhi amarah, tetapi tak ada lagi ruang untuk berdebat. Dua penjaga mansion yang berdiri di dekat pintu langsung mendekat setelah mendapat instruksi dari Mama Elena. Dengan gerakan cepat, mereka memegangi Rafael dan mulai menyeretnya keluar dari mansion.
"Jangan sentuh saya!" Teriak Rafael, berusaha meronta. Namun, dua penjaga itu begitu kuat mencengkeram kedua tangan besar Rafael sehingga dia tidak bisa lepas dari dua orang tersebut.
Dalam beberapa detik, Rafael sudah berada di luar mansion, tubuhnya terasa sakit akibat cengkeraman kuat itu dan dirinya terlihat terhina karena di usir paksa dari rumah Mama mertuanya.
Sebelum pintu mansion ditutup rapat, Rafael sempat menoleh untuk melihat Stella. Wajahnya penuh dengan kebingungannya yang mendalam.
Namun, Stella hanya menatapnya dengan mata yang kosong, dan tanpa berkata apa-apa lagi, pintu utama tertutup.
Di luar mansion, Rafael terengah-engah, berdiri tegak dan menatap pintu mansion yang tertutup rapat. Perasaan marah, sakit hati, dan kebingungan bercampur aduk. Namun ada satu hal yang pasti dia tidak akan membiarkan perceraian ini terjadi.
"Aku akan berjuang ... aku masih mencintainya. Aku tidak akan menyerah begitu saja." Gumamnya pada diri sendiri.
Dengan tekad yang semakin bulat, Rafael melangkah pergi, berjanji dalam hatinya untuk tidak pernah membiarkan keluarganya hancur tanpa perlawanan.
*
"Apa maksudmu? Kamu bercanda kan ...."
.
.
.
🍁Bersambung🍁