Secret With Bad Boy
Sebuah mobil SUV melaju tenang dijalanan yang beraspal. Di dalamnya ada dua orang penumpang beserta barang bawaan yang cukup banyak.
Lukman, laki-laki paruh baya berkacamata tebal itu, adalah sang pengemudi. Dari kaca spion tengah, Ia memandangi putriya, Kinanti, yang sedang termenung di jok belakang sambil memandangi jalanan ramai ibu kota. Raut wajahnya masih terliihat sedih, sama seperti saat mereka berangkat ke Jakarta, pagi tadi.
“Nak, kita udah masuk Jakarta ini. Tuh, patung selamat datang menyambut kita.” Ujar Lukman pada Kinanti. Ia mencoba mencairkan suasana.
“Iya yah.” Kinanti menyahuti dengan pelan. Seperti tidak ada semangat di tubuhnya.
“Kamu masih marah sama ayah, gara-gara kita pindahan lagi?” Lukman memperhatikan benar putrinya yang terlihat kesal.
“Ngapain marah, orang aku marah juga kita tetep pindahan.”
Kinanti menurunkan sedikit kaca jendelanya, agar bisa menghirup udara bebas. Selama perjalanan ia terus menggunakan AC. Kepalanya terasa pusing dan tengkuknya terasa berat saat udara dingin itu bercampur dengan pewangi mobil berbau jeruk.
“Iyaaa, ayah minta maaf. Ayah janji, ini terakhir kalinya kita pindah kota."
"Sekarang ayah di tempatkan di kantor pusat, mudah-mudahan sampai pensiun sekitar lima tahun lagi. Jadi, kamu juga bisa kuliah di sini. Di sini banyak loh kampus bagus.” Lukman berusaha menghibur putrinya yang murung.
Kinanti tidak menimpali. Ia masih sangat kesal karena hampir setiap tahun ajaran baru ia pasti pindah kota mengikuti ayahnya.
Lukman bekerja di sebuah perusahaan pertambangan batu bara. Hal ini membuat ia harus siap berpindah-pindah tugas kemanapun perusahaan mengirimnya. Kinanti, putri satu-satunya yang ia miliki, sudah dipastikan selalu mengikuti kemanapun ia pergi karena mereka hanya berdua saja. Ibu Kinanti sudah lama meninggal, sekitar enam tahun lalu.
Terakhir Kinanti tinggal di Bandung selama satu tahun. Ia sudah mulai betah karena Bandung adalah kota kelahiran ibunya. Bisa Kinanti yakini, setiap ia sudah merasa betah di satu tempat, pasti Lukman akan pindah.
Seperti sekarang, Lukman mengatakan kalau ia harus pindah ke kantor pusat karena perusahaan tempat ayahnya bekerja, membutuhkan Lukman untuk ditempatkan di Jakarta.
Sebagai pekerja, mana mungkin Lukman menolak. Dan Kinanti harus kembali bersiap untuk adaptasi dengan tempat tinggalnya yang baru.
“Yah, aku kan udah tujuh belas tahun, kenapa sih ayah gak biarin aku tinggal sendiri di Bandung? Di sana juga kan ada Wa neneng, ada Nia yang bisa nemenin aku. Kalau pindah lagi kayak sekarang, aku kesulitan adaptasi lagi. Mana sekarang aku udah kelas tiga SMA, harus persiapan ujian akhir dan semacamnya.”
Kinanti memberanikan diri untuk protes. Ia sudah sangat lelah berpindah-pindah sekolah. Selama SD sampai SMA sekarang, entah berapa kota yang pernah ia tinggali. Mulai dari beberapa kota di ujung barat indonesia yaitu pulau sumatera, hingga pulau Kalimantan dan dua tahun lalu di Sulawesi. Baru satu tahun ini ia kembali ke pulau jawa dan menetap satu tahun di Bandung.
Proses adaptasi yang sangat singkat, membuat Kinanti kesulitan mendapatkan teman. Sampai sekarang ia tidak punya teman dekat selain Nia, anak kakak sepupu mendiang ibunya. Selain itu, ia juga harus beradaptasi dengan mata pelajaran yang cukup membuatnya kerepotan. Beruntung Kinanti anak yang cerdas sehingga ia bisa cepat mengikuti.
“Iya, ayah minta maaf. Nanti deh, kalau kamu usianya udah dua puluh satu tahun, ayah kasih kamu kebebasan. Kalau sekarang, ayah belum bisa. Ayah gak tega ninggalin kamu sendirian di rumah.” Ucap Lukman dengan sungguh.
“Bener ya ayah, saat aku berusia dua puluh satu tahun, aku boleh memutuskan apapun sendiri.” Kinanti menyahuti dengan cepat.
Lukman tersenyum kecil melihat perubahan raut wajah putrinya. Ia tahu benar kesulitan Kinanti dan sangat wajar kalau dia mengeluh. Anak seusia itu harus belajar mandiri tanpa seorang ibu, sementara ia bekerja seharian berangkat pagi pulang malam. Di hari liburpun kadang ia harus lembur.
Sementara kondisi zaman semakin gila, memiliki anak perempuan yang polos dan cantik itu membuat ia memiliki ketakutan tersendiri. Mungkin hal itu yang membuat Lukman akhirnya memaksa Kinanti untuk ikut kemanapun ia pergi.
“Iya, setelah usia Kinan dua puluh satu tahun, ayah akan memberikan beberapa kebebasan sama Kinan. Tapi ingat, kebebasan yang bertanggung jawab.” Janji Lukman.
“Siap ayah! Kinan pasti bertanggung jawab sama apa yang Kinan lakukan dan pikirkan.” Sahut gadis cantik bermata sayu itu dengan semangat.
Lukman ikut tersenyum melihat semangat putrinya.
“Hah, dua puluh satu tahun itu, empat tahun lagi. Kinan harus mulai memikirkan apa yang akan Kinan lakukan untuk mengisi empat tahun ini. Tapi yang jelas, sekarang Kinan udah jadi anak kota. Iya kan ayah?” suara Kinanti mulai terdengar ceria.
“Hahahaha ... iyaa, sekarang Kinan anak kota. Ingat selalu kalau dimanapun Kinan berada, Kinan harus selalu menjaga diri baik-baik ya nak.”
“Okey ayah.” Kinanti menunjukkan tanda okeynya pada Lukman.
Lukman menghembuskan nafasnya lega, akhirnya Kinanti bisa ia bujuk juga.
****
Jakarta, kota yang padat dengan hilir mudik kendaraan yang jarang lenggang. Kemacetan seolah menjadi teman paling akrab bagi pengguna jalanan. Kinanti mulai gelisah, karena sedari tadi ia menahan keinginannya untuk miksi.
“Ayah ini kita masih jauh gak sih?” tanya Kinanti sambil menghentak-hentakan kakinya. Urinenya terasa sudah sampai di ujung dan hampir menetes.
“Sebentar lagi kita sampai. Setelah lampu merah ini, nanti ada bunderan. Kita akan belok ke kanan. Sekitar tiga kilo dari jalan utama, kita sampai di rumah baru kita.” Terang Lukman dengan detail.
“Aduuhh masih lama yaa. Aku pengen pipis ini.” Kinanti semakin merapatkan kakinya.
“Sabar yaaa, ayah matiin dulu ac-nya. Buka dulu aja jendelanya, biar gak pengap.” Lukman memutar modul pengontrol ac dan mematikannya.
Kinanti pun segera menurunkan kaca jendela mobilnya lebih rendah lagi. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk menahan keinginan miksinya.
“Wah, di depan agak macet.” Gumam Lukman yang memutar stir ke kanan hendak berbelok di bunderan.
Tapi baru beberapa derajat stir berputar, tiba-tiba saja dua buah motor sport yang melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arah mereka. Pengendara yang satu berusaha menendang pengendara motor lainnya hingga oleng lalu ia kabur dengan menggunakan jalur lain.
Sementara motor yang oleng tadi, terus melaju ke arah mobil Kinanti yang berada di tengah-tengah jalanan hendak masuk ke jalur kanan.
Motor itupun oleng dan berputar di dekat mobil yang refleks berhenti karena Lukman menginjak pedal rem. Pengendara motor sport berwarna hitam itupun segera menarik rem tangannya. Ban motornya terdengar berdecit karena dipaksa berhenti saat melaju dengan kecepatan tinggi. Bagian belakang motor sampai terangkat keudara seperti tengah beratraksi di surkuit.
“Ayaaahhh!!! Motttooorr!!!” teriak Kinanti dengan panik.
Kinanti kaget bukan main saat jarak Kinanti dengan motor itu hanya beberapa senti. Matanya membulat sempurna menatap pengendara motor yang juga menatapnya kaget. Tidak terlihat jelas seperti apa wajahnya yang tertutup helm. Hanya mata tajamnya saja yang seperti menghujam jantung Kinanti dan membuatnya berhenti berdetak beberapa saat.
Dalam benak Kinanti, bumi seolah berhenti berputar. Dalam perlihatannya, seperti hanya ada mereka berdua di jalanan yang sepi dan tengah saling bertatapan.
Kinanti melihat bulu mata laki-laki itu begitu lentik dengan tulang hidungnya yang tinggi dan alisnya yang tebal. Hal lain tidak Kinanti perhatikan, ia terlalu terkejut pada apa yang dilihatnya.
“Kamu gak apa-apa nak?” suara Lukman membuyarkan lamunan Kinanti yang terdiam di pikirannya.
“I-iya ayah.” Hanya itu jawaban Kinanti.
Tiba-tiba saja, laki-laki itu memutar posisi motornya sembilan puluh derajat hingga sejajar dengan posisi mobil dan saling bersisian.
Ia menepuk pintu mobil beberapa kali dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam berbahan dasar kulit.
“Sorry.” Suara laki-laki itu terdengar bergema di rongga telinga Kinanti, seperti menghipnotisnya.
“I-Iya.” Sahut Kinanti. Tidak bisa berkata lebih. Jantungnya masih berdebar sangat kencang.
Laki-laki itu juga mengangguk sopan pada Lukman sebelum kemudian pergi meninggalkan Kinanti dan Lukman yang masih terkejut.
Hanya kepulan asap yang kemudian ia tinggalkan. Motornya melesat cepat dan sudah tidak terlihat dalam waktu beberapa detik ke depan.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
@sulha faqih aysha💞
mampir Thor langsung ke favorit 🥰
2024-02-14
0
😍wike😍
semoga seru sampai akhir
2023-09-12
1
ikhaa
baru mulai mmbaca karyamu, sepertinya asyik.. semangat thor..
2023-08-27
0