Di balik kehidupan mereka yang penuh bahaya dan ketegangan sebagai anggota organisasi rahasia, Alya, Alyss, Akira, dan Asahi terjebak dalam hubungan rumit yang dibalut dengan rahasia masa lalu. Alya, si kembar yang pendiam namun tajam, dan Alyss, yang ceria serta spontan, tak pernah menyangka bahwa kehidupan mereka akan berubah drastis setelah bertemu Akira dan Asahi, sepupu yang memimpin di tengah kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azky Lyss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Malam Mencekam
Suatu malam yang sunyi, Asahi memutuskan untuk keluar sendiri dengan motornya yang gagah. Suara mesin yang menggema di malam yang sepi memberikan rasa kebebasan yang tak tertandingi. Dia melaju di jalanan sepi, merasakan angin malam menyapu wajahnya, hingga tiba di sebuah kawasan yang agak gelap dan terpencil.
Namun, kebebasan yang dirasakannya seketika sirna saat dia melihat sekelompok orang berkumpul di tengah jalan. Mereka terlihat mencurigakan, membawa senjata tajam yang mengkilap di bawah sinar bulan. Asahi memperlambat laju motornya, menyadari bahwa situasi ini berpotensi berbahaya.
“Hey! Mau ke mana, anak muda?” salah satu dari mereka berteriak, menahan Asahi untuk tidak lewat.
Asahi menilai situasi tersebut. Dia tahu bahwa melawan dengan menggunakan senjata adalah pilihan yang berbahaya, dan dia lebih memilih untuk menghadapi mereka dengan tangan kosong. Dia turun dari motornya, mengabaikan rasa cemas yang mulai menggelayuti pikirannya.
“Aku hanya lewat. Biarkan aku pergi,” jawab Asahi dengan tenang, berusaha menjaga suaranya tetap mantap.
“Tidak ada yang bisa pergi begitu saja! Kami butuh kesenangan sedikit,” kata salah satu anggota kelompok itu, melangkah maju dengan senjata tajam di tangan.
Asahi merasa adrenalinnya memuncak. “Kalau begitu, kalau kalian mau bertarung, aku siap.”Asahi mengambil kain kecil dari saku nya untuk dibalut kan pada tinju nya. Ia selalu membawanya kemanapun.
Kelompok itu tertawa, merasa percaya diri dengan jumlah mereka yang lebih banyak. “Anak ini berani! Tapi kau akan menyesal,” salah satu dari mereka melangkah maju, mengayunkan pisau ke arah Asahi.
Dengan reflek, Asahi menghindar, menggeser tubuhnya ke samping dan berusaha menjaga jarak. Dia tahu bahwa melawan satu lawan banyak bukanlah hal yang mudah, tetapi dia telah menghadapi berbagai situasi sulit sebelumnya.
“Jangan terlalu terbawa emosi!” teriaknya, melangkah dengan percaya diri dan bersiap untuk menghadapi serangan berikutnya.
Asahi memfokuskan pikiran dan energinya. Dengan cepat, dia melancarkan serangan, menangkis tangan yang mengayunkan pisau ke arahnya. Dia menggunakan gerakan yang lincah dan terlatih, mendorong musuh menjauh dengan satu pukulan yang kuat.
“Siapa lagi yang mau coba?” tantangnya, menatap tajam ke arah sisa anggota kelompok itu.
Mereka terlihat ragu, terkejut dengan ketangguhan Asahi. Namun, ketua kelompok itu tidak menyerah begitu saja. “Serang dia! Kita tidak bisa mundur!” perintahnya, dan mereka berusaha menyerang secara bersamaan.
Asahi merasakan adrenalin mengalir dalam dirinya, memberikan keberanian yang lebih. Dia memutar tubuhnya, menghindari serangan mereka sambil melancarkan serangan balasan dengan tangan kosong. Dengan satu gerakan cepat, dia berhasil menjatuhkan beberapa dari mereka, meskipun dia tahu bahwa jumlah mereka masih menguntungkan.
Namun, saat dia terjebak dalam pertarungan, Asahi mengalami sedikit luka ketika salah satu dari mereka berhasil menggores lengannya dengan senjata tajam. Rasa sakit itu muncul, tetapi dia menahannya dan terus melawan.
Ketika dia mulai merasa lelah, Asahi menggunakan taktik yang lebih cerdik. Dia bergerak dengan cepat, berlari ke samping untuk mengambil keuntungan dari posisi dan mengalahkan satu lawan lagi. “Ini adalah pelajaran untuk kalian!” teriaknya, memberi peringatan.
Akhirnya, setelah beberapa menit berjuang, sekelompok orang itu mulai merasa terdesak. Melihat bahwa Asahi mampu melawan meskipun dalam jumlah yang tidak seimbang, mereka mulai mundur, mengerumuni ketua mereka.
“Dia terlalu kuat! Kita harus pergi!” kata salah satu dari mereka, meraih tangan ketuanya dan menariknya pergi.
Asahi berdiri dengan napas tersengal-sengal, mengamati mereka mundur dengan rasa puas. Dia telah berhasil mempertahankan diri tanpa senjata, meskipun dengan sedikit luka di lengannya. Malam itu, dia tidak hanya mempertahankan dirinya, tetapi juga menemukan kekuatan dalam dirinya yang lebih besar dari yang dia kira.
Setibanya di markas, dia langsung menuju ruang santai, di mana Alya sedang menunggu. “Kau terlihat berantakan! Apa yang terjadi?” tanya Alya, khawatir.
Asahi hanya tersenyum lebar meski dia merasakan nyeri di lengannya. “Hanya sedikit latihan malam ini,” jawabnya sambil mengusap keringat di dahi. “Tapi aku bisa menangani semuanya!”
Namun, saat Alya mendekatinya dan melihat lukanya, ekspresinya berubah. “Asahi, lenganmu! Kau terluka!” Dia dengan cepat bergerak maju, mengambil tisu untuk membersihkan darah yang mulai mengalir.
“Aku baik-baik saja, Alya. Itu tidak seberapa,” jawabnya, mencoba meredakan kekhawatiran di wajahnya.
“Tapi aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini,” Alya bersikeras, matanya menunjukkan kepedulian yang dalam. “Kau harus membiarkan aku membantumu menyembuhkan luka ini.”
Asahi, melihat keteguhan dalam diri Alya, akhirnya mengangguk dan duduk. Alya mengambil kotak P3K yang ada di dekatnya dan mulai merawat lukanya dengan hati-hati. “Kau harus lebih berhati-hati, Asahi. Jangan pernah meremehkan situasi seperti itu,” katanya sambil membersihkan luka.
Dia bisa merasakan kehangatan tangan Alya saat merawatnya, dan dalam hatinya, ada rasa yang lebih dalam yang mulai tumbuh. Meskipun mereka berusaha menyimpan perasaan itu, suasana di antara mereka terasa berbeda.
“Maaf telah membuatmu khawatir,” Asahi berkata, merasa bersalah. “Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku bisa melindungi diri sendiri.”
“Aku tahu kau kuat, tapi itu bukan alasan untuk bertindak gegabah,” Alya menjawab sambil mengikat perban di lengannya. “Kita adalah tim, ingat? Kita harus saling melindungi.”
Setelah selesai, Asahi merasa lebih baik, dan dia bisa melihat ketulusan dalam mata Alya. “Terima kasih, Alya. Kau selalu ada untukku,” ucapnya dengan tulus.
Mereka berbagi senyuman, menyadari bahwa ikatan mereka semakin kuat meskipun ada tantangan yang mereka hadapi. Saat mereka bercanda dan berbagi cerita, harapan dan janji yang tak terucapkan semakin terasa di antara mereka, menciptakan suasana hangat dan penuh makna di dalam markas malam itu.