Bianca, adalah wanita berusia dua puluh empat tahun yang terpaksa menerima calon adik iparnya sebagai mempelai pria di pernikahannya demi menyelamatkan harga diri dan bayi dalam kandungannya.
Meski berasal dari keluarga kaya dan terpandang, rupanya tidak membuat Bianca beruntung dalam hal percintaan. Ia dihianati oleh kekasih dan sahabatnya.
Menikah dengan bocah laki-laki yang masih berusia sembilan belas tahun adalah hal yang cukup membuat hati Bianca ketar-ketir. Akankah pernikahan mereka berjalan dengan mulus? Atau Bianca memilih untuk melepas suami bocahnya demi masa depan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Dukungan
Bramantyo dan Sintia mendongak, menatap anak bungsu mereka dengan pandangan yang sulit dijelaskan.
"Jangan main-main, Daniel," tegur Sintia.
"Tidak, Ma. Seseorang harus bertanggung jawab. Bagaimana nasib bayi dalam kandungan Kak Bianca? Apa Mama tidak merasa kasihan? Itu cucu Mama, itu cucu kalian!" ucap tegas Daniel.
"Kau tidak akan melakukannya, Daniel. Kau bahkan baru akan melanjutkan kuliah. Pikirkan masa depanmu!" tolak Bramantyo.
"Pa, tidak ada yang melarang pernikahan bagi mahasiswa, bukan? Sepertinya itu tidak akan jadi masalah."
"Tapi bukan begitu caranya, Daniel. Mama tidak setuju, masa depanmu masih panjang," sela Sintia.
Tidak satupun dari mereka yang mendukung keinginan Daniel. Mereka hanya menganggap Daniel terlalu berlebihan hingga rela mengorbankan diri atas kesalahan orang lain.
"Lalu bagaimana dengan pernikahan itu? Undangan sudah tersebar, semua persiapan sudah selesai. Apa yang akan kalian lakukan dan bagaimana cara kalian menjelaskan semua ini pada orang tua Kak Bianca?"
Daniel tidak ingin menyerah. Semua sedang dipertaruhkan di sini. Masa depan, harga diri, dan kehidupan.
"Jika diperlukan, Papa bahkan akan berlutut di hadapan kedua orang tua Bianca untuk memohon ampun," ujar Bramantyo dengan lirih.
"Apa Papa pikir mereka akan memaafkan Kak Darren begitu saja? Mereka akan menghancurkan hidup Kak Darren,, Pa!"
"Papa tahu. Tapi sebagai orang tua, Papa tetap harus bertanggung jawab, Papa gagal mendidik kakakmu."
Setelah mengatakan hal itu, Bramantyo beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke kamar menaiki anak tangga. Sementara Sintia masih duduk dan menatap lekat anak bungsunya.
"Ma," lirih Daniel. Hanya Sintia satu-satunya orang yang bisa memahami semua ini dengan perasaan.
"Tidak, Daniel. Kau tidak seharusnya mengorbankan masa depanmu," jawab Sintia. Wanita paruh baya itu sangat paham tujuan mulia anak bungsunya, yaitu menyelamatkan harga diri keluarga dan masa depan Bianca. Namun ini akan menjadi keputusan yang sulit.
"Ma, aku mohon. Aku berjanji akan melakukan apapun. Aku akan tetap lanjut kuliah, menyelesaikan pendidikan dengan baik. Aku berjanji tidak akan pernah mengecewakan kalian semua," pinta Daniel memohon.
"Kau belum cukup dewasa untuk menikah, Daniel. Apa kau pikir menikah akan semudah itu?"
"Ma, percayalah padaku, Ma. Kasihan Kak Bianca. Bagaimana perasaan Mama jika Kak Bianca adalah anak perempuan Mama. Dicampakkan begitu saja setelah mengandung anak dari laki-laki kurang ajar seperti Kak Darren."
Sintia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia paham bagaimana sifat anak bungsunya.
Meski usia Daniel jauh lebih muda dari Darren, Daniel lebih dewasa dalam hal bersikap sekaligus bertindak. Dan bocah laki-laki itu tidak pernah asal bicara, ia selalu berpikir dengan matang sebelum mengutarakan keinginannya.
Jika Daniel sudah bersikeras dengan keinginananya, maka siapapun tidak akan mampu menghentikannya.
Sintia tidak bisa lagi berkata-kata. Hari ini penuh dengan kejutan dengan berbagai masalah. Semua ini adalah ulah Darren, anak yang terbiasa ia manja hingga benar-benar melewati batas.
Sintia beranjak dari kursi dan hendak pergi, namun Daniel memegang kedua tangan wanita itu dan duduk berlutut di hadapannya.
"Ma, pikirkan baik-baik," pinta Daniel.
"Jika kau bisa meyakinkan Papamu juga Bianca. Mama akan setuju," jawab Sintia.
Daniel tersenyum, dengan cepat ia berdiri dan memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya. Satu dukungan saja sudah cukup baginya untuk berjuang, ia akan berusaha sebaik mungkin demi bisa meyakinkan semua orang.
***
Satu bulan lagi Daniel akan memasuki hari pertama kuliahnya. Ia sudah disibukkan mengurus berkas-berkas untuk melengkapi syarat pendidikannya dan kini ia tinggal bersantai, menunggu kegiatan belajar mengajar dimulai.
Setelah sarapan pagi, Daniel sudah tidak lagi melihat keberadaan kakaknya. Rupanya benar, Darren memilih untuk meninggalkan rumah dibandingkan menikah dengan Bianca.
Kini Daniel sudah mengambil keputusan, ia mengendarai motor sport hitam miliknya menuju rumah villa milik Bianca untuk menemui wanita itu.
Tidak lupa, bocah laki-laki itu membawa beberapa bahan makanan yang baru saja ia beli dari minimarket.
Sesampainya di rumah Bianca, Daniel melihat pintu rumah wanita itu terbuka. Daniel masuk dengan perasaan cemas. Beberapa perabotan pecah, guci, vas bunga, pigura, semuanya hancur berserakan di lantai.
Daniel meletakkan barang yang ia bawa di meja, lalu mencari keberadaan Bianca.
"Kak, kau di mana?" teriak Daniel.
"Kak, apa kau di sini?" Daniel menggeledah seluruh ruangan, namun tidak ia temukan sosok wanita itu.
Saat terdengar gemericik air dari arah kamar mandi di kamar tamu, Daniel segera melihatnya. Sesuatu telah terjadi, Bianca pingsan di dalam kamar mandi dengan seluruh tubuh basah kuyup.
Daniel panik, ia menggendong tubuh Bianca dan membaringkannya di atas tempat tidur.
"Kak, Kak Bianca!" seru Daniel. Ia berusaha membangunkan wanita itu, namun Bianca sama sekali tidak merespon.
***