Kinanti Amelia, remaja pintar yang terpaksa harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya.
Ia masuk ke sekolah terbaik dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup tinggi.
Di sekolah barunya ia berusaha menghindari segala macam urusan dengan anak-anak nakal agar bisa lulus dan mendapatkan beasiswa. Namun takdir mempertemukan Kinanti dengan Bad Boy sekolah bernama Kalantara Aksa Yudhstira.
Berbekal rahasia Kinanti, Kalantara memaksa Kinanti untuk membantunya belajar agar tidak dipindahkan keluar negeri oleh orang tuanya.
Akankah Kala berhasil memaksa Kinan untuk membantunya?
Rahasia apa yang digunakan Kala agar Kinan mengikuti keinginanya?
ig: Naya_handa , fb: naya handa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekolah baru
Kinanti berlari dengan tergesa-gesa menuju pintu gerbang sekolah yang hampir tertutup. Ia tiba tepat saat pintu gerbang nyaris di tutup beberapa senti lagi.
“Pagi pak, maaf saya murid baru.” Kinanti terengah-engah mengucapkan kalimatnya.
Laki-laki muda itu menatap Kinanti dengan penuh selidik, dari atas hingga ke bawah.
“Kamu datang sendiri?” tanya penjaga pintu gerbang sambil melihat ke arah jalan raya.
“Iya pak, memang kenapa ya pak?” Kinanti menatap laki-laki itu dengan tidak mengerti.
Laki-laki itu hanya berdecik, ia tahu persis sepertinya anak baru ini berasal dari kalangan orang biasa.
“Masuk! Lapor dulu ke ruang PA.” Ujar laki-laki itu, tidak ramah. Bintang satu.
“Baik pak.” Kinanti segera masuk. Ia berlari kecil menelusuri jalanan setapak menuju bangunan sekolah yang masih terlihat jauh.
“Hah, anak orang biasa sekolah di sini. Mana tahan?” decik penjaga gerbang sekolah yang melihat Kinanti berlari menuju bangunan sekolah yang masih cukup jauh.
Pantas saja ia ditanya datang sendiri atau tidak. Rupanya siswa di sini rata-rata menggunakan mobil atau di antar dengan mobil dan turun di lobi sekolah.
Apa Kinanti datang ke sekolah yang benar?
Loby sekolah sudah ada di depan mata. Kinanti berdiri beberapa saat berusaha menenangkan nafasnya yang menderu. Rasanya ia ingin melepas blazernya yang membuat ia kegerahan. Belum lagi ukurannya yang agak kedodoran. Padahal harga satu set seragam ini cukup mahal dan membuat Kinanti harus mengelus dada saat tahu harganya.
Dengan alasan itu, ia merasa tidak bisa menyia-nyiakan waktu dan usahanya untuk sampai di titik ini. Akan terlambat kalau ia tidak cepat-cepat masuk ke dalam ruangan itu.
Suasana dingin dan sejuk langsung terasa saat Kinanti melewati pintu loby dengan metal detector yang terpasang di pintu. Mata Kinanti berkeliling menyapu ruangan Loby sekolah yang sangat luas.
Tidak ada orang di sana, padahal ini sudah jam kerja.
“Petugasnya lagi brefing pagi. Lo gak bisa nanya sama siapa-siapa.” Ujar sebuah suara yang terdengar dari belakang Kinanti.
Kinanti langsung menoleh dan ia melihat seorang laki-laki yang mengenakan seragam yang sama dengannya, berjalan mendekat.
“Oh halo, selamat pagi. Aku Kinanti.” Kinanti mengangguk sopan dan segera mengulurkan tangannya, senang rasanya karena di hari pertama yang membingungkan, ada seseorang yang bisa ia tanya.
“Anak baru?” remaja laki-laki itu tidak membalas uluran tangan Kinanti. Ia malah sibuk memainkan rambutnya yang sedang di balur pomade. Ia memperhatikan penampilan Kinanti dengan seksama.
“Iya ini hari pertamaku. Aku diminya melapor ke ruang,” Kinanti memeriksa dulu buku catatannya agar tidak salah menyebutkan nama ruangan yang disebutkan ayahnya sebelum ia turun dari mobil tadi.
“Pembimbing akademik.” Ucap laki-laki itu. Ia menjawab lebih cepat di banding Kinanti yang masih mencari catatannya.
“Iya, ruang pembimbing akademik.” Sahut Kinanti seraya tersenyum kecil.
“Ikut gue! Gue Roki.” Ajak laki-laki bernama Roki itu.
“Makasih.” Kinanti mengikuti langkah kaki Roki
.
Mereka berjalan berdampingan. Roki masih mengusap-usap rambutnya sambil memperhatikan penampilan Kinanti yang biasa saja. Sepatu yang Kinanti pakaipun hanya seharga uang jajannya sehari. Lalu tas sekolahnya, pasti dibeli di pasar loak karena bukan dari merk yang terkenal.
Tapi baru beberapa langkah di ambilnya, “BRUG!” tiba-tiba saja seorang laki-laki berjaket kulit dengan helm di tangannya menubruk tubuh Roki sampai terhuyung.
“Astaga!” seru Kinanti yang kaget.
“Kamu gak apa-apa?” Kinanti segera menghampiri Roki tapi Roki bahkan tidak berani mengaduh.
"Gak apa-apa." Roki membiarkan laki-laki berjaket itu pergi begitu saja tanpa menyuruhnya agar meminta maaf.
“Heh, berhenti!” seru Kinanti pada laki-laki berjaket kulit. Suaranya terdengar cukup lantang.
Laki-laki itu tidak ambil peduli. Ia tetap meneruskan langkahnya.
“Hey, berhenti! Kamu menabrak seseorang dan belum minta maaf.” Seru Kinanti, langkahnya ia percepat demi bisa mengimbangi langkah panjang laki-laki itu.
"Kinanti, gak usah!" Panggil Roki yang menyilang-nyilangkan tangannya, memberi kode pada Kinanti.
Bukan Kinanti namanya kalau langsung menurut begitu saja.
“Stop!” Kinanti menghadang laki-laki itu seraya merentangkan tangan.
Langkah laki-laki itu terhenti dan memalingkan wajahnya dari Kinanti bahkan sebelum mereka bertatapan.
“Kenapa?” tanya laki-laki itu dengan suaranya yang dalam dan tegas.
Kinanti sampai terhenyak kaget dan tangannya langsung turun.
“Ka-kamu menabrak seseorang dan belum minta maaf.” Seru Kinanti. Walau takut ia berusaha terlihat berani.
Laki-laki itu menoleh pada Kinanti dan menatap Kinanti dengan matanya yang tajam seperti bilah pisau yang melayang dan siap menghujam jantung Kinanti. Sorot matanya terlalu dominan.
Ralat, tidak hanya matanya yang dominan. Hidungnya, alis matanya, dahinya, rahangnya, dan semua yang ada di tubuh laki-laki itu begitu dominan dan terasa seperti mengintimidasi Kinanti yang biasa saja. Kinanti sampai terpaku melihat sosok tinggi tegap yang ada di hadapannya. Mungkin jika di sandingkan, tinggi Kinanti hanya sebatas tinggi dadanya.
“Apa orangnya mati?” tanya lak-laki itu, membuat Kinanti tersadar dari lamunannya.
“Ng-nggak. Tapi maksudku,”
Belum selesai berbicara, laki-laki itu memilih pergi meninggalkan Kinanti. Baginya pembicaraan mereka tidaklah penting.
“Hey, tung-“
“Kinanti!” suara Roki berulang kali memanggil Kinanti. Kali ini ia bahkan menarik tangan Kinanti.
“Kenapa kamu ngikutin dia?!” pekik Roki dengan kesal.
“Di-dia belum minta maaf sama kamu.” Terang Kinanti yang masih memandangi arah berlalunya laki-laki itu.
“Udah, biarin. Ngapain kamu berurusan sama dia. Dia berbahaya!” Roki mengibaskan tangan Kinanti yang ia pegang dengan erat.
“Bahaya? Emang kenapa? Dia kepala sekolah di sini?” Kinanti menatap Roki tidak percaya.
“Mana ada kepala sekolah semuda itu. Kamu pikir jabatan tertinggi di sekolah ini adalah kepala sekolah?" Roki berujar tidak habis pikir dan Kinanti hanya menggeleng.
Roki menghembuskan nafasnya kasar, sudah ia duga kalau Kinanti tidak tahu apa-apa tentang sekolah ini dan siapa yang berkuasa di sini.
"Dia itu Kala, penguasa sekolah ini. Kamu ngapain nyari-nyari masalah negur dia?” ucap Roki dengan tatapan serius.
“Penguasa sekolah?” Kinanti seperti disadarkan oleh penggalan ucapan Roki. Ia juga baru sadar pada penampilan dan cara bicara laki-laki bernama Kala itu. Dingin dan dominan.
“Iya! Cari mati kamu urusan sama dia.” Tambah Roki dengan penuh penekanan.
“Apa dia bad boy sekolah ini?” Kinanti penasaran setelah semalam ia mencari tahu sisi gelap sekolah ini yang tidak diketahui banyak orang.
“Iya! Selain bad boy di sekolah ini, dia juga yang punya sekolah ini. Semut di tanah aja harus permisi kalau dia lewat dan kamu malah ganggu-ganggu dia."
"Udah, kalau hidup tentram mending gak usah berurusan sama dia.” Penjelasan Roki membuat jantung Kinanti berdebar kencang. Sepertinya ia berurusan dengan orang yang salah.
“I-Iyaaa. Aku gak tau.” Wajah Kinanti berubah pucat. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak membuat masalah di sekolah ini tapi ia malah berurusan dengan orang yang salah.
“Udah, sekarang kita ke ruang pembimbing akademik. Tanya dulu kamu masuk di kelas mana.” Roki menarik tangan Kinanti begitu saja dan Kinanti hanya menurut tanpa protes sedikitpun.
"Astaga, bagaimana ini?"
****