Dunia Sakura atau kerap dipanggil Rara, hancur seketika saat video dia yang digerebek sedang tidur dengan bos nya tersebar. Tagar sleeping with my boss, langsung viral di dunia Maya.
Rara tak tahu kenapa malam itu dia bisa mabuk, padahal seingatnya tidak minum alkohol. Mungkinkah ada seseorang yang sengaja menjebaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
"MasyaAllah, anak Mama cantik sekali," puji Mama Rere saat memasuki kamar Rara. Dia melihat putrinya begitu cocok dengan gamis dan hijab syari warna biru. Sore ini mereka akan ke rumah Om Haikal karena tadi pagi, Tante Rania dan Hana baru pulang dari umroh. "Kamu udah minta izin sama suami kamu?"
"Udah, Mah, tadi pagi kebetulan Bang Jovan telepon, jadi aku minta izin sekalian." Rara kembali menatap cermin, merapikan hijabnya. Tak terbiasa memakai hijab, membuat dia marasa penampilan kurang rapi terus saat berhijab.
"Udah cantik kok, pakai banget," Mama Rere menyentuh punggung Rara. "Pakai hijab terus ya, Nak, istiqomah."
"InsyaAllah, Mah."
Karena semua sudah siap, mereka sekeluarga segera menuju rumah Om Haikal. Disaat terpaksa bertemu dengan orang seperti ini, Rara selalu siap sedia masker untuk menutupi wajahnya.
Sesampainya disana, ternyata sedang banyak tamu. Seperti biasa, seseorang yang baru pulang dari tanah suci, dikunjungi beberapa tetangga dekat.
"Kita lewat pintu belakang saja ya, Mah," Rara menggenggam tangan Mamanya.
Mama Rere ingin sekali menangis setiap kali Rara gelisah seperti ini. Kebahagiaan serta kebebasan putrinya terenggut hanya karena video beberapa detik itu. Entah sampai kapan situasi ini akan terus berlangsung.
"Tante," Hana yang kebetulan ada di dapur langsung girang melihat kedatangan keluarga Om nya. Dia mencium tangan Om dan Tantenya, lalu memeluk Rara. "Kamu kuat, Ra," dia mengusap punggung Rara. Keputusan Rara untuk dipoligami, sempat membuat dia terkejut. Ingin sekali bicara 4 mata dari hari ke hati dengan sepupunya itu, sayangnya dia sedang ada di tanah suci, menjalankan ibadah umroh plus jalan-jalan ke Turki.
Tangis Rara seketika pecah. Ya, dia harus kuat menghadapi semua cobaan ini meski sesungguhnya terasa sangat berat. Dia melepas masker karena hanya ada keluarga dekat di dapur.
"Rara... " panggil Tante Rania saat wanita itu baru masuk ke ruang keluarga. Rara dan yang lainnya sudah pindah kesana. Sebenarnya tadi dia melihat kedatangan keluarga Romeo, tapi karena masih ada tamu, dia terpaksa menunggu para tamu pulang baru masuk ke dalam. Tante Rania memeluk Rara, mengusap lembut punggung keponakannya tersebut.
Setelah cukup lama berpelukan, dia duduk di sebelah Rara dan menggenggam tangannya. "Sabar ya," dia tahu jika hari ini, suami Rara menikah lagi dengan wanita lain. "Ikhas itu memang tidak mudah, apalagi yang kita ikhlaskan adalah suami, bukan uang ataupun barang. Tapi insyaallah jika kamu bisa sungguh-sungguh ikhlas, surga ganjarannya."
"Kalau berat, dilepas saja," celetuk Haidar. Sebenarnya sejak awal, dia tak setuju Rara menikah dengan Jovan. Menurutnya, membesarkan anak seorang diri lebih baik daripada dimadu. "Masih banyak yang sayang sama kamu, Ra."
Rara mengangguk. Dia juga gak mau memaksakan diri. Setelah lahiran, jika dia belum berhasil menjadi istri satu-satunya, dia akan mengajukan gugatan cerai.
"Oh iya, minggu depan ada acara haul Kakeknya Haidar, kita sekeluarga mau kesana, kamu ikut ya, Ra," ajak Tante Rania. Alm. Kakek Haidar adalah seorang Kiai yang cukup terkenal di Jawa, punya pondok pesantren besar.
"Kamu mending ikut aku sama Abang aja, Ra," ajak Hana. "Besok kami berangkat duluan, soalnya sebelum haul, banyak yang dipersiapkan. Aku suka bantu-bantu santriwati disana. Seru disana, Ra, kamu ikut ya?"
Rara menunduk dalam sambil memainkan jemarinya.
"Kenapa, Ra?" Tante Rania kembali menggenggam tangan Rara. Bisa dia lihat, kekhawatiran di wajah Rara. "Kamu belum berani bersosialisasi?"
Rara mengangguk. "Rara malu, Tante," ucapnya sambil menangis.
Tante Rania merangkul bahu Rara, dia sampai ikut menitikkan air mata. Keponakan yang dulunya periang dan pemberani, kini kehilangan semua itu.
Mama Rere ikut menangis. Sama seperti Rara, satu bulan terakhir ini dia bersahabat dekat dengan air mata.
"Rara," Hana ikut memeluk Rara. Usianya dan Rara hanya beda 1 tahun, lebih tua Rara. Kadang dia membayangkan jika berada di posisi Rara, mungkin dia tidak akan kuat.
Rara bersyukur karena dia dikelilingi keluarga yang tulus menyayanginya.
"Ra, apa kamu tidak tertarik untuk memakai cadar?" tanya Hana. "Seperti aku dan Mama," dalam keseharian, Hana dan Tante Rania memang mengenakan cadar.
"Benar kata Hana," timpal Tante Rania. "Kebebasan itu adalah hak setiap orang. Dunia dan seisinya, cintaan Allah ini, terlalu sayang jika tidak kamu nikmati. Kamu berhak untuk bebas pergi kemana-mana tanpa ketakutan ataupun rasa malu. Mungkin dengan bercadar, kamu bisa lebih bebas melakukan aktivitas. Awalnya memang sedikit risih, tapi lama-lama akan terbiasa. Selain itu, kamu sudah menikah. Bukankah sebaiknya, hanya suami kamu saja yang bisa menikmati keindahan dari paras kamu."
"Keenakan suaminya, Mah," sewot Haidar yang sedang berdiri bersandarkan dinding.
"Astaghfirullah, Haidar," Tante Rania sampai geleng-geleng. "Kamu itu kenapa sih, dari tadi sewot mulu kalau bahas suaminya Rara."
"Kesel aja aku sama tuh orang. Serakah banget jadi laki, masa nikah langsung dua. Harusnya Rara doang, yang jelas-jelas sudah dia rugikan, bukan malah maruk," Haidar memutar kedua bola matanya malas.
"Dia pasti punya alasan kuat kenapa harus menikah dua. Lagian Allah gak melarang poligami, kenapa kamu yang malah marah."
"Memang gak dilarang, tapi ada syaratnya," Haidar masih tak mau kalah. Kalau sudah membahas soal Jovan, bawaannya memang pengen marah terus. Dia sudah menganggap Rara seperti Hana, seperti adik kandung sendiri. "Syaratnya harus adil. Aku gak yakin dia bisa adil."
"Jangan sok tahu kamu."
"Pah, Mama pro tuh ke poligami, nikah lagi gih," Haidar malah ganti menyerang mamanya. Papanya yang dari tadi mengobrol berdua dengan Papa Romeo, malah ikut dibawa-bawa.
"Haidar... " panggil Mamanya dengan suara rendah dan pelototan tajam. "Daripada nyuruh Papa kamu nikah lagi, kamu aja sana yang nikah. Udah kepala 3 loh."
"Mana, kepalaku cuma satu."
Jika Tante Rania kesal karena jawaban Haidar, yang lain malah pada kompak ketawa, pun dengan Rara yang jadi ikutan ketawa.
"Yakin cuma satu, Dar?" goda Papa Romeo. "Yang bawah gak ada kepalanya, ikut ke pangkas pas sunat?" tawa kembali meledak.
"Ada anak gadis disini," protes Tante Rania. Dia menatap Hana yang malah senyum-senyum. Jangan-jangan putrinya itu faham. "Han, ambilin cadar kamu gih, biar Rara nyobain."
Hana kembali dengan cadar warna biru muda, seperti gamis dan hijab yang dipakai Rara. Meski bercadar, Hana memang mengenakan berbagai macam pakaian, tak hanya warna gelap. Dia lalu membantu Rara memakai cadar.
"MasyaAllah, aura kamu kayak lebih terpancar saat pakai cadar, Ra. Mata kamu itu indah banget, kayak matanya Om Meo dan Papa. Meski cuma keliatan matanya doang, udah kelihatan cantik."
Rara tertawa pelan. "Hiperbola banget kamu mujinya, Han. Ya masa cuma keliatan mata, udah keliatan cantiknya sih."
"Tapi benar apa yang dikatakan Hana," Papa Romeo menimpali. "Dari jarak beberapa meter ini saja, cuma keliatan matanya, kamu udah kelihatan cantik banget."
"Ya iyalah, mana mungkin anaknya dikatain jelek," Rara kembali tertawa.
"Orang buta aja, bisa tahu kalau kamu cantik, Ra," Haidar malah lebih hiperbola lagi. Gimana ceritanya orang buta bisa melihat. "Cuma suami kamu aja yang gak bisa lihat. Udah punya istri spek bidadari, eh... nikah lagi sama spek ani-ani."
"Ani-ani itu cakep loh, Bang," protes Hana.
"Cakep tapi murah, buat apa? Mending yang mahal, udah jelas kualitasnya. Ibarat barang, kalau murah, dipakai sekali dua kali, ya udah rusak, beda sama yang mahal, kualitas terjamin."
Rara menoleh pada Tante Rania sambil menggenggam tangannya.
"Ada apa, Ra? Kamu tak suka pakai cadar?"
"Bukan begitu, Tante, tapi Rara malu sama Allah. Pendosa seperti Rara, bercadar hanya demi menutupi aib."
"Ubah niatanmu. Berniatlah memakai cadar untuk menjaga diri dari pandangan laki-laki yang bukan mahram, bukan untuk menutupi aib. Selain itu, Allah menyukai hambanya yang betaubat."
sana sini udah kek WC umum istri tersayang Jovan...
nikmati hasil jebakanmu Dista...
goyang gih sampe gempor 🤣🤣🤣🤣
astaghfirullah, rasain lu. malu banget dah kalau tubuh jg sdh dikonsumsi publik
kpok dista..
ganyian yg masuk perangkap fino..
kalo mau ngelayani pasti ngancam nyebarin video dista dan bastian..
bahaya punya koleksi video syur pribadi..
kalo kecopetan atau kerampokan kan bisa disebarin orang lain..