Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Berondong Kaya si Pembuat Masalah
"Jeng Anggi, nggak boleh asal ngomong, itu bisa menghambat rejeki orang Jeng," tegur mak Karti, salah satu pedagang yang kiosnya tepat disamping Anggi, mendengar wanita gendut itu sibuk menabur gosip.
"Saya nggak sembarang ngomong Mak, mata kepala saya liat sendiri laki-laki itu keluar dari rumah si bude Romlah. Si Bude itu sudah tua, sudah bau tanah, masih aja mesum!"
"Kalau tidak bertetangga sama saya, saya mah bodo amat! Lah ini, bersebelahan pula, nanti saya ikut nanggung dosanya juga Mak!" cerocos Anggi.
Para pedagang yang memang mengenal baik seorang Romlah, janda usia lima puluhan yang ditinggal mati oleh suaminya, yang tidak segan-segan membantu sesama pedagang dan tetangga yang kesusahan, hanya bisa mengurut dada.
"Noh liat! Orang yang punya berondong kaya, ya datangnya siang-siang!" tunjuk Anggi dengan bibirnya yang memancung, wajah penuh lemaknya pun turut mengkerut hingga hidung peseknya hampir tenggelam di antara dua pipi montoknya.
Atensi para pembeli dan pedagang auto berpindah pada bude Romlah yang baru tiba, melihat wanita berumur itu sibuk memasukan anak kunci pada lubang gembok lalu membuka pintu lebar, juga menggeser papan-papan pintu disebelahnya agar semua barang dagangannya bisa terlihat dan mudah dijangkau oleh para pembeli.
"Kagak buka kios pun masih bisa makan-tidur! Sibuk gelut sih malem-malem! Sadar woi sadar, ingat umur! Udah bau tanah!" Anggi terus berkoar dengan mulut besarnya.
"Bude, saya mau beli beras seliter, telurnya dua biji saja ya, tempenya dua papan, ikan teri seperempat," serbu ibu berdaster mawar kuning.
"Saya terasi udang dua Bude!"
"Saya peda dua ons sama gula pasir sekilo!" teriak ibu lainnya.
"Iya, iya... Antri ya bu-ibu," Romlah mulai sibuk menyiapkan permintaan pembeli sekalian menghitung harganya dengan cepat.
"Bawang merah campur bawang putihnya harga sepuluh ribu aja Bude!" seorang bapak-bapak menggendong bayi mengibarkan uang kertas pecahan sepuluh ribuan diatas kepalanya.
"Lah, dijelek-jelekin malah rame dagangannya!" Anggi mengomel sendiri.
"Bu-Ibu, balik kanan! Belanja ditempat saya aja! Bahaya berdesak-desakan!" panggil Anggi pada pembeli yang berjubel di kios Romlah yang berada tepat didepan kios miliknya.
"Nggak sudi! Takut dosa!" sambut salah satu ibu-ibu ditengah kerumunan.
"Weiiii! Sembarangan! Apa hubungannya belanja di kios gue sama dosa!" Anggi meradang, menatap tajam satu kepala ibu-ibu yang bersuara tadi.
"Lah telurku pecah!" pekik ibu berdaster mawar kuning.
"Rasain! Gue bilang juga apa! Kapok!" Anggi tertawa bahagia dengan seluruh tubuh besarnya ikut berguncang-guncang.
"Maaf Bu, bayi saya nggak sengaja ngeremes telurnya ibu. Saya gantinya besok aja ya, soalnya uang sepuluh ribu ini buat beli bawang merah sama bawang putih, kalau nggak, isteri saya juga bakal mengomel sampai berjilid-jilid," sang bapak yang menggendong bayi merasa bersalah.
"Aduh, gimana dong Pak, nanti bisa diomeli sama lakiku dirumah kalau begini caranya, dua telurnya pecah," ibu berdaster mawar kuning yang baru membayar belanjaannya terlihat frustrasi dan hampir menangis.
"Udah, ambil aja lagi dua telur sebagai pengganti telur yang pecah itu bu Nuning, pak Jawi nggak perlu ganti besok. Maklum disini sempit, jadi wajar kalau saling senggol menyenggol," Romlah buru-buru menengahi.
"Aduh... terima kasih bude Romlah, moga-moga selalu sehat, banyak rejeki dan berumur panjang," doa keduanya bersamaan penuh rasa syukur.
"Amin," sambut Romlah tersenyum, melanjutkan melayani dan menghitung belanjaan para ibu yang masih mengantri dengan setia.
"Semuanya lima puluh tiga ribu Bu," Romlah menyerahkan sekeresek belanjaan pada seorang ibu muda.
"Bude, uangnya kurang tiga ribu, kurangi tepung sagunya aja ya?" sambil menyerahkan kembali kresek belanjaan disertai uang kertas pecahan lima puluh ribuan.
"Udah, nggak papa Bu, bawa aja," Romlah mendorong kembali kresek belanjaan dan menerima uang kertas pecahan lima puluh ribu dengan senyum hangatnya.
"Terima kasih banyak Bude, semoga rejekinya melimpah ruah ya Bude," sang ibu muda terlihat sangat berterima kasih.
"Amin, terima kasih doanya Bu," Romlah tersenyum lembut mendengar pelanggan terakhirnya itu.
"Bude," Mak Karti mendekati Romlah yang tengah menata barang dagangannya.
"Iya Mak, ada apa?" Romlah menoleh sebentar sambil tersenyum, tangannya kembali sibuk kesana-kemari.
"Bener kamu berencana bersuami lagi? Sudah punya berondong kaya?" tanya mak Karti hati-hati.
Romlah tertawa kecil.
"Mak percaya?" Romlah balik bertanya, tapi tangannya terus sibuk berkerja, menimbang gula pasir, karena stok yang ada sudah habis diborong para pembeli tadi.
"Nggak, tapi penasaran aja. Nggak ada asap kalau nggak ada api," ujar mak Karti, melirik Anggi yang tengah memesan makan siang di kios ujung.
Romlah tertegun sesaat, pepatah lama itu menyita perhatiannya. Bukannya tidak mendengar, tapi ia pura-pura cuek saat Anggi mempergunjingkan dirinya yang baru tiba dipasar ini tadi pagi.
"Mak Karti! Daging-ku sudah selesai digiling belum? Persediaan pentolan bakso udah habis dirumah!" seorang bapak berteriak dari depan kios mak Karti.
"Iya, sudah! Sebentar mang Karjo!" Mak Karti berlari tunggang-langgang, melupakan keingin tahu-annya.
Sepeninggal mak Karti, bude Romlah meraih ponsel dari tas-nya segera menelpon seseorang yang sudah menjadi penyebab dirinya jadi bahan pergunjingan di pasar dan di kampungnya.
Berharap teleponnya di angkat.
...***...
🎶Nit-nat-nit-not nitnat nitnot. 🎶Nit-nat-nit-not nitnat nitnot.
Bimo melonggarkan dasinya, menatap ponsel jadul Vina yang meraung-raung dan menggeletar di atas mejanya.
📞"Iya Bude," sambut Bimo dengan suara rendahnya.
📞"Saya hanya ingin tuan Bimo menyelesaikan pergunjingan para warga pasar dan warga kampung tentang saya yang punya berondong kaya raya dan tampan rupawan seantero jagat kampung kami!" sarkas Romlah.
Bimo menjauhkan ponsel itu dari daun telinganya, menatapnya sesaat dengan raut bingung. Tanpa di loudspeaker suara wanita itu begitu jelas terdengar.
📞"Bingung kan? Apa lagi saya! Saya mau kehidupan saya normal kembali seperti sebelum tuan Bimo bertandang ke rumah saya!"
📞"Bayangkan, pagi-pagi pak RT sudah mendatangi rumah saya karena ada laporan warga! Saya ini seorang janda baik-baik! Tidak mungkin menyimpan seorang berondong tidak berguna seperti tuan Bimo, si pembuat masalah!"
Tut!
"Apa dia bilang? Saya tidak berguna dan pembuat masalah?"
Bimo menatap layar ponsel Vina. Hatinya panas. Tidak seorang pun dari pegawainya yang berani menyaringkan suara, apa lagi menutup telepon secara sepihak.
Bimo gegas menekan telepon kantor, hanya hitungan detik, telepon sudah tersambung.
📞"Selamat pagi Tuan," sambut suara pria dengan nada tegas di seberang sana.
📞"Satu detik, kamu harus tiba disini, saya tidak tahu bagaimana caranya, cepat!"
📞"Baik Tuan."
Tut!
Bimo menutup telepon, ia melepas dasinya lalu menjerat lehernya sendiri.
"Lihat kan? Saya tidak mati, apa lagi bra Vina yang sekali tarik langsung putus!" Bimo mengibas-ngibaskan dasinya ke udara, sambil berputar-putar di atas kursinya.
Tok! Tok! Tok!
Masuk!
Security yang ditelepon tadi gegas mendekat.
"Ada tugas apa Tuan?" tanyanya.
"Itu Kartu Tanda Penduduk milik Vina Wijayani. Cari, dan bawa pak RT-nya kemari!" sambil meletakan benda pipih yang ia keluarkan dari dompetnya.
"Baik Tuan!" patuh sang security, membawa Kartu Tanda Penduduk milik Vina bersamanya.
Bersambung...✍️